Ilustrasi Karya: Bambang Pramudiyanto

"Rest in Peace (RIP). In my deepest condolence."

Itulah ucapan terakhirku melepas kepergiannya. Kamis (29/11/2018) sore yang gerimis, di Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, salah seorang mahasiswaku pamit menemui Tuhannya, setelah sekian lama berpeluk sakit akibat jantungnya yang bocor sehingga mengidap hipertensi paru akut.

Seferiana Eka Pasih, itulah nama pemberian orangtuanya. Mahasiswi asal pelosok Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mendiang adalah pemeluk Katolik, bersama puluhan rekannya berasal dari daerah yang sama aktif kuliah dan aktif di berbagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta (STIE-AD Jakarta).

Menariknya, banyak di antara mereka menjadi anggota dan pengurus aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan telah mengikuti tahapan pengaderan Darul Arqam Dasar (DAD), kendati mereka itu tetap istikamah dengan agamanya. Bahkan, jika ada kegiatan seremoni kampus, mereka kerap tampil sebagai tim paduan suara, menyanyikan Mars Muhammadiyah, Mars IMM, dan tentu di antara mereka mulai fasih belajar Al-Quran dan bahasa Arab. Sesekali mereka berkelakar, "Kami sudah Muhammadiyah, tetapi belum ber-Islam."

Pada Jumat (30/11/2018), sesuai melepas jenazah Seferiana di Bandara Soekarno-Hatta untuk dimakamkan di kampung halamannya, saya mengundang beberapa mahasiswa beragama Katolik dan Kristen asal NTT, Maluku Tengah, dan Tana Toraja. Kami bersilaturahmi, menanyakan suka duka hidup di tanah rantau, menceritakan bagaimana keadaan keluarganya, dan pengalaman batinnya kuliah di ITB-AD Jakarta.

Remi Iusfay, mahasiswa akuntansi yang aktif di IMM, menceritakan kebahagiannya kuliah di kampus Sang Pencerah. Padahal, dia juga aktivis pemuda gereja di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Anak dari Ferdinands dan Theresia—petani serabutan di pelosok Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara—ini menikmati proses belajar di ITB-AD yang terbuka, demokratis, partisipatif, dan tak eksklusif. Sosok Remi Iusfay adalah sosok mahasiswa Kristen-Muhammadiyah, Kris-Mu, yang pernah dipopulerkan Abdul Mu'ti  (2009) dalam riset doktoralnya yang mengambil kasus SMA Muhammadiyah Ende, NTT.

Sosok Kiai Dahlan

Terus terang, saya teringat dan terinspirasi pada sosok Kiai Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah 106 tahun lewat. Sejak awal, beliau menekankan agar Muhammadiyah bukanlah organisasi bergerak di bidang politik, tetapi lebih banyak bergerak di bidang sosial, terutama pendidikan masyarakat. Bagi Kiai Dahlan, Muhammadiyah sebagai wahana berdakwah dan pendidikan untuk membawa ideologi pembaruan, untuk kemajuan bangsa.

Saat merintis dan membangun sekolah berbasis agama, Kiai Dahlan berkunjung ke sekolah sahabatnya, seorang pastor Katolik berdarah Belanda, Pastor Van Lith. Persahabatan  Dahlan dengan pastor tersebut untuk berdialog, berdiskusi bagaimana memajukan pendidikan pribumi yang bermartabat dan memanusiakan manusia. Selain itu, Kiai Dahlan tentu juga banyak bergaul dengan tokoh dari berbagai lintas, seperti pendeta, kelompok Budi Utomo, bahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tak mengherankan jika dokter Soetomo, seorang elite priayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo, penasaran pada Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu. Bahkan, belakangan, sosok Kiai Azhar Basyir (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1990-1995) selalu menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta.

Dalam Pedoman Hidup Islami (PHI) yang beredar resmi di kalangan warga Muhammadiyah, secara eksplisit menuntun bahwa "Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, seperti dengan tetangga ataupun anggota masyarakat lain, masing- masing dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesama Muslim maupun dengan non-Muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil. Mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan agama Islam."

Keapikan inklusivitas dalam pengelolaan pendidikan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah seperti gambaran di atas harus senantiasa dirawat dan dikampanyekan. Islam mengajarkan keramahan, kemanusiaan, tidak diskriminatif, dan senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Jangan sampai hanya kepentingan politik sesaat yang myopic, telah mengoyak sulaman kebangsaan kita. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) harus istikamah menyemai keragaman, sikap inklusif, dan tentu di atas nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Wallahu a'lam bish-shawab.