Kisah ini terjadi pada Senin, 25 Maret 2019, di ruang rapat permusyawaratan hakim konstitusi. Namun, pesannya relevan dalam situasi politik sekarang. Sore itu, sembilan hakim konstitusi sedang musyawarah mencari wakil ketua MK. Ketua MK dijabat Anwar Usman. Ada dua hakim konstitusi yang ikut kontes untuk jadi wakil ketua MK, yakni Aswanto dan I Dewa Gede Palguna.

Upaya musyawarah gagal mencapai mufakat. Akhirnya, dua negarawan itu harus dipilih oleh sembilan hakim konstitusi secara voting. Dalam pemilihan tahap pertama, Aswanto dan Palguna masing-masing dipilih empat hakim. Satu hakim abstain. Pemilihan diulang, namun tidak juga berubah, Aswanto tetap dapat empat suara, dan Palguna tetap dapat empat suara. Satu hakim abstain.

Ketua MK melanjutkan pemungutan suara ketiga. Pada saat itu, Palguna sebagaimana ditulis harian Kompas, 26 Maret 2019, meminta kesempatan bicara. "Pak Ketua, karena banyak tugas yang harus dikerjakan selain hal ini, dengan ini saya menyatakan mundur dari pencalonan saya sebagai wakil ketua MK."

Pemilihan wakil ketua MK pun kelar. Palguna mengatakan tak ingin pemilihan wakil ketua MK ini menjadi drama berkepanjangan. Ia memilih mundur sesuai nuraninya sendiri. Hakim konstitusi Arief Hidayat berkomentar, "Kita ditunjukkan jiwa besar Pak I Dewa Gede Palguna yang lebih mementingkan tugas daripada jabatan. Ia menunjukkan kepada khalayak ramai bagaimana hakim yang dipilih adalah negarawan, dibandingkan mengutamakan kepentingan pribadi."

Palguna pernah menjadi hakim konstitusi pada 2003-2008. Dia dipilih kembali oleh Presiden Joko Widodo untuk jadi hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh Panitia Seleksi pada 2015 menggantikan Hamdan Zoelva. Palguna adalah akademisi di Universitas Udayana, Bali. Dia pernah menjadi anggota MPR Fraksi Utusan Daerah periode 1999-2004.

Kisah Palguna layak diketengahkan di tengah panasnya suhu politik Pemilihan Presiden 2019. Tidak ada kampanye berkepanjangan. Tidak terdengar hoaks atau berita bohong di kalangan hakim konstitusi. Ketika pemilihan wakil ketua MK terancam buntu, Palguna memilih mundur. Seperti dikatakannya, dia tak ingin menjadikan pemilihan wakil ketua MK jadi drama berkepanjangan. "Masih banyak pekerjaan lain," katanya.

Argumentasi Palguna begitu elegan. Dia tak mengutamakan kepentingan pribadinya untuk memburu jabatan wakil ketua MK. Dia merasa tidak pantas seorang hakim konstitusi yang diberi label negarawan oleh konstitusi harus terjebak dalam drama berkepanjangan memperebutkan kursi wakil ketua MK.

Drama Palguna layak dimunculkan dalam lanskap kontestasi pemilu presiden. Mengikuti kampanye pemilu presiden, masyarakat merasakan bagaimana politik telah kehilangan rasionalitasnya, bagaimana etika dan estetika telah dicampakkan. Bukan kekuatan argumentasi yang dipaparkan, bukan kemampuan berimajinasi soal masa depan bangsa yang digambarkan, melainkan frasa-frasa kasar yang muncul ke permukaan. Jejak digital mencatat bagaimana makian, kata-kata tak pantas, terucap dari calon pemimpin. Dan, itu semua akan terekam panjang dalam memori anak-anak.

Politik tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan. Mudah-mudahan kampanye akbar terakhir jadi momentum menggembirakan, momen mempertontonkan keindonesiaan, momen menunjukkan kemajemukan. Namun, tetap harus aman dan meninggalkan simpati. Belakangan ini, politik Indonesia telah berubah menjadi to be or not to be. Menang atau kalah. Kedua kubu saling klaim akan kemenangan. "Hanya kecurangan yang bisa menggagalkan kemenangan." Ajakan people power pun muncul jika terjadi kecurangan. Padahal, jika mau mengutip Juan Linz, demokrasi akan terkonsolidasi manakala ia disepakati sebagai satu-satunya aturan main yang disepakati.

Kecurangan, penyimpangan, pasti saja ada, tergantung skalanya. Dan, sudah ada pula mekanismenya. Ada Bawaslu, ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang akan mengawasi kerja KPU dan Bawaslu berikut jajarannya. Ada juga MK yang berwenang menentukan sengketa hasil pemilu.

Rabu, 17 April 2019, adalah hak rakyat menentukan masa depan bangsanya. Apakah optimisme atau pesimisme? Apakah pemerintahan yang kuat atau pemerintahan mau melayani? Terlepas dari pilihan dikotomis itu, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika tetap harus jadi panduan bangsa ini.

Setelah 192 juta menyatakan pilihan, dan pada sore hari, hitung cepat sudah bisa memperkirakan wajah Indonesia, sikap dewasalah yang harus diketengahkan.