Dari sekitar 99 persen suara masuk yang sudah dihitung, Recep Tayyip Erdogan meraih 52,5 persen, disusul Muharrem Ince 30,7 persen. Empat kandidat lainnya hanya meraih suara di bawah 10 persen. Lebih dari 87 persen pemilik hak suara dari sekitar 56 juta pemilih ikut mencoblos pada pemilu presiden dan parlemen yang baru pertama kali digelar pada hari yang sama, Minggu (24/6/18).

Kantor berita Turki, Anadolu, menyebutkan, AKP meraih 293 dari 600 kursi parlemen. Namun, jika ditambah dengan raihan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang meraih 50 kursi dan berkoalisi dengan AKP, total kekuatan Erdogan di parlemen mencapai 343 kursi.

Di depan pendukungnya, Senin malam, Erdogan menyatakan kemenangannya. Dalam pidatonya, Erdogan menegaskan akan terus memerangi kelompok teroris dan memastikan Suriah dalam keadaan aman serta meningkatkan prestise Turki di dunia internasional. "Kami tidak punya waktu untuk dibuang percuma dan seluruh rakyat tahu akan hal itu," katanya di kantor pusat partai AKP, di Ankara, Minggu malam.

Rival utama Erdogan, Muharrem Ince, hanya sedikit mengkritik Erdogan. Ketua Partai Rakyat Republik (CHP) itu menyatakan menerima hasil penghitungan tersebut. Namun, kepada Erdogan, Ince berpesan, "Anda adalah presiden dari kami semua."

Pengumuman Erdogan itu sedikit menaikkan nilai tukar uang Turki, lira, terhadap mata uang asing dari 4,70 lira menjadi 4,60 lira per dollar AS. Lira selama 2018 mengalami penurunan kurs sekitar 20 persen terhadap dollar AS. Namun, penguatan ini juga didukung oleh tindakan yang akan diambil Bank Sentral Turki (CBRT). Pengamat ekonomi menilai peningkatan suku bunga oleh CBRT tak akan banyak berpengaruh karena inflasi yang tinggi 12,2 persen dan defisit transaksi berjalan sekitar 6,5 persen.

Sedikitnya ada tiga faktor kemenangan Erdogan pada pemilu presiden yang pertama di Turki ini, yakni percepatan pemilu, kudeta tahun 2016, dan gempuran terhadap kelompok Kurdi yang dianggap terus mengganggu keamanan dalam negeri Turki. Gempuran terhadap Kurdi, baik di dalam negeri maupun di Suriah, telah ikut membangkitkan rasa nasionalisme dan karena itu Erdogan mendapat dukungan mayoritas.

Awalnya, pemilu presiden dijadwalkan November 2019, tetapi maju ke 24 Juni 2018. Percepatan ini dilakukan agar saat pemilu digelar kondisi ekonomi Turki tidak terlalu buruk dan partai oposisi tidak terlalu siap. Kudeta yang dituduhkan kepada Fethullah Gulen juga membuat Erdogan lebih populer.