Sebagaimana telah disiarkan sejumlah media, termasuk Kompas, masalah ekonomi yang menantang itu berderet. Antara lain subsidi bahan bakar minyak yang mendekati 4 persen produk domestik bruto (PDB) serta mendominasi dan memeras anggaran negara, defisit infrastruktur berat yang menyengsarakan rakyat miskin kota dan desa yang bergantung pada jalan dan irigasi bagi produktivitas dan pemasaran hasil pertanian, pengangguran terbuka ataupun terselubung yang setiap tahun terus meningkat, birokrasi layanan publik yang korup dan tak efisien, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengancam kohesi sosial dan membuat masyarakat bangsa rentan terhadap retorika populis yang berbahaya (Hall Hill http://www.insideindonesia.org).
Masalah lain berkaitan dengan pangan, energi, dan air bersih. Tentu saja masalah ekonomi mahaberat itu akan menjadi prioritas Jokowi untuk mengatasinya. Nawa Cita merupakan visi dan misi Jokowi, menggambarkan tak sekadar daftar keinginan, tetapi juga komitmen mendayagunakan negara bagi terwujudnya keamanan, keadilan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya.
Nawa Cita ingin menghadirkan negara sebagai aktor utama untuk memfasilitasi dan memproteksi berbagai usaha guna mengangkat harkat dan martabat rakyat yang dibelenggu kemiskinan dan keterbelakangan menuju ke tingkat yang setara atau mendekati kesejahteraan rakyat negara maju.
Memosisikan negara sebagai aktor utama untuk mengatasi masalah ekonomi, politik, sosial, hukum, dan budaya bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu sudah sejak dulu merupakan amanah konstitusi. Masalahnya, dari era Soeharto sampai ke masa SBY, dan nanti zaman Jokowi, kemampuan negara selalu terbatas sehingga tak terhindarkan bahwa pemerintah harus mengundang partisipasi perusahaan swasta dalam membangun infrastruktur layanan publik, seperti, jalan tol, bandara, pelabuhan, pengadaan air, layanan kesehatan, pendidikan, listrik, dan telekomunikasi.
Neoliberal
Pada titik ketika pemerintah membuka pintu bagi partisipasi swasta di bidang layanan publik ini, kita menyaksikan sebagian masyarakat sipil kita menggugat kebijakan pemerintah tersebut sebagai neoliberal, merugikan rakyat, dan melanggar UUD 1945. Berbagai gugatan hukum dilakukan koalisi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap UU Kelistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya karena mereka mencium aroma ideologi neoliberal di balik berbagai UU itu.
Pada pemerintahan DKI di bawah Jokowi, mempertahankan perjanjian kerja sama swasta dan perusahaan daerah air minum produk Sutiyoso digugat oleh koalisi LSM karena diduga menjalankan kebijakan neoliberal yang melanggar UUD 1945.
Sejumlah kasus itu mengundang pertanyaan hukum fundamental, yakni apakah kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengadaan layanan publik itu sebuah praktik neoliberal atau sesungguhnya implementasi dari konsep negara yang memberdayakan rakyat yang sesuai dengan amanah konstitusi. Apakah UUD 1945 memosisikan negara sebagai penghasil produk atau justru sebagai penjamin produk dalam konteks ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas, dan berkualitas.
Mencermati dan merenungkan kembali alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, sampailah kita pada pengertian bahwa UUD 1945 tidak menganut konsep negara yang memisahkan secara tajam antara negara, masyarakat, dan pasar sebagaimana yang kita jumpai di negara-negara liberal pertengahan abad ke-19 di Eropa dan Amerika yang sejak 1980-an dihidupkan kembali oleh para pendukung neoliberalisme. Ia juga tidak menganut konsep serba negara yang mengarah ke totalitarianisme sebagaimana dipraktikkan negara komunis.
Namun, sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta, UUD 1945 mengedepankan kerja sama antara negara, swasta, dan koperasi atau ekonomi rakyat. Pandangan Hatta ini terukir dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2) dan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3).
Kemakmuran rakyat
Di sana kata kuncinya adalah dikuasai negara dan guna sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, negara tidak berarti selalu sebagai pemain tunggal penghasil produk, tetapi demi efisiensi, ketersediaan, keterjangkauan, aksesibiltas publik, dan kualitas, negara dapat dan kadang-kadang harus bekerja sama dengan atau memberikan tugas kepada swasta untuk menghasilkan produk yang diperlukan publik.
Dengan demikian, jelas, UUD 1945 tidak antipasar, tidak menolak kerja sama dengan atau menugaskan pihak swasta guna menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan publik. Inilah sesungguhnya konsep negara yang memberdayakan yang dianut konstitusi kita, yang mengedepankan kerja sama antara negara, pasar (swasta), dan masyarakat sipil guna menghasilkan produk yang diperlukan bagi pemberdayaan rakyat.
Menurut Pedro Costa Goncalves dari Universitas Coimbra, Portugal, dalam konsep negara yang memberdayakan, negara wajib menjalankan tugas-tugas berikut. Pertama, memastikan pembagian jasa-jasa esensial di bidang energi, air, pengelolaan limbah, telekomunikasi, pengangkutan, penyiaran, dan pos. Kedua, memastikan dan melindungi hak para pengguna jasa-jasa esensial. Ketiga, memastikan perlindungan dan pemajuan persaingan.
Keempat, memastikan keseimbangan yang adil dan efisien antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Kelima, memastikan dan memercayai solusi pasar yang dipromosikan negara, seperti sertifikasi jasa oleh pihak swasta di berbagai bidang, antara lain produk makanan organik, keamanan produk industri dan mesin, serta perlindungan kualitas lingkungan. Keenam, menjamin dan melindungi aset publik lainnya, misalnya keselamatan, kesehatan, dan pekerjaan.
Dengan demikian, negara harus mengembangkan standar regulasi yang mampu mengawal pelaksanaan tugas-tugas negara tersebut. Demikian Pedro Costa Goncalves. Dalam rangka pelaksanaan konsep negara yang memberdayakan sebagaimana terukir dalam alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah Jokowi diharapkan menjalankan kebijakan ekonomi dan hukum. Pada satu sisi, itu mengundang kepercayaan dan gairah aktor di pasar untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam menghasilkan produk yang dibutuhkan publik. Di sisi lain, itu meniscayakan tercapainya tujuan diadakannya kerja sama publik-privat: ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas bagi publik, dan berkualitas.
Pemerintah Jokowi perlu mengevaluasi melalui prosedur yang transparan berbagai bentuk kerja sama publik-privat yang sudah berjalan dalam pengadaan produk yang diperlukan rakyat. Melalui pelaksanaan negara pemberdaya, diharapkan Nawa Cita mampu menghadirkan negara untuk memberdayakan rakyat. Selamat bekerja.
Abdul Hakim G Nusantara
Advokat/Arbiter; Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010293088
Powered by Telkomsel BlackBerry®