
Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas
Nama Willibrordus Surendra Broto Rendra harus kita kenang dengan cara lebih khidmat dibanding cara-cara mengenangnya selama ini.
Bahkan seharusnya namanya disejajarkan dengan pejuang-pejuang kemerdekaan, seperti Pangeran Diponegoro, Jenderal Soedirman, Muhammad Yamin, dan Ki Hadjar Dewantara.
Rendra tak hanya memperjuangkan kebebasan berpikir, tetapi juga terjun langsung sebagai aktivis, berhadapan muka dengan penguasa otoriter Orde Baru.
Sesungguhnya Rendra menandai babak akhir keterlibatan sastra dalam ranah sosial politik di Tanah Air. Pertama-tama sastra kita benar-benar terlibat dalam pembenihan kemerdekaan ketika Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan majalahPoedjangga Baroe tahun 1935, yang membuatnya harus mendekam di penjara.
Sesudahnya, menjelang kemerdekaan 1945, Chairil Anwar meletupkan sajak-sajak yang mengokohkan nasionalisme sebagai bangsa yang berdaulat. Bersama perupa Affandi, ia membuat poster-poster dengan idiom-idiom yang membakar semangat kemerdekaan, seperti "Bung Ayo Bung!" dan "Merdeka atau Mati!"
Pada era 1970-an, ketika kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto semakin represif, karya-karya Rendra tampil sebagai parlemen keindahan yang menjadi penyeimbang narasi demokrasi dalam bernegara.

WS Rendra membaca puisi di acara penutupan Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Kamis (9/12/1982).
Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisikan dua komponen partai (PPP dan PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar), dilengkapi dengan ABRI dan Utusan Daerah, tiada lain adalah "orang-orang" yang "ditugaskan" oleh pemerintah.
Oleh sebab itu, parlemen tidak lagi berani sekadar "bernegosiasi' dengan pemerintah, bahkan untuk berbeda pendapat pun mereka takut dicap subversif. Mereka mengusung narasi tunggal, yang makin hari makin membuat kekuasaan Orde Baru semakin absolut.
Rendra tak hanya memperjuangkan kebebasan berpikir, tetapi juga terjun langsung sebagai aktivis berhadapan muka dengan penguasa otoriter Orde Baru.
Jenderal Soeharto tak bisa dilawan lewat cara-cara sebagaimana digariskan dalam konstitusi. Justru hampir seluruh instrumen konstitusi diciptakan untuk semakin mengokohkan dirinya sebagai penguasa tunggal Orde Baru.
Demokrasi yang sering kali didengungkan pemerintah menjadi demokrasi semu, tanpa check and balances sebagaimana disebutkan dalam teori pembagian kekuasaan Montesquieu.

Tepuk tangan hadirin yang spontan berdiri bergemuruh di ruang rapat Komisi I DPR ketika dramawan WS Rendra selesai membacakan sebuah sajaknya, "Demi Orang-Orang Rangkasbitung". WS Rendra dan seniman-seniman Dewan Kesenian Jakarta bertemu dalam acara dengar pendapat dengan anggota Komisi I DPR, Rabu (5/12/1990).
Rendra tampil di panggung politik bukan untuk memperjuangkan ideologi, seperti katanya. Ia menyodorkan fakta-fakta dalam bentuk kritik melalui puisi atau drama-dramanya yang fenomenal.
Sebutlah "Sajak Sebatang Lisong" yang ia bacakan di hadapan sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1977. Penggalan sajak itu berbunyi:
//Menghisap sebatang lisong/melihat Indonesia Raya/mendengar 130 juta rakyat/dan di langit/dua tiga cukong mengangkang/berak di atas kepala mereka//Matahari terbit/Fajar tiba/Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan//Aku bertanya/tetapi pertanyaan-pertanyaanku/menbentur meja kekuasaan yang macet/dan papan tulis-papan tulis para pendidik/yang terlepas dari persoalan kehidupan…//
Sajak ini kemudian menginspirasi sutradara Sjuman Djaja, salah seorang sineas berpendidikan Rusia di masa Orde Lama, untuk membuat film Yang Muda Yang Bercinta di mana Rendra menjadi pemeran utamanya.

Rendra dan Yati Octavia dalam film Yang Muda Yang Bercinta.
Dua platform kesenian inilah yang turut membuat Rendra semakin tidak disukai pemerintah Orde Baru. Puncaknya, sebagaimana dituturkan Edi Haryono, sahabat Rendra, saat membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki, 28 April 1978, Rendra dilempari enam bungkus bom amonia.
Dua orang pingsan di depan panggung. Padahal, pada acara itu hadir mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Wapres Bung Hatta, dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng. Sembari menutup hidungnya dengan sapu tangan, Rendra berteriak, "Saya tidak mundur. Saya bertanya, apakah saudara akan mundur?" Penonton menyambut, "Tidaakkk."
"Saya diganggu dan dijamah. Saya mempertahankan peradaban. Saya mempertahankan hukum dan akal sehat. Kekacauan yang tidak pasti tadi adalah teror. Adalah unsur antiperadaban. Adalah unsur yang memalukan bangsa," teriak Rendra lagi.
Pembacaan puisi malam itu pun kembali dilanjutkan. Tiga hari kemudian penyair berjuluk "Si Burung Merak" ini dijemput di rumah kontrakannya di kawasan Pejambon, Jakarta. Ia dijebloskan ke dalam penjara militer di Jalan Guntur, Jakarta.

Ini bukan Rendra di atas pentas, melainkan peristiwa yang benar-benar terjadi. Rendra ketika "dibawa" tentara gara-gara ia bertirakatan di Jalan Thamrin, berdoa agar korupsi di Indonesia bisa terberantas.
Sebelum menuju sel penjara, Rendra menerima surat dari istrinya, Ken Zuraida, yang mengabarkan anak bungsunya telah lahir pada 28 April 1978. Rendra kemudian memberinya nama Maryam Supraba. "Mas Willi menghuni penjara selama 5 bulan 10 hari, lalu dibebaskan tanpa pengadilan," kata Edi Haryono.
Ketika menyaksikan parlemen tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Rendra mulai menggalang agenda-agenda mimbar bebas di kampus-kampus sejak tahun 1970-an. Ia membacakan sajak-sajak bernuansa kritik kepada pemerintah yang kemudian dikumpulkan dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi.
Upaya-upaya itu, menurut Edi, secara sadar dilakukan Rendra. Ia ingin menjadikan seni sebagai bagian integral dari proses peradaban. Seni harus mengantarkan manusia memasuki iklim kebebasan dan kemudian mereguk kemerdekaan sedalam-dalamnya.
Lewat puisi, Rendra "membentuk" parlemen keindahan dengan motor penggerak para mahasiswa, yang mulai menyadari bahwa Orde Baru adalah tirani yang patut dilawan dan ditumbangkan. Lahirlah bait-bait puisi seperti:
…Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan…
(Aku Tulis Pamplet Ini—1978)

"Si Burung Merak" WS Rendra kembali mengepakkan sayapnya ketika membacakan puisi terkenalnya berjudul "Suto Mencari Bapak" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (6/4/2006).
Pada periode ini Rendra mengorbankan elemen-elemen estetik dalam sebuah puisi, yang pernah ia tekuni pada masa awal kepenyairannya. Ia bahkan beranggapan penyair tidak boleh berhenti sebatas menulis "anggur dan rembulan", ia hanya akan menjadi "penyair salon".
Pernyataan ini menyindir para penganut paham seni untuk seni, seni cuma untuk keindahan. Bagi Rendra, seni harus terlibat dan memberi kesaksian terhadap realitas sosial di sekitar dirinya.
Secara lugas, penyair kelahiran Surakarta, 7 November 1935, ini mengatakan, "Komitmen saya kepada daya hidup yang menyebabkan saya sering melontarkan kritik sosial lewat sajak-sajak saya. Bukan karena ideologi politik."
Ia kemudian memberi kesaksian lewat puisi bertajuk "Aku Mendengar Suara" (1974):
//Aku mendengar suara/Jerit hewan yang terluka/Ada yang memanah rembulan/Ada anak burung terjatuh dari sarangnya/Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan kita terjaga//.

Untung Basuki (kedua dari kanan), awak Bengkel Teater Yogyakarta, membawakan lagu "Sajak Lisong" yang menggunakan bait-bait puisi "Sajak Lisong" karya WS Rendra dalam pementasan "Kesaksian Rendra" untuk mengenang 7 tahun berpulangnya "Si Burung Merak" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Kesaksian dan terus berjaga di garis batas pernyataan dan impian—meminjam ungkapan Chairil Anwar dalam "Kerawang Bekasi"—yang membuat Rendra pantas mendapatkan penghormatan sekhidmat-khidmatnya sebagai seorang sastrawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar