Demokrasi dan demokratisasi di berbagai belahan dunia kerap mengalami pasang surut. Riak muncul karena demokrasi berkembang di dalam lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi yang telah terbentuk dan mengkristal dalam kurun waktu cukup panjang.

Para teoretisi demokrasi pada awalnya optimistis menyambut gelombang ketiga demokratisasi di "Circa 1974" di selatan Eropa, kemudian Asia dan Amerika Latin.

Gelombang demokratisasi keempat yang dikenal dengan Arab Spring awalnya membawa semangat perubahan. Akan tetapi, hanya berselang beberapa tahun berubah menjadi konflik bersenjata atau perang saudara brutal sehingga kini disebut sebagai Arab Winter. Sarjana politik Thomas Carothers mengatakan, hal itu adalah akhir dari paradigma transisi demokrasi dalam merespons tren pelambatan bahkan surutnya demokratisasi.

Transformasi ketimpangan ekonomi

Pelambatan pertumbuhan demokrasi atau stunting demokrasi, meminjam istilah kesehatan, disinyalir diakibatkan—salah satunya—oleh ketimpangan ekonomi yang kemudian bermutasi jadi ketimpangan sosial. Surutnya demokratisasi, atau de-demokratisasi, jadi alarm bagi para sarjana, pegiat, dan aktor politik. Mereka harus mencurahkan upaya agar panen demokratisasi berbuah kesejahteraan dan keadilan sosial.

Mengakarnya ketimpangan ekonomi di negara-negara Selatan (Global South) menjadi tantangan bagi rezim demokrasi. Mengapa? Mengkristalnya ketimpangan ekonomi dalam kategori sosial, dilabelkan Charles Tilly (2007) sebagai categorical inequality, berpotensi menghambat demokrasi dan berbalik menjadi de-demokratisasi atau setidaknya
stunting demokrasi.

Sistem ekonomi kontemporer, yakni neoliberal dalam bingkai globalisasi dan ekonomi pasar, yang mendominasi tidak hanya tatanan ekonomi, tetapi juga relasi sosial. Terkoneksinya pasar antarnegara menyebabkan percepatan akumulasi kapital, terutama pada sektor industri ekstraktif, properti, pasar finansial, dan jasa yang menggunakan teknologi tinggi. Perkembangan ini menciptakan ketimpangan, terutama penguasaan aset atau tanah, dan berujung pada pembangunan yang tidak merata (Gamble 2006, Tornquist 2015).

Selain itu, sistem ekonomi neoliberal juga menciptakan rezim ketenagakerjaan fleksibel berupa buruh kontrak, alih daya (outsourcing), paruh waktu, dengan mekanisme kontrak kerja individual. Fleksibilitas rezim ketenagakerjaan membuat tiadanya kepastian pekerjaan, berakibat meningkatnya golongan prekariat. Kaum prekariat ini hidup dalam kegamangan dan ketidakpastian serta mengalami marjinalisasi dan diskoneksi atau dislokasi sosial.

Bagaimana mengaitkan ketimpangan dengan de-demokratisasi? Menurut Tilly (2007), sistem demokrasi yang fungsional dapat bertahan dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang masif sekalipun. Lain ceritanya jika ketimpangan ekonomi bertransformasi jadi ketimpangan sosial.

Ketimpangan sosial dapat memutarbalikkan demokratisasi karena, pertama, terkristalisasinya ketimpangan (ekonomi) ke dalam pengorganisasian kategorisasi sosial keseharian, seperti ras, etnik, dan agama. Tilly menyebutnya sebagai categorical inequlity. Untuk mengatasi ketimpangan, orang kemudian mencari solusi sendiri karena pemerintah dianggap tak mampu memberi solusi. Jalan keluar atas keterpurukan diperoleh dari gagasan pengelolaan ekonomi kolektif berdasarkan kategorisasi sosial (seperti ras, etnik, dan agama). Pengelolaan ekonomi dilandasi oleh kategori identitas sosial bersifat eksklusif dan bercorak club goods atau diskriminatif terhadap kategori sosial lain.

Kedua, perbedaan dalam kategori sosial tersebut diterjemahkan dalam ruang politik publik. Ketimpangan ekonomi yang tercipta dari sistem ekonomi neoliberal mengkristal menjadi categorical inequality dalam sekat-sekat sektarian. Identitas kolektif baru ini kemudian dimobilisasi ke dalam politik publik, biasanya dengan jargon populis, sehingga memperuncing perbedaan dan menciptakan sentimen antarkelompok tersebut.

Ketimpangan ekonomi yang bertransformasi ke dalam pengorganisasian sosial membuat ranah politik publik kemudian masuk ke dalam labirin sekat sektarian yang dipenuhi oleh prasangka, kegamangan, dan kecemburuan sosial (Vail, Wheelock, dan Hill 1999). Akibatnya, sistem dan nilai demokrasi, seperti universalisme, nondiskriminasi, dan kesetaraan, tergerus oleh sentimen identitas sosial. Perkembangan mutakhir, baik di belahan dunia Utara maupun Selatan, menunjukkan kecenderungan populisme sektarian/radikal kanan mengarah pada otoritarianisme atau antidemokrasi (Mudde 2007, Gest 2017).

Vaksin ketimpangan sosial

Ketimpangan ekonomi, menurut sosiolog Joel Kahn, adalah buah dari modernisasi (ekonomi) akibat situasi paradoksal universal in ideal but particular in outcome. Apakah demokrasi bisa menihilkan ketimpangan sosial sangat bergantung pada kapasitas kelembagaan negara dan adanya pakta ekonomi yang disepakati oleh kelompok-kelompok sosial-politik.

Sistem jaminan sosial merupakan instrumen efektif untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, khususnya bagi kelompok warga miskin dan rentan, agar mereka terlindungi dari ketidakpastian akibat pembangunan ekonomi (Esping-Andersen 1990; HarslØf dan Ulmestig 2013).

Kedua, pakta ekonomi produktif dan inklusif harus menjadi kesepakatan kolektif. Situasi ekonomi yang padat teknologi dan manusia dengan kemampuan kreatif tidak bisa lagi disikapi dengan model ekonomi proteksionis seperti program Benteng atau New Economic Policy ala Malaysia tahun 1970-an. Kolaborasi dan inovasi menjadi pijakan ekonomi milenium, bukan ekonomi identitas.

Selama ini ketimpangan ekonomi disikapi, baik sengaja maupun tidak, sebagai masalah sosial. Padahal, penyebab utama adalah sistem ekonomi akumulatif yang menyebabkan ketimpangan bertahan. Karena itu, sistem jaminan sosial dan pakta ekonomi produktif dapat membangun solidaritas dan kolaborasi. Dengan demikian, kita bisa terhindar dari stunting demokrasi.