Di bawah orkestrasi Presiden Joko Widodo, kita berhasil menghadirkan negara dalam pengelolaan industri ekstraktif. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah lancar dan sukses mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P (Perancis) dan Inpex Corporation (Jepang); Blok Rokan yang dikelola Chevron (Amerika Serikat, Chevron); dan akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.

Selain kontrol lebih kuat dan kepemilikan saham lebih besar, apa lagi yang patut kita rayakan dari kembali hadirnya negara dalam pengelolaan industri ekstraktif nasional?

Matinya komparador. Apa itu komprador? Siapa mereka? Dalam lanskap sosial politik seperti apa komprador mati? Bisakah menihilkan peran komprador di sektor dan industri strategis lainnya?

PEP sebagai komprador

Komprador adalah agen lokal yang melayani kepentingan lembaga asing dalam kegiatan eksploitasi ekonomi (investasi dan bisnis) dan politik. Yang jadi komprador biasanya politically exposed person (PEP). PEP adalah orang yang memiliki kewenangan publik (penyelenggara negara, misalnya) dan/atau politisi yang berpengaruh terhadap proses kebijakan. Melalui peran dan kerja komprador inilah banyak aset dan sumber daya negara/publik jatuh, dikuasai, dan dengan demikian dinikmati orang/lembaga asing. Padahal, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan supaya "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Aaron Sayne (AS) dkk, dalam laporan studinya bertajuk "Twelve Red Flags: Corruption Risk in the Award of Extractive Sector Licenses and Contract", banyak menyebut peran PEP ketika menilai risiko korupsi dalam pemberian dan perpanjangan izin/kontrak dalam industri ekstraktif. Mereka mengkaji 100 kontrak/izin pertambangan, minyak, dan gas di 49 negara yang sumber daya alamnya melimpah.

Dari 100 kontrak/izin tersebut bisa diekstraksi 12 model risiko korupsi, yaitu 1) pemerintah membolehkan perusahaan abal-abal bersaing/memenangi kontrak; 2) perusahaan/individu dengan rekam jejak buruk ikut bersaing/mendapatkan kontrak/izin; 3) perusahaan pemenang kontrak mempunyai pemegang saham atau hubungan bisnis yang lain dengan PEP; 4) perusahaan pemenang kontrak menunjukkan tanda-tanda mempunyai PEP sebagai beneficial ownership tersembunyi; 5) pejabat mengintervensi proses pemberian/perpanjangan kontrak yang menguntungkan perusahaan tertentu; 6) perusahaan menyuap, memberikan hadiah atau perlakuan khusus kepada PEP yang bisa memengaruhi proses pemberian dan perpanjangan izin/kontrak, termasuk seleksi dalam tender.

Selanjutnya, 7) pejabat pemerintah yang ditugaskan mempunyai konflik kepentingan; 8) kompetisi tidak berjalan dengan normal dan baik dalam proses pemberian dan perpanjangan kontrak; 9) perusahaan menggunakan perantara dalam pemberian izin/kontrak; 10) dana yang dibayarkan perusahaan pemenang kontrak tidak masuk ke dalam anggaran pemerintah; 11) isi kontrak perjanjian terdistorsi secara signifikan dari norma industri atau pasar; dan 12) pemenang kontrak menyubkontrakkan izin kepada pihak lain untuk memperoleh keuntungan besar tanpa susah payah.

Dalam studinya itu, AS dkk menyebut tindakan koruptif Rudi Rubiandini (RR) masuk ke dalam kategori model risiko korupsi nomor 6. RR, bekas Kepala SKK Migas itu, dihukum penjara tujuh tahun karena terbukti bersalah menerima suap 1,1 juta dollar AS dari WR (komisaris utama Kernel Oil Singapura) dan SG (komisaris PT Kernel Oil Private Limited Indonesia). Kernel Oil menyuap RR untuk kepentingan induk perusahaannya, Fossus Energy. Testimoni Rizal Ramli juga mengonfirmasi adanya praktik suap dan pentingnya peranan komprador dalam perpanjangan kontrak Freeport. Dulu, saat jadi menteri koordinator perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid, ia menolak suap yang ditawarkan James Moffet, Chief Executive Officer PT Freeport-McMoran. Kasus "Papa Minta Saham", yang melibatkan Setya Novanto, juga memperlihatkan peranan komprador dalam perpanjangan kontrak/izin Freeport.

Komprador itu tak selalu orang/persona. Lembaga/organisasi juga bisa bertindak sebagai komprador. Tak salah menyebut Pemerintah Orde Baru sebagai komprador. Berkat jasa Pemerintah Orde Baru, Freeport, misalnya, bisa masuk, berusaha, dan berjaya di sini. Tafsir lain, bisa juga Pemerintah Orde Baru bersikap begitu karena berutang budi kepada Amerika Serikat yang telah membantunya dalam peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Beberapa orang eksponen Pemerintah Orde Baru peranannya menonjol dalam pemberian/perpanjangan kontrak/izin Freeport sehingga bisa dikategorikan sebagai komprador.

Masih ingat mantan menteri pertambangan dan energi pertengahan dekade 1990-an yang memperpanjang kontrak Freeport berpuluh tahun ke depan, jauh sebelum kontraknya berakhir?

Eksistensi komprador bukan hanya di sektor industri ekstraktif, melainkan juga di industri alat utama sistem persenjataan (alutsista). Kasus korupsi pengadaan Helikopter AW 101 menunjukkan hal itu. Demi rente, oknum TNI bersikukuh mengadakan helikopter AW 101 dari luar negeri. Padahal, Presiden Jokowi mengamanatkan supaya pengadaan alutsista dipenuhi dari industri alutsista dalam negeri. Presiden bercita-cita ingin memperkuat industri alutsista dalam negeri. Supaya PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, dan PT PAL tidak hanya bisa memasok kebutuhan dalam negeri, tetapi juga bisa mengekspor alutsista ke pasar internasional. Komprador bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menyabotase agenda penting bangsa ini: penguatan dan pendalaman industri alutsista dalam negeri.

Lanskap sosial politik

Sukses mengendalikan dan menihilkan peran komprador dalam perpanjangan izin/kontrak industri ekstraktif harus disematkan kepada Presiden Jokowi dan para menterinya. Ada empat peran yang dimainkan Presiden Jokowi: 1) mengorkestrasi posisi dan kepentingan pemerintah dalam negosiasi perpanjangan izin/kontrak kepada komunitas politisi, pebisnis/investor nasional, dan publik; 2) mendemistifikasi hubungan dengan perusahaaan asing bukan sebagai pemerintah ke pemerintah (G to G), tetapi ini murni sebagai bisnis ke bisnis (B to B).

Kemudian, 3) menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat pada waktu yang tepat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri ESDM Ignasius Jonan sangat profesional, berintegritas, dan berkomitmen tinggi pada pemenuhan kepentingan bangsa. Selanjutnya, 4) memberi teladan yang baik. Ia dan keluarganya bukan pemburu rente yang ingin menguasai atau mendapatkan bagian tertentu dari saham perusahaan asing. Kalau ia dan keluarganya pemburu rente, maka menteri, wakil menteri, dirjen, dan terus sampai ke pejabat di bawahnya akan menjadi pemburu rente juga. Kalau sudah dan suka berburu rente, maka mudah tergelincir menjadi komprador.

Matinya komprador juga dimungkinkan karena lanskap sosial politik kita juga mendukung.

Setidaknya ada lima faktor pendukung. Pertama, sistem politik yang demokratis mendorong persaingan politis yang makin kompetitif dan terbuka di antara para politisi dan institusi politik. Para politisi dan institusi politik bersaing ingin mengembalikan kontrol dan marwah negara dalam pengelolaan industri ekstraktif. Kedua, oposisi dari Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Kendati tidak menawarkan antitesis yang solid dan koheren, kritik yang dilontarkan eksponen ketiga parpol ini—yang kerap menuduh pemerintah sebagai pencitraan—membuat pemerintah berhati-hati dalam bernegosiasi dengan perusahaan asing.

Ketiga, institusi media yang bebas dan mandiri. Meskipun beberapa media partisan, masih ada media yang mandiri dan independen yang bisa mengontrol perilaku aparat negara dalam bernegosiasi dengan perusahaan asing. Dulu ketika kontrak Freeport diperpanjang jauh sebelum jatuh tempo, hampir tak ada resistensi dari media dan publik. Keempat, kontrol publik yang makin kuat dan efektif. Berbagai komponen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil, aktif memantau dan menyuarakan kepentingan publik dan amanat UUD Pasal 33 Ayat (3) 1945 dalam negosiasi tersebut.

Publik mengingatkan pemerintah supaya proses negosiasi perpanjangan kontrak/izin ini transparan dan akuntabel. Selain menyoroti masalah proses, publik juga meminta pemerintah menjadi pemenang dan beruntung banyak dari negosiasi perpanjangan kontrak/izin ini.

Keberhasilan Presiden Jokowi menghadirkan negara dan mematikan komprador dalam pengelolaan industri ekstraktif mempunyai nilai politis penting. Ini bisa dikomodifikasi sebagai aset untuk meningkatkan dukungan politik dan elektablitasnya pada kontestasi politik berikutnya.