Meskipun sekali-sekali menimbulkan polemik, keputusan komisi yang menentukan peraih hadiah Nobel dari the Sveriges Rikzbank Swedia setiap tahunnya selalu menyiratkan pesan tentang persoalan relevan yang sedang dihadapi masyarakat.

Hal itu terjadi terutama dalam menjatuhkan pilihan kepada peraih Nobel di bidang perdamaian. Nobel Perdamaian tahun ini diberikankepada Dr Denis Mukwege dari Republik Kongo dan Nadia Murad dari etnis minoritas Jazidi di Irak. Mukwege adalah ahli kandungan yang sangat berjasa dalam perjuangan membantu korban kejahatan seksual, sedangkan Nadia Murad adalah korban kekerasan seksual yang kemudian menjadi aktivis. Keduanya diakui perannya dalam menentang penggunaan kejahatan seksual sebagai alat dalam perang dan konflik bersenjata.

Hal serupa juga terjadi pada Nobel Ekonomi. Pemilihan peraih hadiah prestisius ini mengandung pesan tentang tantangan yang perlu diperhatikan dunia. Nobel Ekonomi tahun ini diberikan kepada dua ekonom AS, Profesor William Nordhaus dari Yale University dan Profesor Paul Romer dari New York University. Romer sebelumnya mengajar di Stanford University dan pernah sebentar menjadi Chief Economist Bank Dunia, seperti halnya Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi tahun 2001.

Kedua guru besar ekonomi itu menyumbangkan pemikiran yang sangat relevan dengan masalah dan tantangan yang dihadapi dunia dewasa ini. Nordhaus mengembangkan model yang menganalisis dampak perubahan iklim pada perekonomian. Model tersebut telah dikembangkan banyak pihak, termasuk oleh Intergovernmental on Climate Change dari PBB yang baru saja menerbitkan laporan yang dalam perkiraan-perkiraannya menggunakan model yang versi awalnya dibangun Nordhaus.

Laporan tersebut mengingatkan bahwa jika kecenderungan yang sekarang berkembang dalam tingkat penggunaan sumber energi terus berlangsung tanpa perubahan, konsekuensinya pada perubahan iklim akan sangat membahayakan kehidupan. Solusi yang ditawarkan Nordhaus yang diadopsi dalam panel tersebut adalah pengenaan pajak terhadap emisi karbon guna meminimalkan peningkatan temperatur udara dan polusi di dunia.

Romer dipilih karena studinya yang menunjukkan kaitan antara ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ia memperlakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi sebagai unsur yang melekat (endogenous) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi. Hampir seperti "dual" dari argumen Nordhaus tentang pajak terhadap emisi karbon, Romer mengusulkan perlunya memberikan subsidi (pajak negatif?) untuk pembiayaan investasi dalam ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi.

Perilaku manusia

Tahun lalu, peraih Nobel Ekonomi adalah Profesor Richard Thaler dari University of Chicago.

Ia ahli ekonomi tentang perilaku manusia (behaviour economics). Mungkin lama terlambat, tetapi panitia Nobel seperti mengingatkan ekonom agar menyadari bahwa ilmu ekonomi itu mempelajari perilaku manusia tentang bagaimana membuat keputusan untuk memilih di antara berbagai alternatif guna mencapai sasaran di tengah kondisi adanya keterbatasan (maximization under some constraint).

Pemberian penghargaan kepada Thaler seperti mengingatkan kepada ekonom, silakan beranggapan bahwa ilmu ekonomi adalah bagian dari ilmu eksakta dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan model matematik yang kompleks. Akan tetapi, jangan lupa bahwa yang menjadi obyek penelitian ekonomi adalah perilaku manusia dengan segala sifatnya, baik yang rasional maupun yang tidak.

Perilaku tidak rasional itu menyebabkan adanya unsur ketidakpastian (uncertainty) yang tidak dapat diperkirakan atau diukur. Karena itu, memperlakukan semua variabel sebagai dapat diukur dan diketahui probabilitasnya, sehebat apa pun model disusun dengan menggunakan teknologi canggih, tidak akan mengubah ketidakpastian itu menjadi dapat diukur dan diperhitungkan.

Semua probabilitas, termasuk yang sangat jarang terjadi—diistilahkan sebagai "black swan"— tetap bisa diukur, tetapi ketidakpastian tidak. Mengira dapat mengukur semua variabel dalam ekonomi itu merupakan sikap takabur, hubris yang menyesatkan, bahkan keliru.

John Maynard Keyes sudah mengingatkan lama sebelum menulis karya seminarnya, The General Theory, bahwa di luar probabilitas yang bisa kita hitung atau perkirakan masih ada ketidakpastian yang kita tidak tahu. Behaviour economics melihat perilaku manusia secara keseluruhannya, termasuk unsur tidak rasionalnya, bukan hanya sebagai homo economicus yang dalam alam rasionalnya selalu mencapai titik keseimbangan.

Teori yang sederhana seperti teori permintaan dan penawaran menjanjikan terjadinya keseimbangan optimal yang menyamakan keduanya pada suatu harga tertentu. Dalam posisi keseimbangan optimal ini, jumlah permintaan tepat sama dengan penawaran sehingga tidak ada kelebihan atau kekurangan permintaan dan penawaran, oleh karena itu disebutkan the market is cleared.

Teori tentang bekerjanya pasar dalam sistem kapitalisme pesat berkembang pada tahun 1980-an dan 1990-an, era Konsensus Washington (Washington Consensus) menjadi apa yang dikenal sebagai Hipotesis Pasar Efektif (Effective Market Hypothesis/EMH). Proses bekerjanya pasar menjamin terciptanya harga (the right price) yang menyamakan permintaan dengan penawaran atau keseimbangan optimal.

Banyak ekonom yang melihat hipotesis atau teori ekonomi pasar ini sebagai mantra bahwa prediksinya selalu benar secara absolut. Ini ekonom neoliberalisme yang sebenarnya. Akan tetapi, krisis keuangan global tahun 2008 telah membuyarkan kepercayaan kepada mantra ini, serupa dengan depresi tahun 1930-an yang memorakporandakan paham ekonomi Klasik dan munculnya ekonomi Keynes.

Panita Nobel tahun 2017 seperti membuat peringatan kepada ekonom supaya menyadari bahwa obyek pengamatan mereka adalah manusia di mana tidak semua perilakunya bisa diukur, bahkan dalam arti probabilitas. Pesan ini diberikan dengan memilih Thaler sebagai peraih Nobel waktu itu.

Kegagalan teori harga

John Cassidy dalam tulisannya di majalah The New Yorker (9/10/2018) menyebutkan bahwa keputusan panitia Nobel menetapkan Nordhaus dan Romer mendapat hadiah Nobel bidang ekonomi tahun ini adalah karena kontribusi mereka menunjukkan kegagalan ekonomi pasar.

Saya sependapat dengan penulis ini bahwa yang menyatukan keduanya adalah bagaimana mereka menunjukkan bahwa prediksi teori ekonomi pasar bahwa bekerjanya pasar selalu menghasilkan keseimbangan optimal ternyata tidak benar. Sebenarnya ekonom sebelum mereka juga sudah menyebut adanya externalities atau spill over, hasil yang terjadi di luar prediksi teori penentuan harga yang menghasilkan titik keseimbangan optimal.

Mereka menjelaskan kegagalan prediksi ekonomi pasar dengan mengacu kepada fenomena yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, yaitu perubahan iklim buat William Nordhaus dan ilmu pengetahuan buat Paul Romer.

Nordhaus menunjukkan bahwa penentuan harga energi hanya mengacu kepada biaya untuk menemukan, menggali, memproses, dan mengangkut energi dari fosil, seperti minyak dan gas sampai kepada konsumen. Harga energi tidak memasukkan perhitungan tentang penggantian biaya terhadap kerusakan lingkungan di masa depan karena penggunaan energi tersebut.

Ada spill over atau external diseconomy yang tidak diperhitungkan. Ia berargumen bahwa harga energi yang benar harus memasukkan biaya pengganti kerusakan alam yang akan timbul karena perubahan iklim di masa depan. Caranya adalah dengan memajaki konsumsi energi dari emisi karbon yang terjadi karena konsumsi energi tersebut.

Kegagalan menghitung biaya masa depan tersebut menyebabkan harga energi yang terjadi lebih rendah dari yang seharusnya untuk terjadinya keseimbangan. Karena harga terlalu murah, maka ada konsumsi lebih (over consumption). Karena itu, perlu dipajaki agar mengerem penggunaan atau konsumsi energi untuk meminimalkan kerusakan lingkungan.

Dalam studi Romer ditunjukkan adanya economic externalities yang melekat kepada ilmu pengetahuan, penelitian, dan inovasi yang tidak dimasukkan sebagai biaya buat mereka yang mengonsumsi/investasi dalam sumber daya manusia dari jasa pendidikan dan ilmu pengetahuan. Karena itu, terjadi under production dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Dan untuk mengoreksinya perlu diberikan subsidi kepada kegiatan investasi dalam pendidikan untuk ilmu pengetahuan dan penelitian.

Kedua fenomena di atas menunjukkan kegagalan teori harga dalam ekonomi pasar dalam sistem kapitalisme. Koreksinya dilakukan melalui intervensi oleh otoritas (pemerintah), apakah dengan memajaki emisi karbon dalam hal penggunaan energi dari fosil atau memberikan subsidi kepada investasi dalam pendidikan dan penelitian.

Yang pertama ada negative externalities, mungkin ada yang menyebutkannya sebagai public bad, yang perlu dipajaki. Adapun yang kedua ada positive externalities dari public goods, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian yang memerlukan subsidi. Keduanya merupakan justifikasi dari peranan pemerintah dalam perekonomian.

Tentu permasalahan berikutnya menyangkut bagaimana sebaiknya intervensi dilakukan pemerintah untuk mengoreksi externalities, baik yang positif maupun negatif supaya dapat dihasilkan solusi yang menghasilkan keseimbangan optimal dan bermanfaat buat kesejahteraan masyarakat.