Dalam sebuah video tampak seseorang sedang berjalan di tepi jalan di bawah guyuran hujan. Dia tampak susah payah memegang payungnya yang dipermainkan angin.

Tiba-tiba, sebuah sedan melaju kencang. Air yang menggenang di aspal diempaskan roda-rodanya. Tak urung, orang itu tersiram air kotor. Dia tampak sangat kesal. Dia mengacung-acungkan tangannya ke arah mobil yang menjauh tanpa peduli, lantas menyeka wajahnya. Baru saja ia berpaling dari sedan tadi, lagi-lagi sebuah mobil menggilas genangan air yang sama. Pria malang itu tak lagi sempat menghindari kemalangan kedua. Sekilas tampak kocak, tetapi bagaimana sepatutnya sikap kita atas kejadian itu?

Video ini dibagikan di media sosial dan jadi bahan tertawaan dengan keterangan menjelaskan (bergaya nasihat), kurang lebih sebagai berikut: "Video ini membuat kita lebih mensyukuri hidup kita." Maksudnya, ada orang yang lebih malang daripada kita dan kemalangan dia merupakan alasan bagi kita untuk bersyukur ketimbang menyesali keadaan.

Dalam video lain terekam seorang penumpang sedang berusaha memasukkan tas ke dalam rak bagasi di kabin pesawat komersial. Sia-sia dia melesakkan tasnya secara vertikal yang ukurannya melampaui batas atas rak, sampai pramugari datang dan menyarankan supaya dia merebahkan tas itu dan mendorong lagi ke dalam rak.

Orang yang membagikan rekaman itu menulis kalimat ejekan, betapa kampungan orang itu. Banyak yang turut menertawakan sang korban. Untungnya, ada yang mempertanyakan sang perekam: "Apakah Anda tidak terdorong untuk membantu lelaki itu ketimbang hanya merekam dan menertawakan dia?"

Dua orang dalam kedua video itu jadi korban berganda. Pertama, mereka korban perekaman tanpa izin. Kedua, mereka direkam dalam keadaan yang seandainya mereka mengetahui perbuatan itu pastilah keberatan. Siapa pun tak suka ketika mengalami hal yang memalukan atau membuat perasaan risi di muka umum justru ada orang merekam dirinya dan menyebarkan foto atau videonya di ranah publik, dan tanpa dia sadari dirinya sudah jadi bahan tertawaan banyak orang di dunia maya.

Masalah etika

Kejadian semacam ini sudah jadi fenomena umum yang tampaknya dianggap biasa. Mungkin tak ada yang beranggapan hal itu melanggar privasi orang. Untuk memenuhi "tema" kejadian lucu di dalam kereta Jabodetabek, orang-orang berlomba memotret dan mengunggah hasil fotonya di media sosial. Semua foto itu mengabadikan orang-orang yang sedang tidur, bengong, atau pose lain yang dianggap lucu. Foto-foto itu tentu saja diambil tanpa izin target foto. Sejauh ini saya belum memperoleh informasi bahwa ada yang mempersoalkan aspek etika pada tren ini.

Sebagian besar orang yang kita jumpai di ruang publik memegang telepon pintar berkamera canggih. Hanya dengan satu sentuhan mereka dapat mengabadikan obyek yang diincar. Tanpa sadar, rambu-rambu privasi diabaikan demi "tema" momen yang mereka inginkan. Yang jadi masalah, kerap hasil perekaman tersebut bukan untuk disimpan sendiri, melainkan disebarluaskan tanpa sepengetahuan—apalagi seizin—obyek perekaman.

Tak terbantahkan, sebagian perekaman berfungsi sebagai kontrol sosial atas pelayanan publik sehingga pemerintah tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang. Pegawai pemerintah yang lalai dalam tugas, atau aparat penegak hukum yang bertindak di luar batas terhadap tersangka kriminal, misalnya, bisa langsung dilaporkan sehingga atasan mereka tahu dan melihat bukti pelanggaran para bawahan.

Ada seorang lelaki tua dipotret di dalam kereta rute Jakarta-Bogor dengan "alasan" wajahnya mirip mendiang Soeharto, mantan presiden. Saat wartawan melacak identitasnya dan berhasil menemui yang bersangkutan, orang itu tidak menyatakan keberatan. Apakah "kerelaan" beliau boleh dijadikan indikasi bahwa tak ada masalah etika dalam hal pengambilan gambar orang tanpa izin, apalagi untuk disebarluaskan dalam bingkai-bingkai tema yang tak terkendali?

Dari foto-video itu kita patut bertanya, bagaimana masyarakat kita membingkai pola etika di benak mereka? Bagaimana respons mereka atas persoalan atau pertanyaan mengenai problem etis?

Empati yang tercerabut

Muara dari keseluruhan persoalan dengan beragam bentuk foto dan video semacam itu adalah problem empati. Kita menyaksikan tercerabutnya aspek empati dari hati sebagian masyarakat kita sejak awal. Pemanfaatan teknologi gawai dan platform komunikasi digital cenderung menjerumuskan kita ke dalam dunia sosial tanpa empati. Kita saksikan, yang subur di dunia maya justru antipati, kebencian, sinisme, bahkan sarkasme hingga level ekstrem.

Ada seorang selebritas yang biasanya gemar mempertontonkan tubuhnya dengan berbusana setengah terbuka, sekonyong- konyong tampil berhijab dan menyatakan "hijrah": dia berniat mendalami agama. Mudah diterka, respons sebagian orang terhadap dirinya di akun media sosial miliknya adalah hujatan dan cemooh, yang bahkan lebih vulgar ketimbang sebelum ia "hijrah". Para penghujat tak sadar ketika mereka menikmati kemolekan tubuh sang selebritas, pada hakikatnya mereka duduk di tempat yang mereka hujat dengan semangat kebencian itu.

Empati seakan-akan gaib dari hati kita. Padahal, empati membuat kita mampu menempatkan diri di tempat orang yang kita tuding bejat sehingga kita dapat memahami duka nestapa yang mungkin dia pendam. Bukan mustahil kita lebih buruk daripada orang yang kita cela. Empati membuat kita secara refleks berpikir, sebelum merekam seseorang secara diam-diam, betapa tidak enak menjadi obyek perekaman orang asing. Empati membuat kita peka terhadap derita orang dan tak suka berburuk sangka sehingga jelas arti penting introspeksi diri dan sia-sianya perilaku menginspeksi urusan pribadi orang.

Dengan empati, kemalangan orang yang diabadikan dalam foto atau video tak bakal membuat kita terbahak, terhibur, atau jadi merasa bersyukur lantaran kita tidak bernasib malang seperti orang itu. Sebaliknya, kita justru terluka dan ikut berduka atas kemalangan dirinya.

Sebagian orang boleh jadi mencari kebahagiaan di media sosial. Mereka ingin bersosialisasi, tetapi tanpa sadar kehilangan kemampuan menangkap konsep "sosial" dan lebih tak mampu lagi mewujudkan empati di dalam diri. Justru makin jauhlah kebahagiaan yang didambakan.