Pesan lisan ibu tua itu disambut dengan kebungkaman oleh anak-anaknya. Di antara kelima anak, ada yang setuju, ada yang tidak. Tetapi, yang berbicara adalah sang ibu, yang telah melahirkan mereka semua. Ibu mereka, pensiunan guru, pejuang emansipasi hak-hak kaum wanita tahun 1950, segera ingin damai dengan dirinya. Yaitu, pada akhirnya, mengalah pada suratan dogma….
Peristiwa yang kini tak jarang terjadi mengingatkan kita pada Kartini, lebih dari seratus tahun lalu, yang usai merangkul "kemajuan" lalu terpanggil memperjuangkan pendidikan kaum wanita—dan pada akhir hidupnya yang pendek juga takluk di hadapan tuntutan adat dan agama zamannya.
Bisa jadi pahlawan yang disayangi masyarakat Indonesia, dan hari lahirnya dirayakan setiap 21 April ini, tidak hanya mewakili hasrat kaum wanita untuk meraih pendidikan, tetapi juga kegagalan kaum itu untuk mencapai persamaan hak dan perilaku dengan kaum pria. Maka, muncul pertanyaan: apakah sosok Kartini telah dimitoskan dengan tujuan disulap menjadi sarana patriarki gaya baru?
Apabila kita melihat posisi yang kini dicapai oleh wanita, tak bisa tidak, kita harus mengagumi langkah-langkah maju yang telah ditempuh kaum hawa sejak wafatnya Kartini, 115 tahun yang lalu (1904). Kini semua wanita bisa sekolah, bahkan tidak mustahil dalam beberapa tahun jumlah sarjana wanita akan melebihi jumlah sarjana pria.
Peningkatan pendidikan kaum wanita ini berdampak langsung terhadap peran yang dimainkannya dalam bidang ekonomi, terutama di sektor-sektor ekonomi modern. Kini, wanita tidak hanya membanjiri sektor pendidikan dan kesehatan, tetapi kian sering ditemukan pada jajaran kepemimpinan negara. Ini berarti wanita semestinya mempunyai otonomi ekonomi dan sosial yang total. Maka, apakah hal ini harus disambut dengan seruan "hore-hore" bergembira.
Tidak! Oleh karena otonomi tersebut mengguncang distribusi kekuasaan antarjender di rumah tangga dan di masyarakat, dan hal ini tidak diterima. Melihat risiko kaum wanita akan mengambil alih kontrol total atas dirinya, termasuk tubuhnya, timbullah reaksi struktural pada mekanika sosial Indonesia: kekangan dogma dipererat, dengan dikedepankannya aneka kewajiban bagi kaum wanita, termasuk penampilan fisik yang baru.
Alhasil, di hadapan demam identitas ini, perjuangan "jender" kalah, atau tepatnya dinomorduakan. Bahkan, kerap terpaksa menyelusup di dalam simbol-simbol religi, di mana perjuangan itu dengan sendirinya memudar.
Hasilnya adalah aneka situasi paradoksal, di mana wanita tertentu bisa mengaku feminis, tetapi memilih sistem waris dogmatis seperti di atas. Atau wanita lain menyangkal bahwa "agama" mengandung bias jender dengan menawarkan tafsir yang menyatakan bahwa "agama" yang sebenarnya tidak berbias "jender" itu, dan sebagainya.
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa emansipasi kaum wanita, seperti gerak kemajuan historis kaum lain (pekerja, minoritas), selalu bernapas panjang. Kemajuan bersifat "incremental" atau berlangsung sedikit demi sedikit: evolusi makro memang ada, tetapi lamban.
Wanita tidak lagi dipaksa nikah dengan pria pilihan orangtuanya, seperti Kartini, tetapi tetap dibuat wajib melayani pria.
Melihat kenyataan ini, di mana patriarki bak kepala Rahwana—dipenggal kepalanya, selalu muncul kepala yang baru—lalu kita harus bagaimana?
Apakah, seperti kelompok Future Wonder—yang kini berpameran di Bali dan mengandalkan 'penyadaran' melalui simbolisme seksual yang amat berani—harus memperlihatkan bahwa wanita senantiasa tereduksi pada tubuhnya? Belum tentu.
Fenomena di atas mengajak kita untuk merenungkan nasib wanita Indonesia. Sejauh mana kaum wanita negeri ini tunduk kembali di bawah kuasa patriarki yang tidak lagi berwajah pria-pria lingkungan adat.
Sejauh mana wanita ini betul-betul bebas dan otonom. Sejauh mana seluruh sistem sosial senantiasa mengembalikannya pada posisi subaltern, betapapun dia diagung-agungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar