Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 Juni 2014

Mengkaji Ulang Penguasaan atas Sektor Migas (Gde Pradnyana)

Di tengah makin melebarnya defisit neraca perdagangan minyak dan gas, diskursus mengenai kedaulatan negara dalam sektor strategis ini menjadi relevan bahkan penting untuk kembali didiskusikan. Terutama di saat masyarakat sedang menilai kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh para calon presiden dalam lima tahun mendatang.
Sudahkah negara benar-benar berdaulat di sektor minyak dan gas (migas) dari hulu sampai hilir?

Konstitusi kita mengamanatkan bahwa "hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara". Migas sebagai salah satu sumber energi jelas menguasai hajat hidup orang banyak, karena itu dikuasai oleh negara.

Hal ini yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Namun, penguasaan negara yang dituangkan dalam UU Migas lebih menekankan pada penguasaan di sisi hulu, yaitu dengan pembentukan "badan pelaksana" yang dimaksudkan sebagai perpanjangan tangan negara untuk melakukan manajemen operasional industri hulu migas.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan bahwa pembentukan "badan pelaksana" ini dianggap inkonstitusional dan mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengambil alih peran "badan pelaksana" tersebut. Namun, karena pengusahaan kegiatan hulu migas dilakukan berdasarkan kontrak, bukan konsesi sebagaimana di pertambangan umum, dan pemerintah tidak boleh berkontrak dengan swasta (perusahaan migas), maka pemerintah  membentuk sebuah satuan kerja khusus untuk mewakili pemerintah dalam berkontrak dan melaksanakan pengelolaan migas di hulu.

Terlepas dari persoalan sah-tidaknya pembentukan satuan kerja khusus tersebut, pemerintah membutuhkan sebuah institusi untuk melaksanakan penguasaan negara di sisi hulu.

 Sementara di hulu dibutuhkan sebuah "institusi pelaksana", di sisi hilir UU Migas No 22/2001 hanya membentuk "badan pengatur", bukan "badan pelaksana hilir". Maknanya adalah pengelolaan kegiatan hilir, khususnya distribusi BBM (bersubsidi maupun nonsubsidi) dan gas pipa, diserahkan kepada swasta.

Pemerintah hanya mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan swasta (nasional maupun asing) ini berbisnis di hilir tanpa benar-benar ikut campur tangan dalam kegiatan hilir. MK membenarkan hal ini dan menolak gugatan untuk membubarkan "badan pengatur hilir".

Terbatas sisi hulu
Pertanyaannya, apakah frase "yang menyangkut hajat hidup orang banyak" dalam konstitusi terbatas minyak mentah yang diproduksi di hulu atau BBM yang dikonsumsi masyarakat di hilir, atau keduanya?  Dengan pola yang ada pada UU Migas saat ini, penguasaan negara atas industri migas hanya terbatas di sisi hulu. Padahal, persoalan utama ada di sisi hilir, karena sektor hilirlah yang secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Karena tak sepenuhnya dikuasai negara, para pemain di sisi hilir dipersilakan melakukan bisnisnya secara leluasa. Khusus untuk BBM, pemerintah menyerahkan bisnis penjualan BBM nonsubsidi kepada swasta, baik nasional maupun asing, dan BBM bersubsidi kepada Pertamina.

Penguasaan negara atas BBM bersubsidi terbatas pada penetapan harga semata, sementara dalam hal volume dan distribusi, pemerintah hanya bertindak sebagai "pengatur". Akibatnya, pemerintah seperti "tersandera" untuk menyediakan subsidi BBM dengan jumlah yang semakin lama semakin meningkat.

Di sisi lain, PT Pertamina juga ikut tersandera. Sesuai amanat UU BUMN, Pertamina tentu harus berorientasi mencari keuntungan bagi perusahaan yang pada akhirnya akan diserahkan juga kepada pemerintah selaku pemegang saham. Pembebanan tugas melaksanakan distribusi BBM bersubsidi (dikenal dengan istilah public service obligation atau PSO) ini mengakibatkan Pertamina tidak bisa sepenuhnya melaksanakan amanat UU BUMN untuk mencari keuntungan.

Di sisi pembelanjaan perusahaan, Pertamina juga tak bisa leluasa berinvestasi dengan pola korporasi. Pembatalan tindakan korporasi Pertamina saat menaikkan harga elpiji 12 kilogram (yang nonsubsidi) dan pembatasan kepada Pertamina untuk berinvestasi di kegiatan eksplorasi (yang sepatutnya jadi ujung tombak sebuah perusahaan migas) adalah beberapa contoh nyata pembatasan-pembatasan yang dialami Pertamina yang menyulitkannya tumbuh secara sehat.

Pembenahan sisi hilir
Tak terlibatnya negara di sektor hilir juga menyebabkan belum terealisasinya pembangunan kilang BBM baru yang sebenarnya sudah sangat mendesak di tengah naiknya konsumsi BBM. Selama ini Pertamina cenderung dilepas sendiri memperjuangkan proyek kilang BBM dan sering kali harus menghadapi begitu banyak kendala. Bayangkan jika negara yang melaksanakan, maka proyek kilang BBM akan menjadi tugas pemerintah dan dituangkan di dalam APBN.

Saat defisit anggaran terjadi, tudingan yang banyak muncul adalah buruknya kinerja sektor hulu. Turunnya lifting minyak menjadi kambing hitam atas defisit neraca perdagangan, khususnya saat makin melebarnya defisit  penerimaan dan pembelanjaan migas. Padahal, hanya menggenjot sektor hulu untuk menutupi defisit anggaran ini  jelas tidak menyelesaikan masalah. Pertama, karena laju pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi menimbulkan peningkatan kebutuhan BBM yang juga tinggi. Kedua, karena berapa pun banyaknya produksi minyak yang dihasilkan di hulu, peningkatan konsumsi BBM akan sulit dikendalikan jika masalah-masalah di hilir tidak dibereskan.

Dengan demikian, pembenahan juga harus difokuskan di sisi hilir, baik dalam hal kilang guna menghasilkan BBM maupun pembenahan atas berbagai sektor kegiatan ekonomi yang mengonsumsi BBM, yang sejatinya sangat menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan negara di sisi hilir dapat diwujudkan dengan pembentukan semacam "bulog migas" yang berfungsi sebagai "pelaksana di hilir".

Institusi ini dapat diberi tugas melaksanakan PSO secara lebih luas yang meliputi penyediaan, pengendalian, dan pengawasan distribusi migas di hilir. "Pelaksana hilir" ini juga bertugas menjaga strategic-reserve (cadangan nasional, baik dalam bentuk BBM maupun minyak mentah) untuk menjamin ketersediaan energi, khususnya BBM dan gas bagi ketahanan nasional.

Seiring dengan itu, pembenahan sektor transportasi (yang mengonsumsi hampir 70 persen kebutuhan energi berbasis minyak), dan khususnya transportasi darat yang mengonsumsi 90 persen lebih BBM bersubsidi menjadi sangat penting. Penguasaan negara atas sektor hilir dapat menjadi solusi utama bagi langkah pembenahan untuk mewujudkan penguasaan negara di bidang energi, khususnya migas.

  Gde PradnyanaPraktisi Migas; PhD Universitas Oxford Bidang Fasilitas Produksi Migas Lepas Pantai

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007271701
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Bupati dan Negara Kesatuan (Miftah Thoha)

SEJAK negara ini berdiri, niat para pendiri dan pendahulu kita telah sepakat untuk mendirikan negara kesatuan.
Diakui, walau keadaan negara kita terdiri dari pelbagai daerah yang berbineka, beraneka budaya, bermacam etnis, pelbagai bahasa, dan lainnya, negara kita ini berprinsip sebagai negara kesatuan  berdasarkan Pancasila. Bung Hatta menyatakan bahwa negara kita terdiri atas pelbagai aneka perbedaan, tetapi kita seikat yang berdaulat rakyatnya, bukan tuanku. Sampai sekarang kita kenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Prinsip suatu negara kesatuan amat berbeda dengan negara federalistik yang sering kali menggoda kita untuk mencobanya, baik oleh gesekan maupun pengaruh dari perkembangan politik dan manajemen pemerintahan. Pada 1950, kita pernah tergoda untuk mempraktikkan pemerintahan negara federalistik. Tak terlalu lama, kita pun kembali lagi ke sistem negara kesatuan. Akhir-akhir ini juga ada suatu tulisan menimbang kembali praktik sistem federalistik.

Di awal reformasi, semangat melaksanakan sistem pemerintahan federal merebak. Banyak kalangan saat itu menginginkan sistem federalistik ini dipergunakan lagi setelah 32 tahun mengalami suatu pemerintahan negara kesatuan yang sangat sentralistik. Pemerintahan BJ Habibie menjawab keinginan itu dengan mengenalkan sistem pemerintahan yang demokratis. Dibukalah koridor demokrasi itu dengan pertama kali mengesahkan UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers. Rakyat tidak takut lagi berbeda pendapat. Mimbar kebebasan berpendapat dijamin oleh UU ini. Koridor kedua demokrasi dibuka dan disahkan tiga UU politik: UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No 4/199 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Berkat UU politik ini, rakyat tidak lagi takut untuk memilih dan masuk ke serikat politik yang dikehendaki.

Dua koridor demokrasi kebebasan bersuara dan kebebasan politik merupakan jaminan pokok dari sistem demokrasi. Berikutnya, di bidang pemerintahan disahkan UU No 22/1999. UU ini dikenal dengan UU tentang otonomi daerah, dengan menekankan pelaksanaan desentralisasi yang luas kepada daerah. Semua kewenangan pemerintahan berada di pemerintah daerah, hanya lima kewenangan yang berada di pemerintah pusat.

Titik berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota. Partisipasi dan peranan rakyat daerah dan DPRD diberdayakan. Pemilihan kepala daerah ditentukan oleh rakyat daerah sendiri melalui perwakilan di DPRD masing-masing dan akhirnya dilakukan pilkada secara langsung. UU Pemerintahan Daerah ini oleh banyak kalangan ditafsirkan menyerupai keadaan sistem federalistik. Namun, bukan sistem federal yang dipilih pemerintah saat itu, melainkan mengenalkan sistem demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan demokrasi dalam  unitary system. Sayangnya, demokrasi yang kita kenal sekarang lebih banyak mengemuka dan mengutamakan prinsip perbedaan dan mayoritas prosedural, tanpa dilandasi prinsip musyawarah yang menjadi karakteristik Pancasila. Lebih banyak menekankan kepentingan sektoral partai politiknya ketimbang kepentingan negara kesatuannya.

"Unitary system"
Di dalam ilmu politik, suatu pemerintahan merupakan suatu bentuk yang sangat dibutuhkan oleh rakyat atau masyarakat. Lawan pemerintahan adalah anarkisme. Doktrin anarkisme sebaliknya tidak membutuhkan pemerintahan itu karena setiap individu memiliki insting untuk mutual cooperation yang tidak membutuhkan keperluan untuk pengarahan dan pengawasan pemerintah.

Bagaimanapun, suatu pemerintahan adalah suatu institusi dan proses untuk mengatur pelbagai macam tujuan, seperti pertahanan, kesejahteraan, dan  kedamaian. Dengan demikian, suatu pemerintahan adalah suatu institusi negara berupa  organisasi dan prosedur di mana hukum ditegakkan, ditetapkan, diterapkan, dan dilaksanakan secara adil. Ketika NKRI ini didirikan sebagai negara yang kita inginkan, Pancasila dijadikan landasan bagi suatu kebijakan yang dibuat sehingga bentuk pemerintahan di pusat dan daerah segaris, senantiasa tidak melupakan Pancasila. Kepentingan pemerintah pusat ada di seluruh wilayah negara kesatuan.

Dari perspektif inilah mulai dipertanyakan cara terbaik untuk mengklasifikasi pelbagai bentuk pemerintahan: mengapa suatu pemerintahan dibutuhkan dan bagaimana hubungan kekuasaan kewenangan pemerintah dengan rakyatnya. Mulai dipikirkan distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan semua pemerintahan lokal atau daerahnya.

Di dalam pemerintahan negara kesatuan disepakati semua kewenangan dan kekuasaan menjalankan pemerintahan  berada di tangan pemerintah pusat. Adapun bentuk kewenangan di pemerintah daerah didasarkan atas prinsip desentralisasi, bukan otonomi. Sebagian dari kewenangan di pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah sehingga tampak sekali kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah segaris.

Posisi bupati dan wali kota
 Seperti telah dijelaskan, kekuasaan dan fungsi pemerintahan di negara kesatuan berada di tangan pemerintah pusat, sedangkan kekuasaan dan fungsi yang dijalankan di dalam pemerintah daerah dijalankan dalam prinsip desentralisasi. Pelaksanaan prinsip desentralisasi ini sangat bergantung bagaimana pemerintah pusat melaksanakannya. Selain itu, dalam pemerintahan suatu negara kesatuan dinyatakan bahwa kepentingan kekuasaan pemerintah pusat itu membentang mulai dari hierarki pemerintahan di atas sampai di hierarki terbawah tidak bisa dihilangkan dan dikurangi. Sekecil apa pun bentuk kepentingan tersebut, kepentingan kekuasaan pemerintah pusat ada dan harus ada di wilayah terbawah ataupun terpencil dalam wilayah negara kesatuan.

Kewenangan pemerintah pusat juga berlaku untuk seluruh wilayah negara kesatuan tersebut. Kewenangan itu dijalankan oleh aparat pemerintah pusat dan aparat pemerintah daerah di seluruh daerah dari wilayah negara. Sistem yang digunakan untuk menjalankan kewenangan tersebut didasarkan atas asas atau dasar yang dipakai, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan perbantuan (medebewind).  Tiga asas ini dahulu pernah kita gunakan dalam UU No 5/1974. Sekarang pun dipergunakan, tetapi lain perspektifnya.

Menurut UU No 22/1999 maupun UU No 32/2004, kewenangan pemerintah pusat hanya diwakili oleh gubernur dan kantor wilayah yang menjalankan perpanjangan dari enam kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi, di pemerintah kabupaten/kota—karena dinyatakan sebagai titik berat otonomi—kewenangan pemerintah pusat tidak terwakili dalam struktur pemerintahan. Adanya kepincangan struktur pemerintahan dalam negara kesatuan seperti ini yang membuat bupati/wali kota sebagai kepala daerah dan orang daerah yang merasa tidak atau kurang terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah pusat. Mereka sepertinya mewakili golongan atau daerahnya, dan mereka seperti personifikasi partai politik yang mengusungnya  di daerah otonom di luar prinsip negara kesatuan.

 Saya mengibaratkan kewenangan pemeritah pusat di daerah itu seperti kayu penjalin kecil dari wayang kulit, yang membujur dari atas sampai ke bawah. Kayu itu kecil, tetapi efektif sampai ke bawah sehingga dalang wayang kulit bisa menjalankan wayang yang lemes itu dengan lincah dan efektif. Desentralisasi dan otonomi yang diikuti oleh UU No 22 /1999 dan UU No 32/2004 membuat kayu wayang kulit itu tidak sampai ke bawah, tetapi sampai ke lutut yang berada di titik jabatan gubernur tersebut.

Dari ilustrasi wayang kulit itu, dapat kita amati bahwa pelaksanaan otonomi di negara kesatuan perlu ditinjau kembali. Mengingat hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan semua terkonsolidasikan pada level pemerintah nasional, maka kekuasaan yang berada di pemerintah daerah janganlah hanya dibatasi pada jabatan gubernur dan kanwil yang belum dihapus, melainkan harus sampai pada tingkatan daerah terbawah.

 Dalam sistem federalistik, peranan negara bagian amat besar. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan negara bagian. Pemerintah federal menerima pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari negara bagian. Namun, kewenangan pemerintah federal yang sudah disepakati oleh negara-negara bagian itu bisa juga berlaku dan mengintervensi kekuasaan di semua negara bagian.

Oleh karena itu, pemerintah daerah yang dipimpin kepala daerah kiranya juga mewakili kepentingan pemerintah pusat. Janganlah semata-mata menonjolkan dan atau mewakili partai politik, melainkan orang daerah (yang memahami aspirasi rakyat daerah) sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Artinya, bupati/wali kota juga harus paham dan memahami kepentingan pemerintah pusat. Begitu orang politik yang dipilih oleh rakyat daerah menjadi bupati/kepala daerah atau wali kota/kepala daerah, ia tidak lagi terkait atau mengutamakan partai politik yang mencalonkannya.

Bupati/wali kota bukan lagi kader partai politik, tetapi kader pejabat negara yang Pancasilais. Seperti halnya yang banyak dikemukakan para pemikir: bahwa Pemilihan Presiden 2014 ini bukan hanya partai politik lagi yang menjadi pilihan, melainkan kualitas calon. Banyak kepala daerah yang tidak mendukung calon dari koalisi partainya, tetapi calon yang disukai rakyat. Pada hakikatnya bupati/wali kota pantas disebut pejabat negara. Sebutannya adalah bahwa bupati atau wali kota sebagai nomenklatur untuk jabatan wakil pemerintah pusat, sedangkan kepala daerah sebagai nomenklatur untuk sebutan jabatan pejabat daerah. Dengan demikian, kekayaan dan endowment daerah dimanfaatkan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan daerah dan kesejahteraan rakyat daerah atas keterpaduan secara sinergik dengan kebijakan dan kepentingan pemerintah pusat.

Miftah Thoha
Guru Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007271109
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Harapan Parlemen Anti Korupsi (Ibrahim Fahmy Badoh)

SALAH satu harapan terbesar pemilih setelah pemilu adalah hadirnya parlemen yang lebih berintegritas dan anti korupsi.
Merebut kursi parlemen hanya kemenangan awal. Tantangan selanjutnya adalah memenangkan kembali kepercayaan publik yang pupus dan tenggelam diterjang badai korupsi.

Meski diwarnai praktik kecurangan dan rendah tingkat kepercayaannya, Pemilu Legislatif 2014 mampu mengubah komposisi dan konstelasi di parlemen. Parlemen nasional ke depan hampir dapat dipastikan tidak memiliki partai politik dominan. Selain itu, juga terjadi pengurangan jumlah aktor lama hingga kurang dari setengah jumlah kursi. Meski dilingkupi penilaian pesimistis terkait fakta maraknya politik uang di saat pemilu, kondisi parlemen ke depan sedikit memunculkan harapan.

Tiga lini perubahan
Tantangan parlemen baru ke depan untuk membenahi persoalan korupsi di parlemen terdapat pada tiga lini perubahan penting. Pertama, penguatan peran (role) yang bermuara pada peningkatan kinerja. Kedua, penguatan aspek tata kelola (good governance). Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan dengan terbangunnya berbagai perangkat sistem kontrol dan pencegahan korupsi.

Peran dan kinerja parlemen adalah hal yang paling dinilai oleh publik. Kurangnya pemahaman akan peran akan bermuara pada buruknya  kinerja. Dalam konteks individu politisi di parlemen, kinerja berkorelasi positif dengan kapasitas dan kompetensi. Sekadar kaya dan terkenal tidak cukup untuk menjadi anggota parlemen berkinerja baik. Rendahnya pemahaman akan posisi politisi sebagai jabatan publik, biasanya akan memunculkan bibit-bibit koruptor.

Jabatan akan dianggapnya komoditas untuk memaksimalkan keuntungan. Gejala ini tentu tidak pandang usia dan pengalaman, tetapi lebih pada ketahanan (antibodi). Ketahanan ini kemudian diperkuat oleh sistem pencegahan dan kontrol korupsi yang dilingkupi di dalam kode etik anggota parlemen.

Dalam konteks institusi, istilah kinerja (performance) sering dikaitkan dengan persoalan anggaran. Kinerja biasanya dilihat dari efektivitas dan efisiensi anggaran yang mendukung tercapainya manfaat anggaran (value for money). Pada tingkatan kinerja, yang dinilai bukan lagi keluaran (outputs), melainkan kemanfaatannya (outcomes) yang mendukung suatu tujuan strategis. Karena itu, parlemen dituntut memiliki dokumen strategis sebagai rujukan dari pencapaian pelaksanaan tiga fungsi utamanya, yaitu fungsi membuat undang-undang (legislasi), fungsi penganggaran (budgeting), serta fungsi pengawasan anggaran dan kebijakan.

Selama ini kinerja parlemen dinilai rendah bukan hanya karena parlemen tak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya, melainkan belum menunjukkan aspek kemanfaatan dari kerja-kerjanya kepada publik. Sebagai institusi, parlemen memiliki posisi strategis sebagai fungsi penyeimbang (check and balances) terhadap pemerintah berkuasa. Secara perorangan, akuntabilitas kemanfaatan politisi di parlemen dinilai pada tingkatan basis pemilih (dapil).

Posisi strategis parlemen selama ini belum begitu kuat dan terlihat publik. Parlemen cenderung menjadi sekadar alat legitimasi bagi pemerintah dalam mendukung fungsi pemerintahan. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, misalnya, parlemen cenderung menjadi alat pembahas RUU usulan pemerintah yang jumlahnya sangat banyak. Bayangkan, parlemen dalam lima tahun harus menyelesaikan target Program Legislasi Nasional sebanyak 247 RUU, termasuk 124 RUU limpahan dari periode sebelumnya. Wajar saja jika kualitas legislasi rendah, banyak yang tumpang tindih, tambal sulam, bahkan copy paste. Terkait tujuan strategis, parlemen gagal menjelaskan kepada publik, masalah bangsa apa yang diselesaikan dengan produksi ratusan UU di setiap periodenya.

Fungsi anggaran
Pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan juga setali tiga uang. Meski telah memiliki badan anggaran dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), parlemen belum mampu menekan secara signifikan kebocoran anggaran dalam APBN dan APBD.

Padahal, dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan diserahkan kepada parlemen setiap semester anggaran. Kajian BAKN atas audit BPK jarang ditindaklanjuti untuk membangun sistem pencegahan korupsi anggaran di pemerintahan. Terjerat oleh kedekatan kepentingan komisi-komisi di parlemen dengan mitra kerjanya di pemerintahan.

Di sisi yang lain, fungsi anggaran tidak efektif memperbaiki pelayanan. Aspirasi rakyat lewat perencanaan berjenjang (musrenbang) tidak bersahut. Parlemen seakan patuh pada panduan plafon dan usulan anggaran pemerintah yang teknokratis, berulang, dan inkremental. Belum terlihat politik anggaran parlemen yang dekat dengan kepentingan rakyat. Akibatnya, anggaran yang sedikit diperebutkan oleh segelintir politisi lewat calo anggaran yang berujung kasus korupsi.

Terkait tata kelola, parlemen baru dipandang berhasil dalam meningkatkan transparansi. Hal ini juga didukung oleh peraturan DPR. Yang masih harus diciptakan adalah perluasan partisipasi publik. Harus lebih banyak mekanisme pelibatan publik dalam memberi masukan, pengaduan, dan mengawasi pelaksanaan tiga fungsi utama parlemen. Selama ini partisipasi di parlemen masih dipandang elitis.

Sistem kontrol etika penyelenggaraan lembaga parlemen juga harus ditinjau kembali. Badan Kehormatan DPR seharusnya lebih responsif terhadap progres penegakan hukum korupsi di penegak hukum dan tidak bergantung pada laporan masyarakat. Peran fraksi dan elite parpol juga penting dalam mengontrol kinerja dan perilaku politisi. Lemahnya kontrol partai politik terhadap politisi terbukti menjadi akar dari skandal korupsi di parlemen. Partai harus mampu membuat program politik untuk membangun pencitraan. Bukan malah memburu rente korupsi dari kebijakan politik dan secara sadar merusak citra politisi dan parlemen.

Ibrahim Fahmy Badoh
Direktur Program Transparency International Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007043934
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Mewujudkan Pemilu Bersih (kompas)

BADAN Pengawas Pemilu telah mengidentifikasi 14 provinsi rawan terjadinya kecurangan dalam pemilu presiden pada 9 Juli 2014.
Semua provinsi di Jawa masuk dalam kategori rawan. Jawa Barat dikategorikan sebagai daerah yang paling rawan kecurangan dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dengan skor 3,8, disusul Jawa Tengah dengan IKP 3,7. Adapun untuk tingkat kabupaten ada empat kota di Jawa Barat yang dikategorikan sangat rawan. Keempat daerah itu adalah Garut, Bandung, Bandung Barat, dan Bogor.

Tingkat kerawanan yang dimaksudkan Bawaslu adalah kerawanan terhadap manipulasi data dan kerawanan politik uang. IKP diukur dengan indikator mutu data pemilih, kondisi geografis, telekomunikasi, dan potensi politik uang yang dikaitkan dengan kemiskinan sebuah daerah.

Bangsa ini berharap pemilu presiden sebagai tahap akhir konsolidasi demokrasi berlangsung bersih. Pemilu bersih dalam arti pemilih bisa melaksanakan hak politik dengan gembira tanpa perasaan cemas. Pemilih bisa memilih pemimpinnya dengan pertimbangan rasional dan bukan karena pemberian uang atau arahan pimpinan organisasi, pemuka masyarakat atau birokrasi.

Situasi tenang tanpa kampanye hitam diperlukan untuk menjaga situasi tetap kondusif. Guna mencapai tujuan itulah, kita menghargai kerja Bawaslu membuat peta daerah rawan. Data itu tentunya bukan semata-mata sebuah karya akademis, melainkan sebagai identifikasi permasalahan dan mencari upaya menekan terjadinya kecurangan. Langkah konkret Bawaslu ditunggu untuk mengantisipasi kecurangan di daerah rawan tersebut, termasuk daerah lainnya. Kerja Bawaslu diperlukan untuk mencegah kecurangan dan mewujudkan pemilu bersih.

Politik uang harus ditolak karena politik uang akan mematikan demokrasi. Bawaslu harus berani mengambil langkah, termasuk memperingatkan capres atau tim sukses yang secara terbuka dalam panggung kampanye menganjurkan agar politik uang diterima. Anjuran itu tidak mendidik. Perlu ada kampanye bersama untuk menolak politik uang dan melaporkan pelakunya ke Bawaslu.

Guna menciptakan pemilu bersih, kesadaran masyarakat harus dibangkitkan. Ketika otoritas penyelenggara pemilu kurang berdaya, masyarakat harus berani menolak politik uang dan melaporkan pelakunya ke Panwaslu. Masyarakat harus berani menolak arahan birokrasi yang tidak sejalan dengan pilihan pribadinya. Dalam demokrasi berlaku one person, one vote, dan one value.

Netralitas TNI/Polri perlu dijaga dan dikontrol agar bisa diwujudkan di lapangan. Kepala daerah yang menjadi anggota tim sukses hendaknya tidak menggunakan kekuasaan yang ada untuk mengarahkan pemilih memenangkan calon tertentu. Kesuksesan bangsa ini mewujudkan pemilu bersih dan berlangsungnya transisi kekuasaan pada 20 Oktober 2014 adalah legacy dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itulah, Presiden Yudhoyono punya tanggung jawab moral untuk menjaga kualitas pemilu.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007555046
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Seabad Perang Dunia I (Kompas)

MASYARAKAT global akhir pekan lalu memperingati 100 tahun pecahnya Perang Dunia I, yang merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah manusia.
Setelah 100 tahun berlalu, kondisi keamanan dan perdamaian dunia tidak lebih baik, bahkan secara umum digambarkan penuh kerawanan konflik, meski Eropa sebagai panggung utama PD I tergolong aman. Sebelum mencapai kondisi aman seperti sekarang ini, Eropa bersama belahan dunia lain diobrak-abrik dan mengalami kegetiran oleh konflik terbuka berskala dunia, Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Dingin (1947-1991).

Tidak seperti Eropa yang relatif aman dan damai saat ini, kondisi di belahan dunia lain, terutama di Afrika dan Timur Tengah, sedang dilanda pergolakan oleh ancaman perang saudara, kekerasan, konflik bersenjata, dan bahaya terorisme. Realitas itu menggambarkan, kekonyolan konflik bersenjata dan perang tidak juga surut, meski dunia sudah mengalami pahit dan getirnya PD I, PD II, dan Perang Dingin yang meminta banyak korban jiwa dan kerugian harta benda tidak kecil.

Bahaya perang tidak selamanya didahului ancaman, tetapi sering datang tiba-tiba. Siapa yang menduga kalau kasus pembunuhan putra mahkota Kekaisaran Austro-Hongaria, Pangeran Franz Ferdinand, pada 28 Juni 1914 di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina (dulu bagian Serbia), menyulut perang besar, Perang Dunia I.

Sejarah juga sudah memperlihatkan, setiap perang, entah yang tiba-tiba atau juga yang dipersiapkan, selalu gampang dimulai, tetapi sulit dihentikan. Semula PD I diperkirakan berlangsung dalam hitungan hari, minggu, atau bulan, tetapi akhirnya sampai empat tahun, setelah puluhan juta orang tewas.

Jauh lebih melelahkan Perang Dunia II yang berlangsung lima tahun, apalagi Perang Dingin yang berlangsung 44 tahun. Dunia benar-benar dilanda ketegangan panjang, sementara puluhan juta, bahkan ratusan juta, orang tewas secara langsung atau tidak langsung oleh keganasan perang.

Meski perang skala global tidak muncul saat ini, konflik bersenjata berlangsung di berbagai tempat di dunia, terutama di sejumlah negara Afrika dan Timur Tengah. Upaya menghentikan konflik tidak selalu gampang, bukan hanya pengaruh dendam dan ambisi ingin menang, melainkan juga karena kekerasan selalu melahirkan kekerasan.

Reproduksi kekerasan selalu menciptakan mata rantai kekerasan. Setiap serangan lazimnya diikuti oleh serangan lain. Sadar atau tidak, kekerasan dan konflik bersenjata merupakan bentuk kekonyolan manusia karena pelaku maupun korbannya merupakan sesama manusia. Jelas pula kekerasan sulit dipatahkan dengan kekerasan, tetapi mudah dijinakkan dengan kemauan dan semangat berdamai dengan sesama.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007571821
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS EKONOMI Nilai Rupiah Menunggu Pilpres 9 Juli (A Tony Prasetiantono)

MENJELANG pemilihan umum presiden pada 9 Juli 2014, nilai rupiah justru terus melemah, bahkan mencapai Rp 12.100 per dollar AS. Apa yang terjadi? Bukankah pilpres secara langsung oleh rakyat merupakan peristiwa demokrasi yang hebat sehingga mestinya menumbuhkan ekspektasi positif pada nasib perekonomian negara ini?

Ditinjau dari perkembangan serangkaian indikator ekonomi makro, agak sulit menjelaskan mengapa rupiah melemah drastis. Dari sisi eksternal, misalnya, perekonomian Amerika Serikat (AS) memang membaik, yang dapat ditunjukkan dengan level pengangguran yang turun menjadi 6,3 persen. Hal ini jauh lebih baik daripada level 10 persen saat krisis memuncak pada musim semi tahun 2009. Hal inilah yang menyebabkan penguatan kurs dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.

Namun, pekan lalu, muncul berita yang kurang baik. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dikoreksi dari semula di atas 2,5 persen menjadi hanya 2,1 persen. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan I-2014 hanya 1,5 persen. Angka yang rendah ini (mestinya minimal 2 persen) tentu saja mengecewakan dan mengundang pesimisme atas kinerja AS di sisa tahun 2014.

Koreksi pertumbuhan ekonomi AS ini mestinya menimbulkan koreksi pula pada kurs dollar AS terhadap rupiah. Kenyataannya tidak. Rupiah justru terus melemah melampaui batas psikologis Rp 12.000 per dollar AS. Secara internal, perekonomian Indonesia memang masih punya masalah dengan defisit transaksi berjalan. Melemahnya rupiah juga memperburuk situasi ini karena impor minyak yang semakin besar dalam konversi rupiah terus membebani APBN 2014. Situasi kian runyam tatkala subsidi energi (BBM dan listrik) bakal mendekati Rp 400 triliun pada tahun ini.

Sebagai ilustrasi, biaya penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brasil semula ditaksir Bloomberg "hanya" 15 miliar dollar AS, tetapi bisa membengkak menjadi 20 miliar dollar AS atau Rp 240 triliun. Angka ini ternyata masih kalah jauh dibandingkan dengan subsidi energi Indonesia. Sungguh ironis.

Namun, di sisi lain, sebenarnya ada aliran dana asing masuk pada Mei 2014 yang bisa dideteksi dari kenaikan cadangan devisa menjadi 107 miliar dollar AS. Dana asing ini masuk dalam bentuk portofolio ke pasar surat berharga, baik obligasi pemerintah maupun saham korporasi. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus naik ke arah batas psikologis 5.000. Angka ini sesungguhnya tidak didukung kinerja korporasi yang sebanding (tidak mempunyai underlying) alias menjadi kemahalan. Akibatnya, akhir pekan lalu, terjadi aksi jual dalam rangka ambil keuntungan. IHSG pun ditutup melemah menjadi 4.845.

Secara singkat, inilah potret perekonomian Indonesia menjelang pilpres: (1) likuiditas perbankan ketat sehingga pertumbuhan kredit melemah; (2) defisit transaksi berjalan terus terjadi; (3) inflasi tahunan (year on year) bakal masih 7,3-7,5 persen dan akan naik selama bulan Ramadhan dan Lebaran; (4) aliran modal asing masih terjadi; (5) rupiah terus melemah.

Secara teknis, berdasarkan fundamental ekonomi tersebut, sebenarnya rupiah memang pantas melemah. Namun, tetap saja pelemahan yang sedemikian besar di atas Rp 12.000 per dollar AS menimbulkan pertanyaan apakah rupiah lebih terimbas sentimen negatif pilpres daripada data fundamental ekonomi?

Meski tidak bisa memastikan 100 persen, saya berani berspekulasi bahwa sentimen negatif pilpres memang benar terjadi. Pasar tampaknya cukup waswas dengan dinamika pilpres yang sedemikian hiruk-pikuk sehingga menimbulkan ketidakpastian (uncertainties).

Sistem pemilu kita, yang memungkinkan terjadinya koalisi partai-partai dan gairah berkampanye yang berlebihan sehingga menjerumuskan terjadinya aksi kampanye hitam secara tidak bertanggung jawab, telah menyebabkan jarak elektabilitas kedua kandidat semakin mendekat. Konsekuensinya, hal ini menimbulkan ketidakpastian siapa yang bakal memenangi pilpres. Akibatnya, para investor global tidak mau untuk segera mengeksekusikan rencana-rencana bisnisnya. Mereka memilih menunggu hasil pilpres sebelum menjalankan aksi korporasi.

Sambil menunggu, apa yang mesti dilakukan regulator? Apakah Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan BI Rate dari posisi sekarang 7,5 persen atau perlu melakukan intervensi dengan mengalirkan cadangan devisanya ke pasar uang?

Saya pikir, BI pun harus bersabar menunggu. Percuma saja mereka memasok dollar AS untuk memperkuat kurs rupiah. Faktor sentimen pilpres rasanya sulit dilawan dengan cadangan devisa. BI Rate dinaikkan pun percuma karena hal itu hanya akan mempersulit bank-bank untuk menaikkan aktivitas penyaluran kredit ke sektor riil.

Menunggu 9 Juli adalah pilihan yang tak bisa dihindari, baik oleh pelaku ekonomi (investor, konsumen), maupun regulator (BI). Harapan terbaik kita terhadap kedua capres adalah jika mereka memenangi pilpres haruslah bertegur sapa dan akrab dengan para pelaku pasar (market friendly). Sikap ramah kepada investor tidak berarti tidak berani melakukan renegosiasi kontrak. Kontrak kita dengan Freeport, misalnya, harus selalu dievaluasi karena perekonomian berkembang amat dinamis.

Siapa pun pemenang pilpres juga harus agresif membangun infrastruktur. Sebagaimana India, kita termasuk mengalami "defisit infrastruktur". Infrastruktur yang buruk akan menyebabkan investor kabur. Inilah pelajaran terpenting dari India.

Presiden baru juga harus terus membangun kualitas sumber daya manusia. Program keluarga berencana (KB) yang dulu sukses pada era Orde Baru ironisnya kini tidak tampak bekasnya. Pengendalian jumlah penduduk menjadi salah satu kunci agar "bonus demografi" tidak berubah menjadi "beban demografi" ketika penduduk usia produktif harus menyangga penduduk usia tidak produktif yang jumlahnya lebih besar.

Saya tidak habis mengerti mengapa jumlah anak muda Indonesia yang bersekolah di luar negeri (international student mobility) hanya berada di peringkat ketiga di ASEAN, kalah dari Malaysia dan Vietnam. Di seluruh dunia, juaranya adalah Tiongkok dan India. Untuk meningkatkan daya saing, kita harus merebut pengetahuan dan teknologi. Itu hanya bisa diperoleh dengan mengirimkan pemuda-pemudi sekolah ke luar negeri secara agresif sebagaimana dulu BJ Habibie lakukan saat menjadi Menristek.

Jika faktor-faktor itu dapat kita peroleh dari pemenang Pilpres 9 Juli nanti, kita akan saksikan rupiah menguat dengan cepat. Saya duga level Rp 11.500 per dollar AS merupakan ekuilibrium baru yang mestinya bisa kita raih pekan depan.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007570663
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 28 Juni 2014

Wacana Pemimpin Kuat (Syamsul Hadi)

WACANA yang berkembang dalam kampanye pilpres saat ini menghadirkan kesepakatan umum bahwa yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, yang dibahasakan di ruang publik sebagai "pemimpin yang tegas".
Ia seolah menjadi anti tesis terhadap tipe kepemimpinan yang konservatif dan "lunak" yang gemar menyiasati persoalan dengan cara membiarkan persoalan itu mengambang dalam rangka mencari aman dan menghindari risiko. Masalahnya adalah ketegasan atau strong leadership seperti apa yang benar-benar kita butuhkan saat ini?

Dalam rentang antara ketegasan retoris yang menghibur hati untuk sementara waktu di satu sisi dan ketegasan substantif yang menghadirkan solusi berkelanjutan di sisi lain, kita membutuhkan diskusi yang tidak hanya bersifat ideologis-normatif, tetapi juga pragmatis-implementatif. Setidaknya tiga hal perlu kita cermati dalam hal ini.

Pertama, harus diakui bahwa kita butuh tipe kepemimpinan yang "berbeda" dalam arti yang tidak terus terjebak pada ortodoksi kepemimpinan business as usual. Kedua, yang dibutuhkan bukan semata visi yang indah, melainkan kapasitas kepemimpinan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang membumi dan kontekstual. Ketiga, kapasitas itu haruslah ditopang oleh kemampuan untuk memobilisasi dan mempertahankan dukungan publik atas kebijakan-kebijakan pemerintah.

Becermin pada Korsel
Marilah kita becermin pada Korea Selatan. Para ahli pembangunan internasional umumnya sepakat bahwa keberhasilan Korsel, yang dalam waktu sekitar tiga dasawarsa (1960-an hingga 1990-an) telah bertransformasi dari negara terbelakang dan miskin menjadi negara maju berbasis industri modern yang kokoh dan kompetitif disertai tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif tinggi dan merata, merupakan contoh nyata keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang digalang oleh kepemimpinan politik kuat.

Dalam hal ini Alice Amsden (1996) berpendapat bahwa kunci keberhasilan pembangunan di Korsel adalah peranan negara yang efektif dalam transformasi ekonomi nasional yang mewujud dalam tiga faktor pokok: (1) kepemimpinan politik yang kuat; (2) perencanaan pembangunan; dan (3) kebijakan dan anggaran yang masuk akal (reasonable).

Terlihat bahwa kepemimpinan politik yang kuat menjadi variabel pertama bagi keberhasilan pembangunan. Masalahnya apakah kepemimpinan kuat itu harus berkonotasi dengan kecenderungan otoritarianisme seorang pemimpin? Ternyata tidak, karena, seperti dikatakan Peter Dauvergne (1998), kepemimpinan politik bisa saja kuat dalam hal menerapkan langkah-langkah koersif, tetapi lemah pada kapasitas organisasional dan teknis untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya di lapangan. Dengan kata lain, kita butuh kepemimpinan kuat bukan dalam pengertian predatory leadership di mana kepemimpinan politik justru berpotensi membunuh potensi dan kreativitas masyarakat dalam rangka mengorganisasikan kekuasaan.

Di sisi lain, pembentukan aliansi politik yang "inklusif" dimana segmen-segmen kelompok strategis dalam bisnis dan politik bergabung di dalamnya mungkin akan meredakan kekhawatiran akan munculnya resistensi-resistensi kelompok-kelompok sosial yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Namun, seperti dikhawatirkan Linda Weiss (1998), bergabungnya kelompok-kelompok bisnis dan politik dominan yang kental vested interest-nya dalam sebuah rezim politik justru akan menghadirkan potensi bagi dibajaknya negara oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang kuat yang pada gilirannya akan menurunkan kapasitas transformatif dari kepemimpinan politik itu sendiri.

Kyeong-won Kim (2003) secara panjang lebar menguraikan bagaimana dalam periode pasca krisis Asia terjadi tarik-menarik kuat antara Pemerintah Korsel yang mencoba berlaku "otonom" di satu sisi dan kelompok-kelompok konglomerat (chaebols) yang ingin mengamankan kepentingan bisnisnya di sisi lain. Terlihat dalam kasus Korsel makin besar kesanggupan seorang pemimpin mengidentifikasi dan membedakan dengan tegas kepentingan publik yang genuine dan berjangka panjang di satu sisi dengan kepentingan korporasi yang bersifat "abu-abu" dan berjangka pendek di sisi lain akan berpengaruh pada warisan keberhasilan kepemimpinannya dalam jangka panjang. Sebaliknya, pemimpin yang tersandera kepentingan-kepentingan strategis (khususnya kepentingan korporasi) justru lebih banyak mewariskan benang kusut persoalan baru bagi penerusnya.

Konteks kekinian
Dalam diskusi tentang kepemimpinan di Indonesia selalu digambarkan adanya dua tipe kepemimpinan, yaitu tipe solidarity maker yang tergambar pada diri Soekarno dan tipe administratur yang diwakili sosok Mohammad Hatta. Harus dicermati bahwa tipologi itu dibuat oleh Herbert Feith dalam konteks kesejarahan yang sangat berbeda dengan saat ini. Feith mendasarkan tipologi kepemimpinannya pada konteks awal terbangunnya fondasi kebangsaan (nation building) di mana substansi perdebatan semacam apakah revolusi politik sudah selesai masih mengemuka. Soekarno memandang revolusi politik belum selesai dengan dicapainya kemerdekaan. Karena itu, mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan politik yang besar perlu terus digalang. Sebaliknya, Mohammad Hatta memandang bahwa yang dibutuhkan setelah dicapainya kemerdekaan adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis dan terukur di bidang ekonomi dan sosial.

Apabila kita sepakat dengan Mohammad Hatta bahwa yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan pembangunan yang terprogram dan terukur demi kemaslahatan kehidupan rakyat, kapasitas kepemimpinan yang mengedepankan kemampuan manajerial dan implementatif di lapangan pada saat ini lebih dibutuhkan daripada kapasitas kepemimpinan yang sifatnya dream maker, retoris, dan simbolis.

Kita membutuhkan pemimpin dengan kapasitas yang teruji untuk menghadirkan solusi-solusi nyata yang benar-benar membumi (on the ground solutions), terukur, dan  menyelesaikan masalah tanpa menghadirkan gesekan-gesekan sosial yang melelahkan.

Syamsul Hadi
Pengajar Pembangunan Internasional di FISIP UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007273248
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Puasa Ramadhan dan Pilpres (Taufik Ikram Jamil)

HANYA kebetulan saja jika Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang dilaksanakan pada bulan Ramadhan saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh yang dimulai Sabtu (28/6).
Meski demikian, begitu banyak hikmah puasa yang dapat dikaitkan dengan kecenderungan pilpres sebagai upaya untuk meredam dampak buruk yang lebih parah lagi dari pesta demokrasi tersebut.

Hal ini penting dicatat karena setidak-tidaknya baru 36 tahun lagi atau tujuh kali pilpres lagi pemilihan pejabat nomor satu itu dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Tentu jika diasumsikan pelaksanaan pilpres sama seperti sekarang, yakni tetap diselenggarakan pada 9 Juli. Hal itu diakibatkan perbedaan cara penghitungan antara kalender hijriah dan masehi yang bergeser sekitar 10 hari setiap tahun.

Masa 36 tahun tersebut bukanlah waktu yang pendek. Jatuh bersamaan dengan tahun 2050.  Banyak hal yang dapat terjadi dalam rentang waktu sepanjang itu. Mungkin saja wajah Indonesia yang dikenal pada hari ini akan berbeda jauh dibandingkan dengan 36 tahun mendatang dalam berbagai segi. Sederhananya, hampir dua generasi bergulir dari sekarang jika satu generasi selalu disebut berada pada rentang masa 20-25 tahun, pilpres akan kembali berlangsung pada bulan Ramadhan.

Banyak contoh tentang kecenderungan pilpres saat ini yang terasa mulai mengganggu kehidupan sosial. Namun, cukup memadailah menyebutkan kecenderungan yang paling menonjol dalam pilpres sekarang dibandingkan Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, yakni semaraknya kampanye hitam. Buruk-memburukkan, dengan maksud menjatuhkan pihak lain, seperti sudah menjadi sesuatu yang lumrah pada masa kampanye.

Islam menentang perbuatan semacam itu. Malah menyebutkan bahwa jika kejelekan seseorang yang digembor-gemborkan adalah benar, tindakan tersebut jatuh sebagai gibah atau gosip. Sebaliknya, jika faktanya tidak sebagaimana yang disebut-sebut, perbuatan itu dinilai fitnah. Jelas kedua hal itu harus dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, hanya dalam puasa akibat dari tindakan-tindakan itu dikonkretkan—tak sebatas kehilangan pahala puasa.

Adalah Nabi Muhammad SAW yang menyuruh dua perempuan untuk membatalkan puasanya karena keduanya telah bergosip. Ketika diminta untuk muntah, "keluarlah bergumpal-gumpal daging manusia dari perut mereka". Ini merupakan ilustrasi dari apa yang disebut bahwa gosip dapat diumpamakan seperti memakan daging saudara sendiri secara mentah-mentah. Jika gambaran gosip demikian buruknya, tentu tidak terbayangkan keburukan fitnah yang dinyatakan lebih kejam daripada pembunuhan.

Begitu juga akibat dari kampanye hitam itu sendiri yang setidaknya telah menimbulkan luka, bahkan rasa permusuhan antarkelompok. Puasa dalam Ramadhan ini pula yang secara konkret menganjurkan kasih sayang, antara lain dapat menyelami kehidupan warga yang senantiasa kekurangan materi. Dalam Ramadhan ini pula, tidak pada bulan lain, setiap individu—walaupun baru lahir—memberikan sebagian kecil bahan makanannya untuk pihak lain yang sudah ditentukan (zakat fitrah).

Tambahan ujian
Nafsu buruk seperti amarah dan dendam akibat kampanye hitam justru diingatkan pada bulan Ramadhan sebagai musuh besar dalam kehidupan. Ini dinyatakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW setelah memimpin Perang Badar sebagai perang pertama dalam Islam untuk membela hak yang terjadi pada bulan Ramadhan. Menurut Rasulullah, ada perang yang lebih besar dibandingkan Badar, yakni mengalahkan hawa nafsu.

Telah banyak pihak yang meminta agar kampanye hitam dihentikan. Namun, tindakan tidak terpuji itu bukan berkurang, melainkan makin menjadi-jadi. Kuat dugaan, kampanye hitam ini akan makin parah menjelang pelaksanaan pilpres itu sendiri setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa belasan hari. Apa yang disebut dengan minggu tenang hanya urusan kalenderis, diduga tidak akan memengaruhi aktivitas memburuk-burukkan.

Tidak mengherankan jika kemudian ada yang berpandangan bahwa pada puasa Ramadhan pun kenyataan kampanye hitam akan sama dengan masa sebelumnya. Sebab, pada bulan Ramadhan secara sederhananya adalah lebih menekankan sesuatu yang juga tidak dibenarkan pada bulan lain.

Contohnya soal gosip di atas yang tidak boleh dilakukan pada bulan Ramadhan, tetapi juga tidak dibenarkan dilakukan pada bulan lain. Bedanya adalah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan kehilangan pahalanya, sedangkan pada bulan lain banyak orang yang tidak puasa (sunah) sehingga tak perlu risau akan kehilangan pahala ibadah tersebut. Apalagi kenyataannya pada bulan Ramadhan kejahatan lain masih selalu terjadi seperti pada bulan-bulan sebelum ataupun sesudahnya.

Jika demikian halnya, mudah saja dikatakan bahwa pelaku kampanye hitam memang tidak mau diajak untuk melakukan suatu kebaikan walaupun telah diingatkan dengan berbagai
cara, termasuk melalui merefleksikan hikmah Ramadhan. Sebaliknya, Ramadhan kita tahun ini justru mendapat tambahan ujian, yakni berusaha terhindar dari jelek-menjelekkan yang dilakukan secara masif dan sistemik dengan nama kampanye hitam.

Di sisi lain, tidak pula dapat dilupakan bahwa ujian juga namanya jika berbagai usaha menghentikan kampanye hitam—termasuk melalui usaha agar memetik hikmah bulan Ramadhan—tidak berhasil dilakukan. Artinya, demokrasi yang kita anut, bahkan negara ini, sedang menghadapi ujian yang tak kecil, sampai mengancam kehidupan bernegara.

Setiap ujian memang tidak mudah untuk dilalui. Akan tetapi, setiap ujian pasti berujung pada peningkatan suatu tingkatan pencapaian. Apakah kita mampu melewati ujian ini? Insya Allah.

Taufik Ikram Jamil
Sastrawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007475311
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Melawan Syahwat Keduniawian (Azyumardi Azra)

IBADAH puasa Ramadhan merupakan kewajiban dan tradisi keagamaan yang berusia sangat panjang. Meski hanya Islam yang mewajibkan kepada para penganutnya untuk berpuasa sepanjang Ramadhan, ibadah puasa telah ada dan dilakukan umat-umat beriman yang ada sebelum datangnya Islam.
Dilaksanakan sebulan penuh, ibadah puasa dalam Islam diharapkan dapat membentuk mereka yang puasa (sha'imin dan sha'imat) menjadi orang-orang yang bertakwa, orang yang terpelihara pikiran dan perbuatannya dari hal-hal keji dan mungkar.

Berpuasa dengan demikian merupakan tradisi keagamaan dan spiritual yang panjang. Ibadah puasa Ramadhan dengan segala ibadah lain yang menyertainya merupakan salah satu ritual utama untuk meningkatkan kualitas jasmani dan lebih-lebih lagi rohani umat beriman. Jika ibadah puasa dilaksanakan sesuai keyakinan dan petunjuk agama, orang yang berpuasa dapat mencapai tingkat kerohanian (maqamat) lebih tinggi.

Mengingat pentingnya posisi ibadah puasa, mereka yang menjalankan kehidupan asketik—yang dalam tradisi Islam disebut sebagai kaum Sufi—menjadikan ibadah puasa, baik dalam bulan Ramadhan maupun puasa Senin-Kamis dan bahkan puasa "Nabi Daud" (selang hari), sebagai bagian sangat penting dalam kehidupan mereka. Bagi kaum Sufi, berpuasa bukan hanya sebagai pemenuhan ketentuan hukum eksoterik (fiqh), melainkan juga sebagai bagian terdalam (inner atau batin atau esoteris) dari eksistensi sebagai mukmin dan Muslim.

Syahwat angkara murka
Ibadah puasa, baik yang wajib sepanjang Ramadhan maupun yang sunah, merupakan  latihan fisik dan mental untuk mengendalikan berbagai macam hawa nafsu atau syahwat keduniaan, baik kebendaan maupun kekuasaan, yang terdapat dalam diri manusia. Sedikitnya terdapat tiga macam hawa nafsu yang selalu bergejolak dalam diri manusia; hawa nafsu seksual, hawa nafsu  kebendaan, dan hawa nafsu kekuasaan.

Asketisme dalam Islam tidak berarti menafikan segala macam hawa nafsu tersebut karena ia dapat menjadi pendorong (driving force) untuk mencapai kehidupan lebih baik. Karena itu, yang diperlukan adalah pengendalian hawa nafsu. Sebab, jika hawa nafsu tidak terkendali, berbagai bentuknya menjadi angkara murka yang menjerumuskan manusia ke dalam eksistensi lebih rendah daripada hewan atau  seburuk-buruk kejadian (asflus-safilin).

Meski manusia juga dianugerahi Allah SWT dengan akal dan hati nurani (qalb) yang dapat membimbingnya pada kebenaran, dalam kenyataannya bukan tidak sering terlihat manusia secara pribadi atau kelompok lebih dikuasai hawa nafsu angkara murka. Mereka seolah tidak terkendali mengumbar hawa nafsu seksual, mengejar harta benda secara haram, misalnya melalui korupsi. Juga berusaha menggapai kekuasaan dengan cara apa saja: menghalalkan segala macam cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama, nilai moral dan etik, sekaligus bertentangan dengan ketentuan perundangan dan hukum negara.

Ulama besar Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani, menyebut hawa nafsu yang paling perlu diwaspadai adalah al-nafs al-ammarah yang mencakup sikap rakus, hasad atau dengki, sombong, dan syahwat keduniaan—mabuk seks, gila harta benda dan kekuasaan. Manusia beriman perlu pula menjaga diri dari al-nafs al-lawwamah yang mencakup sikap seperti suka mencela, menipu, dusta, membanggakan diri sendiri, dan zalim.

Syahwat kekuasaan
Kedua bentuk hawa nafsu—ammarah dan lawwamah—dengan mudah dapat terlihat dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Dari hari ke hari orang mengikuti pemberitaan yang hampir tidak pernah putus mengenai perilaku seks menyimpang seperti pemerkosaan dan paedofilia.

Pada saat yang sama, kita juga dengan mudah dapat menyaksikan meningkatnya kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik. Di mana-mana kita bisa menyaksikan orang berlomba-lomba menampilkan gaya hidup konsumtif dan boros.

Tidak kurang mencoloknya adalah peningkatan gejolak syahwat kekuasaan di tengah meningkatnya persaingan menuju kursi kepresidenan yang akan diputuskan melalui pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Juli 2014. Dalam kampanye untuk mendapatkan dukungan suara, al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah kelihatan begitu merajalela dalam berbagai bentuk kampanye hitam, yang umumnya berisi fitnah yang jauh dari kebenaran.

Menjelang pemungutan suara untuk pilpres kali ini, di tengah kekhusyukan kita menjalankan ibadah puasa, semestinya al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah semakin ditinggalkan. Jika tidak, ibadah puasa yang dikerjakan tidak bakal menghasilkan apa-apa kecuali sekadar lapar dan dahaga.

Sebaliknya, ibadah puasa seyogianya dapat menumbuhkan al-nafs al-muthma'innah, yakni hawa nafsu yang sudah tenang dan damai. Dengan al-nafs al-muthma'innah, orang tidak lagi dikuasai syahwat kebendaan dan kekuasaan yang menghalalkan cara-cara Machiavelian.

Sebaliknya, ia lebih banyak bersyukur dan merasa cukup dengan rezeki yang halal (qana'ah). Pada saat yang sama juga lebih bertawakal dalam semua ikhtiar yang dilakukan dan melaksanakan amal saleh—termasuk dalam kehidupan politik—secara ikhlas dengan hanya mengharap rida Allah semata.

Dengan begitu, ibadah puasa di bulan Ramadhan dapat bermakna sangat positif dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.

Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; dan Penerima Fukuoka Prize 2014

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007503142
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menyoal ”Recall” Partai Politik (Reza Syawawi)

KISRUH di internal partai politik menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 mulai memanas. Pasca penentuan koalisi partai pengusung capres dan cawapres ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, beragam reaksi pun muncul dari internal partai.
Hal yang paling mutakhir adalah pemberhentian tiga anggota Partai Golkar, yaitu Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatullah. Pemberhentian ini dilakukan karena mereka dinilai tak mematuhi keputusan partai untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pemberhentian ini harus dilihat dalam kerangka demokratisasi di internal partai politik, bukan hanya dari aspek hukum semata. Hal itu untuk memastikan bahwa lembaga demokrasi sekelas partai politik memang diurus dan diselenggarakan secara demokratis.

Demokratisasi partai
Sebagai sarana pendidikan politik, partai politik jadi cermin budaya politik suatu masyarakat. Ketika partai dikelola secara demokratis, publik akan melihat itu sebagai ukuran untuk memberikan pilihan politiknya.

Perbedaan pandangan politik atau pilihan politik harus diletakkan dalam kerangka pemenuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi. Dalam institusi mana pun, setiap warga negara berhak untuk menentukan pilihan politiknya sendiri tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Dalam kasus pemberhentian keanggotaan partai politik, dimensinya tidak hanya dilihat dan dinilai dari segi otoritas partai. Sebab, secara hukum, partai
memang memiliki hak untuk memberhentikan anggota yang dianggap melanggar kebijakan partai.

Jika pemberhentian ini dikaitkan dengan kebijakan partai untuk mendukung capres-cawapres tertentu, proses pengambilan kebijakan di internal partai perlu dibuka ke hadapan publik.
Menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, penentuan capres dan cawapres yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik dilakukan secara demokratis dan terbuka (Pasal 10).

Harus diakui, tak ada standar atau ukuran yang digunakan secara sama oleh semua partai politik untuk menilai apakah mekanisme pengambilan keputusan terkait dukungan terhadap capres dan cawapres telah memenuhi kriteria yang ditetapkan UU, yakni demokratis dan terbuka. Bukan tidak mungkin pembusukan justru sedang terjadi di dalam partai di mana hanya sekelompok elite yang menentukan setiap kebijakan strategis, termasuk dalam menentukan dukungan politik.

Dalam kasus ini, kecurigaan tersebut jadi sangat beralasan karena keberadaan Partai Golkar sebagai pemenang kedua dalam pemilu legislatif "tiba-tiba" memutuskan tidak mengusung capres atau cawapres dari kalangan internal. Kekisruhan pun mulai muncul, salah satunya menghasilkan keputusan untuk memberhentikan ketiga anggota Partai Golkar tersebut di atas.

Hal yang sama sebetulnya juga terjadi ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberhentikan dua anggotanya karena mengambil sikap berbeda dalam pengambilan keputusan terkait kasus Bank Century. Dalam konteks demokratisasi, pemberhentian ini bisa dianggap kemunduran demokrasi yang terjadi di dalam institusi partai politik.

Menyoal "recall"
Pemberhentian terhadap anggota partai politik akan berimbas lebih jauh bagi publik jika yang bersangkutan menduduki jabatan politik yang diperoleh melalui pemilu. Sistem demokrasi langsung menghendaki campur tangan publik dalam setiap pengambilan keputusan.

Dalam kasus PKB, kebijakan untuk memberhentikan anggotanya di DPR sebetulnya bertentangan dengan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 196
Ayat (3) menyebutkan, anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.

Selama ini pemberhentian anggota DPR hanya menggunakan ketentuan di dalam Pasal 213 Huruf (h) yang menyebutkan bahwa pemberhentian anggota DPR dilakukan jika yang bersangkutan diberhentikan dari keanggotaan partai politik. Sepertinya ada pengabaian terhadap ketentuan Pasal 196 yang memberikan hak imunitas kepada anggota DPR.

Lain halnya dengan kasus Partai Golkar. Pemberhentian lebih disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap keputusan dalam internal organisasi dan tidak berhubungan langsung dengan tugas dan tanggung jawab anggota DPR. Namun, perlu dipahami juga bahwa pemberhentian tersebut berimplikasi terhadap posisi yang bersangkutan di DPR, yang notabene dipilih secara langsung oleh publik.

Peran partai politik yang terlalu besar dalam pemberhentian ini perlu diimbangi dengan kebijakan yang lebih demokratis, baik dalam pengambilan keputusan di dalam partai politik sendiri maupun dalam institusi DPR. Partai politik tetap berwenang memberhentikan anggotanya, tetapi perlu dibuat mekanisme yang lebih terbuka bagi publik untuk ikut serta dalam proses tersebut.

Dalam konteks DPR, perubahan undang-undang mungkin perlu segera dilakukan agar anggota DPR tidak terjebak dalam keputusan fraksi, yang justru mengekang hak dan kewajiban konstitusionalnya sebagai wakil rakyat. Fraksi sebagai "perpanjangan tangan" partai politik seharusnya tidak menjelma sebagai alat untuk memaksakan sikap politik elite partai kepada anggotanya di parlemen.

Desain ulang proses recall ini perlu dipertimbangkan untuk diperbaiki, terutama dalam hal memperkuat partisipasi publik (pemilih). Bagi partai politik, kebijakan ini akan membantu dan "memaksa" partai politik agar dikelola secara lebih demokratis dan terbuka.

Reza Syawawi
Researcher for Law and Policies Transparency International Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007503221
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Suara Menyejukkan di Irak (Kompas)

SUARA menyejukkan datang dari ulama terkemuka Syiah di Irak, Moqtada al-Sadr. Ia mendesak dibentuknya pemerintahan darurat nasional, Rabu (25/6).
Sadr meminta Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki memenuhi tuntutan kaum Sunni moderat di Irak dan tidak mengucilkan mereka. "Kita harus segera membentuk pemerintahan nasional dengan nama-nama baru dan berasal dari semua latar belakang, bukan berdasarkan kuota sektarian seperti biasa," ujar Sadr dalam pidatonya di Najaf, kota suci Syiah, yang disiarkan langsung televisi.

Pidato Sadr itu disampaikan sehari setelah PM Maliki menolak usul dibentuknya pemerintahan darurat nasional, suatu pemerintahan yang juga mencakup kaum Sunni moderat dan Kurdi. Pemerintahan pimpinan PM Maliki yang beraliran Syiah, dan didominasi kaum Syiah, dianggap menyulitkannya menggalang kesatuan nasional dalam menghadapi serangan dari milisi koalisi Sunni yang dimotori kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Sadr berpendapat, PM Maliki tidak mempunyai pilihan lain kecuali merangkul kaum Sunni moderat di Irak. Itu sebabnya, dalam pidatonya, Sadr, pemimpin kelompok Syiah yang berpengaruh di Irak, juga mengutarakan, "Saya mengajak seluruh warga Irak untuk menghentikan pertempuran dan teror terhadap warga sipil. Pemerintah Irak harus memenuhi tuntutan kelompok Sunni moderat, bukan malah mengucilkan mereka. Mereka selama ini terpinggirkan." Ia memiliki barisan milisi "Tentara Mahdi" yang berkekuatan 100.000 personel.

Kesatuan nasional itu sangat diperlukan, terutama ketika menghadapi serangan dari luar. Apalagi kelompok militan NIIS telah menduduki hampir semua wilayah perbatasan di bagian barat Irak.

Sikap PM Maliki yang tidak mau mendengar masukan untuk membentuk pemerintahan yang inklusif, yang melibatkan semua unsur rakyat Irak, akan merugikan dalam jangka panjang.

Dalam kaitan itulah, langkah ulama terkemuka Syiah itu kita anggap menyejukkan. Tanpa mengajak kaum Sunni dalam memerangi NIIS, dengan mudah perang Pemerintah Irak melawan NIIS dapat disalahtafsirkan sebagai perang kaum Syiah melawan kaum Sunni. Dan, jika itu terjadi, bukan tidak mungkin akan terjadi perang saudara yang berkepanjangan di Irak.

Bahwa kelompok militan NIIS harus diperangi itu betul, tetapi hendaknya, seperti yang diserukan Sadr, seluruh rakyat Irak harus diajak untuk menghentikan pertempuran dan teror terhadap warga sipil. Kelompok militan NIIS tidak mewakili kaum Sunni di Irak. Itu sebabnya, kita berharap PM Maliki mau mendengarkan suara Sadr, yakni segera membentuk pemerintahan nasional dengan nama-nama baru dan berasal dari semua latar belakang.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007527968
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Ramadhan Penuh Kesejukan (Kompas)

BULAN Ramadhan tiba kembali setelah hampir setahun berpisah. Umat Islam kembali tergerak untuk mendapatkan berkah dan rida Allah SWT.
Perintah berpuasa tertuang dalam Surat Al Baqarah Ayat 183. Kewajiban berpuasa sudah diperintahkan Allah kepada orang-orang sebelum datangnya agama Islam.

Di tengah roda kehidupan modern yang sangat menuntut, boleh jadi puasa dirasa semakin memberatkan. Namun, dengan keikhlasan, kita yakin yang berat pun akan terasa ringan. Bahkan, Allah Yang Maha Pemurah memberikan keringanan kepada mereka yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Mereka yang terkendala untuk menjalankannya pun diberi ruang dengan membayar fidiah, yaitu memberi makan orang miskin.

Bulan Ramadhan dirindukan umat Islam karena memberi kesempatan banyak dan luas untuk mendapatkan berkah melalui amalan. Ketakwaan yang meningkat, juga kesalehan, kesabaran, kesehatan, pengetahuan, dan wawasan adalah di antara berkah itu.

Menyimak cara mengetahui kedatangan bulan suci ini, orang pun dapat memperdalam ilmu falak (astronomi). Kebutuhan untuk mengetahui penampakan hilal, misalnya, membuat perukyat mempergunakan kamera yang lebih sensitif, mengingat piringan bulan yang masih amat tipis sulit dilihat di antara kilauan sinar matahari senja.

Dalam perjalanan selanjutnya, umat Islam juga dapat mengikuti perjalanan bulan, menjadi seperempat, purnama, seperempat lagi, hingga akhirnya datang 1 Syawal. Di situlah kesabaran mengikuti proses dipancarkan.

Bersama keikhlasan, kesabaran juga relevan pada hari-hari ini, ketika bangsa Indonesia menyongsong Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Kita semua menyimak, kontestasi ini telah memanaskan emosi para pendukung. Diakui, jabatan puncak adalah jabatan mulia yang amat didambakan para aspiran yang kita yakini berniat baik untuk membawa kesejahteraan dan kemakmuran.

Namun, seperti kita lihat hari-hari ini, kadang hal itu membuat pendukung terhanyut dalam rivalitas yang gemuruh. Kita yang ingin melihat kontestasi berlangsung damai amat berkepentingan membuat suasana sejuk dan semuanya dijalankan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Bulan Ramadhan, yang di dalamnya menandai turunnya Al Quran dan malam Lailatul Qadar, sudah semestinya menjadi rahmat yang menyejukkan. Al Quran memberikan petunjuk bagi manusia dan malam Lailatul Qadar jelas mengajarkan tentang hidup mulia.

Dari sisi ini, kita memahami, kemuliaan bukan saja datang dari ketinggian jabatan seperti presiden, melainkan juga dari perilaku yang penuh welas asih, peduli, dan menyatu dengan sesama.

Kita berharap berkah Ramadhan tercurah bagi bangsa Indonesia, terlebih juga bagi tokoh yang sedang bersaing ketat dalam kontes pilpres. Semoga Ramadhan menambah kebeningan hati dan menguatkan tekad untuk memimpin seadil-adilnya dan seikhlas-ikhlasnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007524420
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 27 Juni 2014

Menciptakan dan Membagikan Kesejahteraan (Ndiame Diop)

ARAH pembangunan masa depan Indonesia berada pada situasi kritis.
Indonesia menghadapi pilihan sulit: apakah ekonomi Indonesia akan mengambang dalam "jebakan pendapatan menengah" (middle-income trap) atau berkembang jadi kekuatan yang menciptakan kesejahteraan merata. Akankah kesejahteraan di Indonesia hanya membuat orang kaya jadi lebih kaya? Atau, akankah berkat-berkat yang dimilikinya mampu menjadikan Indonesia negara berpenghasilan tinggi yang kesejahteraannya dapat dinikmati seluruh warga negara?

Selama dekade terakhir, kesejahteraan yang besar diciptakan di Indonesia berkat faktor eksternal yang menguntungkan dan pengelolaan makroekonomi secara baik. Antara 2001 dan 2012, total PDB dan PDB per kapita hampir dua kali lipat (dalam kurs dollar konstan). Mega tren yang menguntungkan, seperti karakter demografi yang menguntungkan 10 tahun ke depan, generasi muda yang paham teknologi informasi, dan peningkatan biaya produksi manufaktur di Tiongkok, dapat terus dimanfaatkan untuk menciptakan lebih banyak kesejahteraan di masa depan. Faktor-faktor ini menawarkan berbagai insentif untuk investasi industri manufaktur di Indonesia. Namun, akankah penciptaan kesejahteraan ini terwujud? Apabila ya, akankah kemakmuran terbagi secara merata untuk semua warga negara?

Inilah fokus laporan terbaru Bank Dunia, Indonesia: Avoiding the Trap. Laporan ini melihat bagaimana pembangunan dapat mewujudkan cita-cita bangsa untuk jadi kekuatan ekonomi berpenghasilan tinggi. Bahaya perangkap pendapatan menengah sungguh nyata. Brasil tumbuh cepat 1960-an dan 1970-an, tetapi sejak PDB per kapita mencapai 3.939 dollar AS (hampir sama dengan Indonesia kini) pada 1981, negara itu terlanda perlambatan pertumbuhan yang relatif lama hingga 2004.

Pengalaman Indonesia 10 tahun terakhir menunjukkan pentingnya berkembang bersama. Indonesia patut bangga tingkat kemiskinan telah berkurang secara signifikan. Namun, pertumbuhan ekonomi telah menjadikan yang kaya semakin kaya. Ketidaksetaraan semakin meningkat. Hampir 100 juta orang tergolong miskin atau rentan dan kurang memiliki akses ke layanan-layanan penting, seperti kesehatan. Angka kematian ibu di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pembangunan negara ini.

Lebih sejahtera dan adil
Dalam jangka pendek, kebijakan yang dapat mengubah masa depan adalah meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya (efficient spending) oleh sektor publik. Ini berarti mengarahkan belanja publik untuk prioritas pembangunan. Manfaat subsidi BBM—2,6 persen dari PDB—sebagian besar hanya dinikmati orang kaya. Padahal, jumlah subsidi lebih besar dibandingkan jumlah gabungan pengeluaran pemerintah pusat dan subnasional untuk infrastruktur (2,5 persen dari PDB). Jumlah itu juga hampir tiga kali jumlah yang dibelanjakan untuk kesehatan (0,9 persen dari PDB). Dana subsidi BBM dapat digunakan untuk mengatasi ketidaksetaraan, misalnya lewat peningkatan kualitas program bantuan sosial.

Untuk jangka menengah, Indonesia butuh revolusi dalam sisi penawaran. Hal ini berarti menutup tiga kesenjangan besar, yakni di bidang infrastruktur, pendidikan dan keterampilan, serta pasar-pasar utama, seperti lahan dan tenaga kerja.

Indonesia telah kehilangan setidaknya 1 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama dekade terakhir karena tingkat investasi rendah. Total investasi infrastruktur (oleh pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan sektor swasta) tetap kurang dari 4 persen dari PDB selama dekade terakhir. Jumlah ini hanya sekitar setengah dari yang dibutuhkan.

Pada saat sama, pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kebutuhan yang lebih besar. Jumlah kendaraan telah meningkat empat kali lipat, sedangkan kapasitas jalan hanya bertambah 35 persen. Pelabuhan utama di Indonesia, meski beroperasi dalam kapasitas penuh, tetap kesulitan mengatasi peningkatan lalu lintas peti kemas. Padahal, kapasitas penuh tersebut hanya seperlima dari kapasitas pelabuhan di Singapura. Konsumsi listrik meningkat dua kali lipat dalam tujuh tahun terakhir dan akan terus meningkat serta butuh investasi besar untuk pembangkit listrik agar dapat memenuhi permintaan.

Di bidang pendidikan, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memperluas akses. Namun, sistem pendidikan tampaknya kurang berhasil dalam menyediakan keterampilan yang paling dibutuhkan pengusaha, yaitu keterampilan teknis yang tepat dan perilaku yang diinginkan seperti disiplin, sikap kerja sama, dan kepemimpinan. Pada tingkat dasar, Indonesia kurang beruntung dibandingkan negara berpendapatan menengah lain dan tetangga Asia Timur dalam penilaian belajar, seperti PISA.

Sekitar 50 persen lulusan sekolah menengah akhirnya bekerja di bidang tidak terampil dan berpenghasilan rendah. Hal ini mencerminkan kurangnya keterampilan yang tepat untuk memperoleh pekerjaan yang semestinya. Sekitar 70 persen perusahaan mengaku "sangat sulit" mendapatkan keterampilan yang tepat untuk posisi profesional.

Yang tampaknya diperlukan saat ini adalah sistem jaminan mutu yang efektif untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Dalam bidang terkait, pengurangan nilai pesangon yang tinggi akan mendorong ikatan kontrak yang lebih formal dan mobilitas tenaga kerja yang lebih tinggi.

Keterlibatan pemerintah
Kualitas keterlibatan pemerintah dalam pengaturan pasar adalah bidang dasar ketiga. Pendekatan pemerintah baru-baru ini untuk meningkatkan rantai nilai adalah dengan membuat UU dan mengatur dahulu, kemudian menegosiasikan dengan swasta yang investasinya dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan pemerintah tersebut. Hal ini tak mungkin berhasil. Pendekatan yang dilakukan saat ini adalah mengimplementasikan reformasi untuk mengurangi hambatan administrasi dan regulasi serta memfasilitasi investasi dan perizinan di beberapa sektor.

Namun, pada saat sama, penyusunan peraturan-peraturan melahirkan kebijakan yang sangat berdampak dan mengganggu kementerian tertentu—seperti kebijakan di bidang industri dan perdagangan—sehingga menyebabkan ketidakpastian usaha dan membingungkan investor. Pengalaman internasional menekankan pentingnya transparansi dan seharusnya dengan minimal atau nol keberatan jika kebijakan yang ada memang dimaksudkan untuk menguntungkan banyak orang. Mengatasi kesenjangan di bidang infrastruktur, keterampilan serta regulasi pasar dapat membantu menciptakan kemakmuran dan pekerjaan. Sejauh mana kelompok masyarakat miskin dan rentan menerima manfaatnya bergantung pada kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Tantangan bagi Indonesia amat besar. Imbalan yang diterima jika mengambil pilihan yang tepat akan sangat besar dalam pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen yang dapat menyerap 15 juta tenaga kerja baru yang siap bergabung pada 2020.

Ndiame Diop
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007474094
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Aura Demokrasi (Yasraf Amir Piliang)

PEMILIHAN Umum Presiden 9 Juli 2014 merupakan batu ujian terhadap demokrasi, sekaligus penentu ke arah mana demokrasi akan dibawa di masa depan.
"Aura-aura demokrasi" sudah mulai dapat dibaca dari penampakan luar, tuturan, serta gestur capres dan cawapres. Kemampuan mengelola "gestur politik" jadi penentu dalam kompetisi menuju kursi kepemimpinan tertinggi negara-bangsa.

Pilpres kali ini meninggalkan enigma: sosok ideal pemimpin seperti apa yang pantas memimpin bangsa? Dimensi-dimensi kesadaran dan ketaksadaran para capres dan cawapres muncul ke permukaan dalam aneka wacana, debat, pidato, pernyataan, wawancara, talk show, komunikasi, dan interaksi head to head di antara mereka. Gestur-gestur ini menunjukkan karakter diri dan subyektivitas mereka sebagai penanda "gaya kepemimpinan" jika terpilih sebagai pemimpin bangsa.

Karena dalam pilpres yang dipilih adalah individu, "aura-aura individu" kini lebih dominan ketimbang ideologi partai. Dimensi-dimensi fisik, penampilan luar, pakaian, simbol, kemampuan komunikasi, gaya bahasa, logika berpikir, gestur, bahasa tubuh, dan gaya hidup para calon pemimpin jadi faktor penentu penting dalam kompetisi politik. Waktu yang relatif singkat menjadi tantangan besar bagi para kontestan dalam memoles "aura politik" sebagai modal penting kontestasi politik.

Penampilan diri para calon pemimpin di ranah publik tak ditentukan oleh diri itu sendiri an sich, tetapi juga oleh kekuatan di luar diri yang secara tak sadar membentuk diri. Di satu pihak, calon pemimpin membangun konsep "diri" dengan mengidentifikasi diri—misalnya melalui pencitraan— sesuai lukisan tentang "ego ideal" atau "pemimpin ideal" meski itu bukan lukisan diri sesungguhnya.

Di pihak lain, calon pemimpin dituntut menempatkan diri sebagai "diri sosial" yang harus patuh terhadap dan menampilkan dirinya agar selaras dengan aneka norma, aturan, kebiasaan, habit, adat, ajaran, habitus, dan keyakinan umum. Di sini, ia harus membangun dirinya sebagai "ideal ego", diri yang diterima secara sosial, karena dianggap memenuhi syarat dari apa yang diterima sebagai "kebaikan umum" oleh masyarakat. Para calon pemimpin berada dalam kondisi "tegangan" di antara dua kekuatan eksternal ini: antara membangun ego-ideal dan ideal-ego.

Di satu pihak, untuk membangun ego-ideal, calon pemimpin harus hidup dalam tataran "imajiner", tataran tempat ia membayangkan dan menampilkan diri sebagai diri ideal menurut pandangannya. Melukiskan diri "dekat dengan rakyat", "merakyat", atau "Macan Asia" adalah lukisan ideal tentang diri sebagai pemimpin. Di pihak lain, ia harus pula membangun dirinya pada tataran "simbolik", tataran ketika ia harus menampilkan, mengucapkan, dan melakukan apa pun sesuai apa yang diterima sebagai ideal oleh publik (Lacan, 1993). Apa yang dianggap ideal seorang calon pemimpin boleh jadi beda dengan yang dianggap ideal berdasarkan pandangan umum. Terbentuk jurang dalam antara imajinasi dan kenyataan.

Di sini ada dua tipe pemimpin. Pertama, pemimpin yang menempatkan diri pada "tataran simbolik": aturan, norma, kebiasaan, pandangan umum, budaya publik, habitus, dan common sense. Ia patuh pada "penanda besar", yaitu pada segala sesuatu yang dianggap "umum", "normal" atau "universal": prinsip dasar, prosedur, norma, hierarki, protokol. Pemimpin macam ini berpeluang menjaga stabilitas, tetapi dapat terjebak sifat prosedural, birokratis, linier, dan tak kreatif.

Kedua, pemimpin yang menempatkan diri sebagai "kontra-tataran simbolik" dengan mengusung revolusi, pembongkaran, dan dekonstruksi terhadap sistem pengetahuan umum dengan merayakan segala yang direpresi, ditekan, dimarjinalkan, dipinggirkan, tak normal atau tak sesuai kebiasaan umum, dengan menampilkan diri secara alamiah. Pemimpin macam ini membuka luas pintu kreativitas dengan risiko dapat menciptakan instabilitas karena cenderung asyik dengan diri sendiri.

Ruang antagonisme

Debat dalam konteks pilpres adalah arena pertarungan gagasan di antara para kontestan untuk menguji kemampuan mengomunikasikan gagasan, strategi, dan langkah implementasinya. Karena itu, materi perdebatan semestinya komprehensif agar dapat menggali totalitas kompetensi calon pemimpin. Amat disayangkan, dalam seluruh tema perdebatan pilpres, tak ada tema kebudayaan, padahal pemahaman serta penghayatan atas manusia dan kebudayaan adalah kompetensi paling mendasar seorang pemimpin.

Tak adanya tema manusia dan kebudayaan ini menyebabkan sulit menilai dimensi-dimensi "humanis" para kontestan, yaitu bagaimana mereka memperlakukan sesama lawan politik sebagai "manusia". Marjinalisasi terhadap dimensi manusia dan kebudayaan ini menjauhkan perdebatan dari esensi politik itu sendiri, yaitu politik sebagai "antagonisme", saat relasi antara "kita" dan "mereka" dalam pertarungan politik dibingkai melalui bingkai respek terhadap sesama manusia. Antagonisme politik mensyaratkan, lawan politik bukan "musuh" yang harus dimusnahkan, melainkan "adversari", yaitu manusia yang eksistensi mereka sah secara politik, yang gagasan politiknya kita tentang, tetapi hak politik mereka untuk mempertahankan gagasan itu kita hargai (Mouffe, 1993). Esensi debat politik adalah manifestasi antagonisme antara capres dan cawapres, saat pandangan dan gagasan politik lawan diserang, tetapi eksistensinya dihargai sebagai manifestasi budaya luhur politik.

Absennya dimensi manusia dan kebudayaan dalam arena pilpres kali ini kian diperparah aneka "kampanye virtual" di dalam media sosial yang kontra-antagonistik. Di sana, lawan politik diperlakukan sebagai "musuh" yang harus dihancurkan dengan membunuh karakter mereka secara ekstrem dengan membuka segala keburukan, aib, dan rahasia pribadi, dengan menyebar segala fitnah dan tuduhan palsu, serta dengan mengumbar segala kebencian secara vulgar sehingga sempurnalah arena pilpres yang tanpa nilai luhur budaya politik.

Di media sosial, "kekerasan simbol" tumbuh melampaui etika politik yang sehat yang meruntuhkan kategori-kategori etika politik tentang apa yang dianggap baik/buruk, benar/salah, pantas/tak pantas. "Kebenaran politik" di media sosial bergerak ke titik ekstrem, nyaris tak dapat lagi dibedakan antara yang benar dan salah, asli dan palsu, atau alamiah dan rekayasa, "Rezim kebenaran" dikendalikan oleh kekuatan simulasi media sosial yang mengancam kebenaran politik. Media sosial jadi ruang subur tumbuhnya "kampanye hitam", yaitu bentuk-bentuk kampanye mengumbar sisi-sisi gelap dari lawan politik. Sisi-sisi ini boleh jadi merupakan fakta, tetapi lebih sering merupakan rekayasa verbal atau visual yang dikembangkan berupa "imajinasi-imajinasi gelap" tentang individu atau kelompok, sebagai cara membunuh karakter lawan politik. Pembunuhan karakter macam ini menodai prinsip dasar politik sebagai arena antagonisme.

Imajinasi politik

Pemilu adalah momen krusial dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Kesalahan kecil dalam memilih pemimpin hari ini akan berakibat fatal di masa depan. Risiko fatalitas ini karena selalu saja ada jurang dalam antara "horizon pengharapan" pada calon pemimpin yang diimajinasikan sebagai pemimpin ideal di masa kini dan kenyataan di masa depan, seperti selalu berulang di beberapa pemilu sebelumnya. Ada dua mekanisme psikis yang jadi landasan dalam menentukan pilihan pemimpin. Pertama, "imajinasi", yaitu bayangan, gambaran, lukisan, ilustrasi, atau potret ideal seorang pemimpin dalam pikiran seseorang, yaitu seorang pemimpin sebagai ego-ideal. Kedua, "pemahaman", yaitu pengetahuan, data, informasi, fakta, dan realitas, sebagai dimensi "yang nyata" dari calon pemimpin. Pemimpin ideal adalah yang memiliki kecocokan antara imajinasi dan pemahaman utuh kita tentang dia.

Pertentangan muncul ketika ada kontradiksi antara imajinasi dan pemahaman utuh tentang seorang calon pemimpin. Pemahaman yang memerlukan kecakapan nalar-rasional untuk mendapatkan "kebenaran" tentang seorang calon pemimpin—dengan menggali data, informasi, dan fakta-fakta otentik tentangnya sehingga memperoleh gambaran utuh-menyeluruh—digerogoti oleh kekuatan "nir-nalar-irasional", saat orang dikendalikan gambaran sepotong-sepotong tentang seorang kontestan (Zizek, 2000).

Kondisi asimetris antara imajinasi dan pemahaman menggiring beroperasinya "mitos" dalam politik, di mana "imajinasi murni"—imajinasi tentang seorang calon pemimpin yang tak didukung pemahaman utuh—diyakini sebagai kebenaran tentang calon pemimpin tersebut. Media sosial adalah ladang subur tumbuhnya imajinasi murni tanpa realitas ini, yang mengondisikan irasionalitas dan politik, yaitu mitos-mitos politik tanpa nalar sehat. "Irasionalitas politik" dalam konteks pemilu adalah kondisi saat orang menentukan pilihan politiknya, tetapi tak didukung pemahaman utuh tentang pilihannya. Imajinasinya tentang sosok pemimpin sebagai ego-ideal—ia mengidentifikasikan diri dengannya, seakan-akan ia adalah lukisan dirinya sendiri—telah mengaburkan mata rasionalnya tentang pemahaman yang diperlukan tentang diri calon pemimpin itu. Ia dihipnotis oleh "aura" sang tokoh.

Irasional politik menempatkan figur idola sebagai yang "mutlak" harus dimenangkan, sementara lawan politik sebagai "musuh" yang harus dihancurkan. Padahal, keputusan ini dilandasi pengetahuan yang sama kaburnya tentang kawan dan musuh. Lawan politik diperlakukan sebagai musuh di atas kondisi absennya pengetahuan tentang mereka. Musuh "adalah seseorang yang cerita kehidupannya tak pernah Anda dengar" (Zizek, 2008). Apabila Anda berupaya memahami "sang musuh" dengan nalar rasional, boleh jadi ia sosok yang selama ini Anda idealkan. Menyambut pesta demokrasi yang kian dekat, rakyat diharapkan secara cerdas membaca "aura sejati" para calon pemimpin masa depan bangsa, bukan "aura palsu" yang diumbar melalui kampanye hitam di aneka media sosial dan media elektronik lainnya. "Aura demokrasi" pada abad digital hendaknya dapat dibaca secara rasional-kultural dan rakyat harus cerdas serta peka dalam menangkap "gestur politik" para calon pemimpin bangsa sehingga tak terperosok ke lubang yang sama: memilih pemimpin yang tak sesuai antara imajinasi dan realitasnya.

Yasraf Amir Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007274061
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menjaring dan Menyaring Capres (Salahuddin Wahid)

PEMILIHAN presiden langsung pada 2004 adalah  pengalaman pertama bagi kita. Maka, kita belajar dari pengalaman negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang berpengalaman sekitar 60 kali menyelenggarakan pilpres langsung.
Dalam tiga kali pilpres,  tampaknya ada perubahan mendasar dalam menjaring dan menyaring calon presiden dan calon wakil presiden. Banyak tokoh ingin jadi capres/cawapres dan berjuang untuk mewujudkan mimpi itu yang datang dari berbagai latar belakang. Ada yang memenuhi syarat, ada yang tidak. Ada yang dikenal masyarakat, ada yang tidak. Harian Kompas pada pertengahan 2003 pernah memuat foto sekian puluh nama itu dalam dua halaman penuh.

Pilpres 2004 dan 2009
Pada 2004, Partai Golkar menjaring dan menyaring tokoh yang berminat menjadi capres melalui semacam konvensi. Langkah itu bagus dan strategis. Namun, sayang, menurut Nurcholish Madjid alias Cak Nur, konvensi itu tidak menitikberatkan pada visi-misi, tetapi pada gizi sehingga dia mengundurkan diri. Waktu itu survei belum jadi acuan sehingga tidak masuk dalam kriteria yang dinilai. Pemenangnya adalah Wiranto.

Pada Pilpres 2004, syarat untuk mengajukan capres amat rendah (3,5 persen) sehingga muncul lima pasangan capres-cawapres. Sepuluh calon tersebut terdiri dari 3 jenderal purnawirawan, 3 ketua umum parpol, 2 tokoh ormas, dan 2 orang lagi pengusaha sukses yang pernah menjadi menteri. Dana sudah menjadi faktor yang menentukan. Pemilihan dilakukan dua putaran. Pemenangnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jenderal purnawirawan.

Dalam Pilpres 2004, ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menjadi tujuan untuk menjaring dan menyaring capres/cawapres dengan mengharapkan dukungan warga ormas tersebut. Dari lingkungan Muhammadiyah, Amien Rais yang menjadi Ketua Umum DPP PAN menjadi capres dari PAN. Dari NU, ada dua orang yang menjadi cawapres, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Ternyata langkah itu tidak efektif. Warga NU lebih memilih SBY daripada Ketua Umum PBNU.

Dalam Pilpres 2009, pasangan capres-cawapres harus diajukan oleh (gabungan) partai dengan perolehan minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi DPR. Maka, yang maju sebagai capres-cawapres hanya tiga pasangan, yaitu 3 mantan jenderal, 2  ketua umum partai, dan seorang guru besar yang mantan menteri. Dua orang punya latar belakang pengusaha. Tidak ada lagi tokoh ormas yang menjadi calon.

Kondisi mutakhir
Pada Pilpres 2014, keadaan dan paradigmanya sudah amat berubah. Peran media dan survei, yang tentu butuh dana amat besar, jauh lebih menonjol. Sudah disadari tentang perlunya strategi pemenangan yang butuh ahli pemasaran dan psikologi masyarakat. Prabowo Subianto sudah sejak lama (2-3 tahun) memanfaatkan televisi untuk sosialisasi diri ke masyarakat luas sehingga Partai Gerindra jadi pemenang ketiga Pemilu 2014.

Peran pemilik dana makin menonjol. Aburizal Bakrie, yang selama ini lebih dikenal sebagai pengusaha daripada politisi, berhasil jadi Ketua Umum Partai Golkar setelah mengalahkan Surya Paloh yang juga pengusaha. Setelah itu Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem, partai baru yang mampu mengalahkan partai-partai lama. Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura meski akhirnya meninggalkan partai tersebut. Secara mendadak, pengusaha Rusdi Kirana diangkat menjadi Wakil Ketua Umum DPP PKB. Ini berarti peran uang makin besar dalam politik.

Dalam memilih capres-cawapres pada Pilpres 2014, peran survei dan upaya rekayasa sosial amat menentukan. Joko Widodo adalah produk rekayasa sosial yang amat berhasil. Perancang strategi sosialisasi Jokowi amat berhasil dalam tugasnya. Mereka pandai memilih tokoh yang akan diorbitkan dan pandai juga dalam mengorbitkan. Mereka mampu mengenali sesuatu dalam diri Jokowi yang akan bisa dieksploitasi untuk menarik pemilih.

Prabowo yang sudah mulai sosialisasi sejak 2009 juga memetik jerih payahnya itu dengan menjadi capres karena punya tingkat keterpilihan yang tinggi. Aburizal, yang memaksakan diri untuk menjadi capres dari Partai Golkar sehingga pantas memasang iklan di TV One selama bertahun-tahun, ternyata tidak bisa mencapai tingkat keterpilihan yang memadai. Aburizal pun terpaksa menelan pil pahit: tak bisa menjadi capres atau cawapres. Hal itu memberikan pelajaran bahwa ketersediaan dana yang amat besar dan dukungan partai saja ternyata  tidak cukup untuk bisa membuat seorang tokoh menjadi capres/cawapres.

Masalah pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi sorotan publik, tetapi makin berkurang. Surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira tentang pemberhentian Prabowo dari TNI baru kini diungkap kepada masyarakat. Agum Gumelar dan Fachrul Rozi menjelaskan bahwa TNI tidak memecat Prabowo karena dia adalah menantu Presiden. Tentu itu bukan kesalahan Prabowo. Lebih sulit kita pahami ketika Panglima TNI menyatakan bahwa surat keputusan itu tidak ada di arsip Mabes TNI. Mau tidak mau kita jadi teringat pada Supersemar yang masih misterius.

Kecenderungan ke depan
Keempat calon yang maju dalam Pilpres 2014 adalah pengusaha. Sejumlah menteri juga punya latar belakang pengusaha. Di masa depan calon berlatar belakang pengusaha akan tetap banyak yang tampil, baik sebagai kepala daerah, menteri, maupun capres/cawapres. Pengusaha dianggap punya kemampuan menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan punya dana.

Salah satu fenomena baru adalah munculnya kepala daerah jadi capres. Di masa depan kecenderungan ini akan meningkat. Kita melihat cukup banyak kepala daerah yang berhasil mengembangkan daerahnya, misalnya Wali Kota Surabaya dan Bupati Bantaeng. Masih banyak lagi kepala daerah yang menerima penghargaan dari sejumlah lembaga dan media, baik di dalam maupun luar negeri. Sebaiknya bupati/wali kota menjadi gubernur dulu dalam waktu lima tahun baru capres/cawapres.

Tokoh militer yang akan menjadi capres di masa depan tentu masih ada, tetapi belum terlihat yang punya kapasitas seperti SBY, Prabowo, dan Wiranto. Jika memang ada jenderal purnawirawan yang berpotensi dan punya niat kuat untuk maju pada 2019, mereka harus berani dan mampu mendirikan partai baru atau mengambil alih partai yang ada seperti yang dilakukan seniornya. Dari segi usia, kecenderungannya yang akan menjadi capres adalah mereka yang lahir pada dasawarsa 1960-an, bahkan awal 1970-an.

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007291944
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Sulit untuk Memahami Sikap Beijing (Kompas)

PEMERINTAH Tiongkok, Rabu (25/6), mengeluarkan peta baru yang memperluas klaim wilayah teritorialnya, khususnya di perairan Laut Tiongkok Selatan.
Peta resmi baru Tiongkok itu mendapatkan reaksi keras dari Filipina, salah satu dari empat negara anggota ASEAN yang memiliki tumpang tindih klaim wilayah dengan Tiongkok di perairan Laut Tiongkok Selatan. Berbeda dengan tiga negara anggota ASEAN lainnya, yakni Brunei, Malaysia, dan Vietnam, Filipina selama ini selalu menyikapi perilaku agresif Tiongkok terkait Laut Tiongkok Selatan dengan suara lantang.

Kementerian Luar Negeri Filipina menyebut peta baru itu sebagai sikap ekspansif Tiongkok yang sama sekali tidak berdasar. Publikasi peta Tiongkok itu jelas-jelas bertentangan dengan aturan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS).

Wajar jika Filipina bereaksi keras. Sebab, di dalam peta baru itu, Laut Tiongkok Selatan secara jelas dimasukkan ke dalam wilayah teritorial Tiongkok dan Beijing menambah satu garis putus-putus lagi melengkapi sembilan garis putus-putus yang sudah ada.

Belum lagi kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok kerap melakukan perang urat saraf di Laut Tiongkok Selatan dengan sesekali menghadang kapal-kapal sipil Filipina di dekat wilayah tumpang tindih klaim kedua negara.

Berbeda dengan Filipina, Vietnam menempuh cara yang lebih keras dalam menghadapi kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok yang berpatroli di wilayah tumpang tindih klaim kedua negara. Kapal-kapal penjaga pantai Vietnam menabrak kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok yang berpatroli di wilayah itu. Hanoi mengatakan, tindakan itu dilakukan untuk membalas tindakan kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok yang menabrak kapal-kapal Vietnam.

Vietnam memang tidak mudah digertak. Jangankan Tiongkok, Perancis dan Amerika Serikat pun dilawan. Sikap Vietnam yang keras itu, ternyata, membuat Beijing kewalahan dan mengadukan kasusnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sikap Beijing yang membawa kasusnya ke PBB itu sulit dipahami karena selama ini Beijing selalu memaksakan untuk menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan secara bilateral.

Dan, yang lebih sulit untuk dipahami adalah mengapa Beijing mengeluarkan peta barunya, yang mencakup Laut Tiongkok Selatan, pada saat ini? Sebab, kita tahu bahwa tanpa memasukkan Laut Tiongkok Selatan secara jelas dalam peta lama saja sudah menimbulkan ketegangan dengan Filipina dan Vietnam. Apalagi dengan memasukkannya secara jelas, pada saat Beijing masih mengadukan Vietnam ke PBB karena menganggap Hanoi merusak perdamaian dan stabilitas kawasan. Menarik untuk memahami logika berpikir dari para pemimpin Tiongkok di Beijing.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007503856
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Bulan Juni yang Basah (Kompas)

DI sekolah dasar dulu, kita diajari ilmu bumi yang, antara lain, menyebutkan, musim hujan berlangsung Oktober hingga April. Selebihnya musim kemarau.
Tentu ada masa transisi yang sering kita sebut dengan pancaroba. Jika semua masih normal, Juni sudah kemarau dan hujan tak bisa diharapkan lagi. Ia hanya ada dalam puisi seperti ditulis penyair Sapardi Djoko Damono.

Namun, hingga akhir Juni ini, kita melihat langit selepas tengah hari acap gelap dan hujan lebat pun membuat kota seperti Jakarta kembali tergenang. Cuaca ala musim hujan ini seolah ingin mendinginkan cuaca politik yang cenderung memanas menjelang pilpres nanti.

Fenomena tersebut kontras dengan yang disampaikan ahli cuaca pada awal bulan ini. Saat itu muncul berita bahwa gejala El Nino sudah membayang, cuaca sudah mengering. Malah disebutkan, gejala menyerupai apa yang terjadi pada 1997 ketika arus panas yang berawal dari bagian tropika Samudra Pasifik di lepas pantai Amerika Selatan mulai menimbulkan dampak di Pasifik Barat.

Waktu itu, tidak kurang Menteri Pertanian mengingatkan bahwa petani mungkin akan menghadapi kesulitan. Kesulitan air dan kegagalan panen sudah dibayangkan. Air langka bukan hanya untuk tanaman pangan, melainkan juga untuk kebutuhan sendiri.

Tentu prakiraan itu bukan prakiraan sembarangan karena melibatkan satelit canggih negara maju. Namun, sepekan kemudian, prakiraan itu dikoreksi karena alih-alih musim kemarau, justru hujan lebat yang datang. Ramalan pun dikoreksi bahwa El Nino yang moderat itu—tidak kering sekali tetapi tidak basah—akan telat datang.

Kemarin, kita membaca penjelasan Kepala Subbidang Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto yang menyebutkan, hujan pada musim kering ini bukan sesuatu yang abnormal. Itu disebabkan sejumlah faktor, seperti radiasi matahari yang menyebabkan penguapan tinggi. Jadi, hujan pada Juni bukan kelainan cuaca. Khusus untuk Ibu Kota, Hary meramalkan, meski ada hujan, Jakarta tak akan mengalami banjir lebih jauh, termasuk di daerah yang rawan banjir.

El Nino, yang terjadi secara teratur tiga sampai tujuh tahun sekali, dan akan mengubah pola cuaca dunia, oleh BMKG diperkirakan akan nyata pada Agustus. Namun, apa yang terjadi selama Juli akan menjadi acuan lebih akurat.

Kita sebagai warga di wilayah yang luas dan merupakan wilayah yang ikut dipengaruhi El Nino sepatutnya tidak kehilangan minat untuk terus mengkaji perkembangan cuaca. Sebagaimana kita tuliskan dalam kolom ini awal bulan lalu, adanya persiapan tentu lebih baik dibandingkan tanpa persiapan. Dengan persiapan, petani dapat kita beri saran tanaman apa yang sebaiknya ditanam.

Kita juga tidak jemu untuk menggarisbawahi pentingnya penguasaan ilmu cuaca. Kita cukupi peralatan dan sarana pemantauan cuaca sehingga prakiraan yang dihasilkan BMKG makin akurat dan andal untuk digunakan masyarakat, mulai dari petani, nelayan, hingga warga perkotaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007502478
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 26 Juni 2014

Eko Budihardjo: Kota Ibarat Jasad Hidup...

Oleh: Winarto Herusansono dan Tri Agung Kristanto

Lulus dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1969, sebagai angkatan pertama, Eko Budihardjo nyaris tidak pernah mendesain bangunan sendirian, sesuai dengan pendidikannya. Tarikan menjadi seorang pengajar dan menekuni bidang perencanaan kota dan wilayah justru lebih kuat. Dan, itulah jalan hidupnya.

Saat saya lulus, yang membutuhkan dosen itu Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya berpikir, kalau menjadi dosen di UGM akan dibawah bayang-bayang dosen. Di Udayana, mana ada rektornya yang bukan orang Bali. Pilihannya, ya, Undip. Bahkan, sebelum saya lulus sudah menjadi asisten dosen di Undip. Jadi, tidak praktik sebagai arsitek atau mendirikan konsultan," ungkap Eko Budihardjo di Kampus Undip, Semarang, beberapa saat lalu.

Eko menyadari panggilan hidupnya memang menjadi pengajar. Namun, meski tak membuka biro konsultan arsitektur, bersama dengan sejumlah koleganya ia terlibat dalam Yayasan Arsitektur Semarang. Di yayasan ini ia masih berkesempatan menerapkan arsitektur yang ditekuninya. "Dosen itu buka usahanya bareng-bareng. Di yayasan itu pekerjaan, termasuk mendesain bangunan, bersifat kolegial. Misalnya, kami pernah mendesain Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Perpustakaan Undip, dan Pusat Kegiatan Mahasiswa Undip," papar dia.

Perjalanan hidup Eko kemudian tersedot ke arah perencanaan kota. Ia bukan lagi mendesain bangunan, melainkan merancang tata perkotaan. Oleh karena pada era 1970-an mulai banyak kota yang tumbuh di negeri ini. "Saat itu banyak pekerjaan terkait perencanaan kota. Jurusan Planologi satu-satunya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di Jurusan Arsitektur, kami hanya dapat planologi (ilmu tentang perencanaan kota) selama satu semester," imbuh mantan Ketua Dewan Kesenian Jateng itu.

Bahkan, Eko pun memutuskan lebih menekuni bidang perencanaan kota dengan mengambil Pasca Sarjana Planologi di University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, Inggris. Ia menjadi lulusan pertama dari Indonesia di universitas itu untuk master of science (MSc) bidang town planning (perencanaan kota). Peluang berkecimpung di bidang perencanaan kota saat ia kembali ke Tanah Air tahun 1978 kian terbuka karena setiap kota harus mempunyai perencanaan kota, master plan (rencana induk).

"Sebetulnya perencanaan kota termasuk disiplin ilmu yang relatif baru. Saya perintis Jurusan Planologi di Undip. Kota kita dirancang dengan terlalu banyak orientasi pada bidang fisik. Tata guna lahan dan jaringan jalan yang terlalu diperhatikan. Ini kesalahan terbesar. Community planning tidak diperhatikan. Padahal, dalam membangun kota semestinya manusia yang didahulukan. Bukan hanya perencanaan di bidang fisik, melainkan memikirkan pula perencanaan masyarakatnya (community planning) serta perencanaan ekonomi, sosial, dan budaya kota. Selama ini, jika dalam kota tak ingin dilalui truk besar, ya, langsung dibikin jalan lingkar. Tidak pernah ada, misalnya wawancara dengan penduduk, mengenai apa yang mereka butuhkan," ujar Ketua Komisi Budaya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu.

Ilmuwan yang menjadi konsultan perencanaan kota dinilainya terlalu elitis, teknokratis, dan birokratis. Bahkan, tak sedikit yang orientasinya proyek. "Pernah ada cerita, konsultan mendapatkan delapan proyek membuat master plan kota. Dia membuat satu master plan saja, tinggal ganti nama kota," ungkap Eko. Misalnya, untuk kota yang tak ada pantainya, rencana induknya ditulis pantai harus dijaga. Acapkali rencana induk suatu kota hanya asal mencomot dari kota lain.

Walaupun demikian, Eko berkeyakinan tak ada yang terlambat. "Kota itu ibarat jasad hidup. Mau jadi kurus atau gemuk, itu masih bisa. Masih bisa dikoreksi. Sistem sisten (siapa)-nya yang penting. Sumber daya manusia jadi kuncinya. Persoalannya, masih ada dinas tata kota yang dipimpin bukan oleh orang perencanaan kota, melainkan dari teknik elektro, teknik mesin, atau bidang lain," ucap dia lagi.

Ia melanjutkan, "Seperti kita terkena penyakit apa pun, selalu ada obatnya. Seperti Jakarta, sejumlah orang mengatakan sudah tidak mungkin dikoreksi. Kemacetannya luar biasa, banjir terus terjadi, dan tidak mungkin bisa diperbaiki. Kalau menurut saya, mungkin saja Jakarta dikoreksi. Jakarta harus membatasi diri, jangan serakah. Pendidikan di situ, pemerintahan di situ, perindustrian di situ, dan perdagangan di situ. Terlalu berat bebannya. Misalnya, izin industri dihentikan. Untuk yang sudah ada, ya, silakan, tetapi sampai batas tertentu dipindahkan ke tempat lain. Jakarta jangan center mania. Ini bisa mengurangi beban Ibu Kota."

Beban Jakarta harus dikurangi. Perkembangannya ke arah polycentric development. Pusat pertumbuhan dan pusat kegiatan masyarakat disebarkan. Kota Semarang dan Undip memberikan contoh nyata, misalnya dengan memindahkan pusat Kampus Undip dari Pleburan di dekat Simpang Lima, pusat Kota Semarang, ke Tembalang, di arah luar kota. Saat ini Undip dan Tembalang, lanjut mantan Rektor Undip itu, menjadi pusat pertumbuhan baru di sisi selatan Kota Semarang. Jakarta, dengan dukungan daerah sekitarnya, bisa mengembangkan pusat pertumbuhan dan kegiatan baru masyarakatnya itu

Mendidik dengan cinta

Selain menggeluti bidang perencanaan kota, Eko tidak pernah bisa dilepaskan dari sosok guru. Ia adalah Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Fakultas Teknik Undip sejak tahun 1990, dan baru pensiun pada 9 Juni lalu setelah berusia 70 tahun. Namun, ia tetap akan mengajar. Bahkan, sejak tahun lalu diangkat pula sebagai guru besar di Universitas Trisakti, Jakarta. Ia pun melibatkan diri dalam sejumlah organisasi keilmuan dan pengetahuan, selain tetap bergiat dalam berpuisi dan aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya.

"Pendidik yang baik adalah yang bisa mengembangkan diri. Seperti dokter. Umumnya dosen Fakultas Kedokteran adalah dokter yang juga praktik. Ini menguntungkan mahasiswanya karena tak hanya mendapatkan ilmu dari teori, tetapi juga praktik. Jangan jadi dosen, hanya bicara, tetapi tidak melakukan apa-apa. Cuma teori. Ilmu saja tidak cukup. Ilmu dan profesional, itulah kaki kiri dan kaki kanan," jelas Eko. Di tengah berbagai kesibukannya, tahun 2012 ia masih bersedia menjadi Ketua Tim Ahli Perencanaan Pusat Dokumentasi Mahkamah Konstitusi.

Eko menambahkan, walaupun saat ini sudah menjadi guru besar emeritus, ia masih tetap mengajar dan mengembangkan diri. Salah satu kunci bisa terus mengembangkan diri adalah tidak kikir kepada mahasiswa. Tidak kikir membagikan ilmu dan juga tidak kikir memberikan nilai.

"Dosen jangan kikir memberikan nilai. Dengan demikian, mahasiswa yang sudah lulus akan mengingat dan membantu kita mengembangkan diri dan mengembangkan ilmu," ucap peraih lebih dari 23 penghargaan dari lembaga di dalam dan luar negeri itu.

Tidak kikir memberikan nilai, bukan berarti menurunkan standar dan kualitas pengajaran. Sikap ini merupakan bagian dari cinta yang dikembangkan Eko di kampus, saat menjadi dosen dan Rektor Undip. Mahasiswa yang mendapatkan limpahan cinta, perhatian dari dosennya pasti dapat belajar dengan baik. Dapat menyerap setiap ajaran yang disampaikan di kampus.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan empat pilar dalam membangun kampus dan mendidik mahasiswa, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. "Kiranya perlu ditambah satu pilar lagi, menjadi lima pilar, yaitu learning to love each other. Kampus mesti dibangun dengan prinsip persaudaraan ilmiah dan profesional, dengan landasan cinta," tegas Eko, dalam pidato purnabakti sebagai pendidik di Undip, Semarang. Love will lead...

—————————————————————————
Prof Ir H Eko Budihardjo, MSc
♦ Tempat/tanggal lahir: Purbalingga, Jawa Tengah, 9 Juni 1944
♦ Pendidikan (antara lain):
- Sarjana Arsitektur Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta (1969)
- Master of Science in Town Planning, University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, Inggris (1978)
- Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kursus Reguler Angkatan XXVII
 
♦ Jabatan (antara lain):
- Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Fakultas Teknik Undip, Semarang (sejak  1990)
- Rektor Undip (1998-2006)
- Ketua Dewan Pengarah Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang (2014)
- Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah (2011)
- Ketua Dewan Pakar Masyarakat Agrobisnis dan Agroindustri Indonesia (1999-sekarang)
- Direktur Eksekutif Lembaga Riset Konsultasi dan Pengembangan (1996-sekarang)
- Presiden Rotary Club Semarang (1993-1994)
- Anggota Dewan Penyantun Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Tengah (2000-sekarang)
- Anggota Majelis Kode Etik Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Pusat
- Penasihat Wayang Orang Ngesti Pandowo, Semarang (1998-2006)
 
♦ Istri: Dr Ir Sudanti Budihardjo MS
- Anak: Dr Holy Ametati, Sp KK, Aretha Aprilia, ST MSc
- Memiliki tiga cucu

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/06/26/1653510/Eko.Budihardjo.Kota.Ibarat.Jasad.Hidup.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger