KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Sebuah baliho berisi pesan memberi semangat gerakan sosial NTB Bangun Kembali terpasang di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Senin (27/8/2018). Gerakan tersebut bertujuan membangun dan menguatkan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Bencana alam berupa gempa bumi tektonik kembali melanda Indonesia, khususnya di Pulau Lombok, yang getarannya juga dirasakan di Bali dan sebagian Jawa Timur.

Ada beberapa guncangan besar yang bersusulan, di antaranya pada Minggu (29/7/2018) dengan magnitudo 6,4, Minggu (5/8) dengan magnitudo 7,0 sebagai gempa utama atau main shock, dan Kamis (9/8) dengan magnitudo 6,2 hingga akhir Agustus 2018.

Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (29/8), jumlah rumah rusak mencapai 83.392 unit. Selain itu, terjadi juga kerusakan 3.540 unit fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti pasar, sekolah, puskesmas, perkantoran, dan bentuk bangunan lainnya. Tercatat 560 orang meninggal, 1.469 orang luka-luka, dan 396.032 orang mengungsi (www.bnpb.go.id, 29/8/2018).

Pertanyaannya, adakah kontribusi pajak yang dibayar masyarakat guna penanggulangan bencana alam? Mari kita lihat dokumen anggaran terkait bencana alam dalam APBN dan kebijakan pajak.

Sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab dimaksud antara lain menyangkut perlindungan masyarakat dan pemulihan kondisi dari dampak bencana.

Secara fiskal, kegiatan perlindungan masyarakat dan pemulihan kondisi dialokasikan anggarannya melalui kegiatan penanggulangan bencana dalam APBN. Peruntukannya bagi kegiatan tahap prabencana (pengurangan risiko bencana), saat tanggap darurat bencana, dan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Dalam praktik, anggaran yang paling besar pembiayaannya adalah kegiatan pada tahap pascabencana.

Anggaran dialokasikan melalui instansi yang berkaitan dengan penanganan bencana alam, baik dilakukan langsung maupun tidak langsung. Di antaranya di BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan Kementerian Sosial, termasuk pemda melalui dana alokasi. Sebagian besar anggaran tersebut berasal dari pajak yang dibayar wajib pajak (WP).

Keringanan pajak

Pajak pada dasarnya kewajiban masyarakat (termasuk badan) kepada negara. Namun, di sisi lain, tatkala WP kesulitan atas kehidupan ataupun kegiatan usahanya, misalnya karena terkena bencana alam sehingga memengaruhi penghasilan, ada kebijakan berupa keringanan pajak sebagaimana berikut.

Pertama, keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No 82/2017, pengurangan PBB dapat diberikan kepada WP dalam hal obyek pajak terkena bencana alam yang antara lain karena gempa bumi. Pengurangannya hingga 100 persen atas PBB terutang. Ketentuan ini sebagai pelaksanaan Pasal 19 Ayat (2) UU No 12/1985 tentang PBB.

Kedua, keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai Permenkeu No 196/2016. Atas impor barang kena pajak (BKP) berupa barang kiriman untuk kepentingan penanggulangan bencana alam tidak dipungut PPN dan PPnBM.

Ketiga, dengan Permenkeu No 31/2014 ditetapkan, jika terjadi gagal berproduksi, antara lain akibat bencana alam, maka pengusaha kena pajak (PKP) tidak wajib membayar kembali PPN pajak masukan atas impor atau perolehan barang modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian pajak.

Keempat, bahwa atas bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggaraan jaminan sosial kepada WP yang sedang mengalami bencana alam dikecualikan sebagai obyek PPh, yang diatur dengan Permenkeu No 247/2008.

Kelima, jika akibat gempa WP mengalami kemunduran usaha sehingga penghasilan riil dan proyeksinya hingga akhir tahun menurun, WP dapat mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25.

Keenam, baru saja dikeluarkan keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-209/PJ/2018 mengenai kebijakan pajak sehubungan dengan bencana alam gempa bumi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan kondisi riil yang dialami wilayah Pulau Lombok pascagempa bumi, dan berdasarkan Keputusan Gubernur NTB tentang Penetapan Status Keadaan Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi, secara perpajakan juga telah ditetapkan sebagai keadaan kahar (force majeur).

Bagi WP yang berdomisili, bertempat kedudukan, ataupun memiliki tempat kegiatan usaha di Pulau Lombok, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) masa dan tahunan, demikian juga atas pembayaran pajak. Pengecualian ini diberikan atas yang jatuh tempo pada 29 Juli 2018 hingga dua bulan setelah berakhirnya penetapan keadaan tanggap darurat.

Prosedur keringanan

Adapun pelaporan SPT dan pembayaran pajak dilaksanakan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya jangka waktu dari masa jatuh tempo di atas.

Jika terhadap WP telah diterbitkan surat tagihan pajak, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selanjutnya, WP yang mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang jatuh tempo pengajuannya tanggal 29 Juli 2018 diberikan perpanjangan hingga dua bulan setelah berakhirnya penetapan keadaan tanggap darurat.

Dengan memanfaatkan keringanan pajak ini, WP dapat lebih berkonsentrasi atas pemulihan dan kemudian bangkit kembali berusaha agar kondisi WP kembali normal.