KOMPAS/RIZA FATHONI

Peserta mengikuti acara Pawai Budaya dalam rangka penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Acara yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini adalah upaya untuk meramaikan lagi isu-isu kebudayaan di Indonesia. Pawai Budaya diikuti 3.400 peserta dan setiap provinsi diwakili 100 orang.

Tanpa kecuali, semua orang hidup di dalam ranah kebudayaan, yaitu tatanan nilai dan perilaku yang kita warisi dan kita wariskan melalui—terutama—pengasuhan dan pendidikan. Namun, kita tidak hanya hidup bertindak di dalamnya, tetapi juga memperbincangkannya, mempertengkarkannya, berebut tentang apa yang benar tentangnya, terutama apabila kita berurusan tentang identitas, "jati diri", sesuatu yang kita percayai dapat membuat kita tidak hilang lenyap di tengah samudra perubahan.

Di lingkup pewacanaan tentang "kebudayaan" ini, kita dapat mengancang adanya tiga golongan besar: yaitu kaum apologis, kaum kritis, dan kaum skeptis.

Kaum apologis mengatakan bahwa kebudayaan kita (kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, misalnya) tidak bisa keliru. Apabila kebudayaan kita berubah (katakanlah karena desakan kapital dan teknologi yang mendunia), yang berubah hanya kulit-kulitnya belaka, sementara inti-intinya bertahan tetap. Katakanlah, misalnya, bahwa kita tetap Indonesia, kita tetap Minang, kita tetap beriman, jiwa kita tetap murni dan teguh, biar pun kita mencari penghidupan dengan sarana dan temuan orang asing.

Dari berbagai "budaya asing" itu, kita sanggup menyerap yang terbaik dan membuang segala yang buruk. Justru budaya kita-lah yang (akan) sanggup membuat dunia ini tidak tunggal-warna: budaya kita adalah alternatif terhadap budaya global. Seorang koreografer Surakarta pada suatu hari berujar kepada saya: "Lihatlah, para intelektual kita hanya memahami Barat dan tidak menyelami Jawa!"

Kaum kritis mengatakan bahwa kita suka sekali menggosok- gosok warisan leluhur yang berbau kemenyan. Sesungguhnya kebudayaan ialah "sesuatu" yang tumbuh di atas basis sosial-ekonomi dalam rentang sejarah yang tertentu.

Jika ada produk budaya lokal yang bertahan (misalnya, ritus atau kesenian), sadarlah bahwa ia ikut memelihara dan dipelihara ikatan feodal atau komunal, yang terikat ke masa silam. Atau ia terpaksa hidup hanya untuk memenuhi turisme dan politik kenegaraan.

Bahkan, terhadap aneka produk budaya yang baru pun, kaum kritis menaruh syak wasangka yang besar. Musik populer, misalnya, hanyalah sarana untuk meraih laba sebesar-besarnya.

Sastra dan seni rupa modern hanyalah mainan bagi kelas menengah atas yang terkurung oleh wawasan Barat. Kaum kritis meyakinkan kita akan adanya hegemoni, yaitu bahwa kesadaran kita adalah zona nyaman yang didiktekan mereka yang punya modal dan kuasa.

Kaum skeptis

Kaum skeptis mengatakan, kenapa kita harus memikirkan kebudayaan jika sesungguhnya kehidupan kita dibentuk, terutama, oleh teknologi dan ekonomi. Menjadi maju di bidang sains, olahraga, kesenian, dan aneka disiplin lain adalah menegakkan kepiawaian di lingkup profesi masing-masing dengan standar yang bebas dari budaya asal.

Identitas adalah hasil pencarian pribadi, bukan lagi pengikatan diri kepada kaum, puak, atau bangsa. Barangsiapa bertaut kepada warisan moyang akan menutup peluang bagi dirinya sendiri ataupun orang lain untuk hidup lebih sejahtera.

Lagi pula, apa artinya identitas jika—di abad ini—media sosial bisa memalsukan, memanipulasi, dan menciptakan realitas setiap saat—menggantikan sejarah dengan timeline? Atau, setiap "keluhuran budaya" bisa segera menjadi bagian dari politik identitas yang diperkuda untuk politik segregasi dan sektarianisme.

Kongres Kebudayaan kita yang sudah berlangsung sembilan kali sejak 1918 (dan aneka rupa polemik kebudayaan kita yang terjadi sejak awal abad ke-20) pada dasarnya adalah pertandingan wacana di antara tiga golongan yang saya sebut di atas.

Tentu tidak buruk: karena itu semua memberi refleksi bagaimana Indonesia kita menjadi "sesuatu". Namun, juga tidak terlalu baik: karena apa yang diwacanakan tidak menjadi program kerja.

Kongres Kebudayaan 2018, yang berlangsung di Jakarta pada minggu lalu, sungguh berbeda karena ia jauh melampaui pewacanaan. Ia telah melahirkan tujuh agenda strategis, yang sebentar lagi akan menjadi strategi kebudayaan yang mesti dijalankan negara—yaitu pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah—terutama karena terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Tidak sedikit yang waswas bahwa strategi kebudayaan tersebut, yang pada gilirannya harus menjadi rencana induk pemajuan kebudayaan, bakal mengekang kebebasan dan daya cipta, yakni hakikat dalam kehidupan kebudayaan itu sendiri.

Akankah kaum seniman, misalnya, diharuskan mengikuti garis-garis haluan resmi estetika negara? Akankah penelitian ilmiah mesti tunduk pada tujuan jangka pendek yang digariskan mereka yang berkuasa? Akankah berbagai kebudayaan daerah menjadi bentuk-bentuk taman mini Indonesia indah yang lain, yang berikutnya?

Saya jawab tidak. Selaku seniman dan warga negara, sesungguhnya saya bergirang hati dengan adanya UU Kebudayaan tersebut untuk tiga semangat dasar yang dikandungnya.

Pertama, untuk melindungi dan memelihara sumber-sumber kreatif di segala tingkat dan segala daerah. Kedua, untuk menegakkan tata kelola yang benar dan terukur dalam kehidupan budaya kita. Ketiga, untuk menangkal paham- paham sempit yang tengah merajalela di dunia mutakhir ini.

Kehadiran negara adalah untuk memudahkan masyarakat mengembangkan ekspresinya, demikianlah ujar Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, belum lama ini.

"Pragmatisme"

Tentu saja, kita telah banyak belajar dari kekeliruan kaum apologis, kaum kritis, dan kaum skeptis: yaitu bahwa mereka hanya bertolak dari "idealisme" belaka, terutama karena mereka hanya memandang dari atas. Yang kita perlukan kini bukan "idealisme", melainkan "pragmatisme", yaitu kesanggupan untuk memperlakukan kebudayaan sebagai ilmu dan sebagai program.

Dari kaum apologis, kita mengambil cinta mereka yang mahabesar akan budaya sendiri, tetapi pada saat yang sama kita harus melucuti fundamentalisme dan orientalisme mereka.

Orang- orang seperti Ki Hadjar Dewantara, Muhammad Sjafei, Anak Agung Made Djelantik, dan Gendon Humardani sudah pasti bukan kaum apologis karena mereka memperlakukan budaya asal sebagai sehimpun pengetahuan dan keterampilan yang sudah terpisah dari lingkungan semula, dan karena itu terbuka untuk pembaruan dan sekaligus memerlukan tata kelola (termasuk pendidikan dan ekosistem) yang baru.

Mereka pun membangun institusi yang menghasilkan para pekerja kreatif yang unggul. Dari kaum kritis, kita mengambil pelajaran akan eratnya hubungan antara ekspresi seni dan lingkungan sosial, tetapi sekaligus kita mesti membuang determinisme ekonomi mereka.

Sumber-sumber kreatif yang bertebaran di berbagai pelosok negeri memerlukan tata kelola yang baik; apabila tidak, bakat- bakat itu akan mati di lingkungan asalnya yang tergilas ekonomi uang.

Kaum kritis akan menjadi kaum pembangun jika mereka menyadari bahwa maraknya seni dan ilmu adalah tetanda dari masyarakat yang sehat dan terbuka: bahwa mengembangkan fasilitas dan institusi kebudayaan adalah untuk menggerakkan perubahan sosial-ekonomi itu sendiri.

Dari kaum skeptis, kita mengambil pelajaran tentang unggulnya budaya ilmiah. Bukan hanya kaum ilmuwan yang harus menjunjung rasionalitas, melainkan juga kaum lain dan seluruh lapisan masyarakat.

Bukankah kaum "budayawan" kita selama ini begitu percaya pada takhayul, ilham, kejayaan masa lalu, bakat alam, dan takdir? Maka, bebaskan dirimu dari zaman kegelapan itu!

Kreativitas dan pengembangan potensi kreatif mesti bergandeng erat dengan penelitian, dokumentasi, kepustakaan, pendidikan, fasilitas, institusionalisasi, distribusi, penilaian, kompetisi—semua hal yang harus dibangun dengan ukuran yang tidak lagi terikat pada budaya lama. Ini adalah segala sesuatu yang mesti dimulai dengan rumusan yang jernih dan tegas. Namanya, katakanlah, strategi kebudayaan.

Adapun tujuh agenda strategis—yakni draf strategi kebudayaan—yang telah diserahkan kepada Presiden pada penutupan Kongres Kebudayaan 2018 adalah "abstraksi" dari segenap suara dari bawah dan dari berbagai penjuru: yaitu pokok pikiran kebudayaan daerah dari 279 kabupaten dan kotamadya dan 30 provinsi, serta aneka rekomendasi dari konvensi pra-kongres kebudayaan dan 31 forum profesi dan minat.

Tampaknya kita bisa bergirang hati, biar pun sejenak belaka: setelah lama belajar dari kaum apologis, kaum kritis, dan kaum skeptis, sebentar lagi kita, dengan strategi kebudayaan itu, bisa mulai memperlakukan kebudayaan sebagai ilmu sekaligus sebagai program kerja, termasuk "memaksa" pusat dan daerah mengerjakan tugas-tugas pokok untuk memajukan kebudayaan.

Di dalam kerja besar memajukan kebudayaan, baik negara maupun masyarakat harus sigap- tegas menghalau berbagai daya yang menghalang-halangi kemerdekaan, rasionalitas, dan daya cipta. Jangan jauh panggang dari api.