AFP PHOTO / WAKIL KOHSAR

Para pendukung Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) konvoi  pada kampanye pemilu di Rawalpindi pada 22 Juli 2018. Pakistan akan mengadakan pemilihan umum pada 25 Juli 2018.

Mengikuti situasi terakhir menjelang pemilu Pakistan, kita miris. Setelah 70 tahun merdeka, negara itu belum mampu lepas dari siklus politik dan kekerasan.

Hanya tiga hari menjelang pemungutan suara, hari Minggu, seorang calon anggota majelis legislatif tingkat provinsi dari partai Gerakan Keadilan Pakistan, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), tewas akibat bom bunuh diri di kota Dera Ismail Khan, Pakistan barat laut. Ia menjadi target serangan usai kampanye.

Insiden itu menambah panjang deretan kekerasan terkait hajatan politik di Pakistan. Masih segar dalam ingatan, pada 13 Juli lalu, serangan bom bunuh diri menghantam acara kampanye di Distrik Mastung, Balochistan, Pakistan barat daya. Seorang caleg provinsi dan 148 orang tewas dalam kejadian itu.

Masih di bulan Juli ini juga, seorang caleg provinsi lain tewas dalam serangan bom bunuh diri yang juga menelan 20 korban jiwa lain di Peshawar, Pakistan barat laut. Serangan, teror, dan ancaman pembunuhan sejumlah politisi membuat pemilu Pakistan seolah bukan lagi pesta—tetapi tragedi—demokrasi.

"Pemilu ini berlangsung di tengah lingkungan ketakutan," kata Bilawal Bhutto-Zardari, Ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang dikutip saat ia berkunjung ke Quetta, Balochistan, 16 Juli lalu. "Serangan-serangan itu terjadi karena badan-badan keamanan terlibat politik dan tidak menjalankan tugas," ujar Mushahidullah Khan, tokoh senior Pakistan Muslim League-Nawaz (PML-N).

Pernyataan Khan kepada kantor berita AFP itu seolah mengingatkan kembali peran militer yang kerap disebut pengamat ikut bermain dan sangat menentukan hiruk-pikuk politik di Pakistan. Kubu PML-N, yang didirikan mantan PM Nawaz Sharif, memang sangat kritis dan mencurigai militer sengaja menarget mereka.

Tuduhan itu tentu saja dibantah militer Pakistan. Namun, ada kepercayaan yang diyakini secara luas bahwa para jenderal di negeri itu menginginkan pemerintah sipil lemah. Pemerintahan sipil yang tidak mengurangi hegemoni militer dan tidak ingin menciptakan keseimbangan antara kekuasaan sipil dan militer.

Sejarah memang memperlihatkan, selama 70 tahun Pakistan merdeka, pemerintahan yang terpilih secara demokratis kerap tak mampu menyelesaikan mandat hingga akhir dan digulingkan militer. Laporan khusus harian ini edisi Sabtu (21/7/2018) memaparkan, hanya sekali parlemen Pakistan menuntaskan termin 5 tahun, yakni pada masa pemerintahan Jenderal Pervez Musharraf, presiden sekaligus panglima militer.

Pemilu Rabu, 25 Juli, bakal memperebutkan 271 kursi Majelis Nasional atau majelis rendah di parlemen nasional dan kursi-kursi majelis legislatif daerah di empat provinsi. Hajat politik ini diprediksi menjadi pertarungan sengit dua kubu: kubu PML-N pimpinan Shahbaz Sharif, adik mantan PM Nawaz Sharif yang kini dipenjara dalam kasus korupsi, versus kubu PTI pimpinan Imran Khan, bekas bintang timnas kriket Pakistan.

Analis dan hasil jajak pendapat memberi sinyal, PTI mungkin akan menang karena—tak lepas dari—dukungan militer. Entah benar atau tidak prediksi itu, kita berharap, semoga 106 juta pemilih bisa menentukan pilihan dengan tenang dan jernih. Yang terpenting lagi, jangan ada lagi korban jiwa melayang.


Kompas, 24 Juli 2018