Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Juli 2014

Fajar Keadaban Baru (Masdar Hilmy)

"Democracy is a device that ensures we shall be governed no better than we deserve" (George Bernard Shaw, sebagaimana dikutip Xavier de Souza Briggs, 2008: 27).

Untuk ketiga kalinya, rahim demokrasi kita telah berhasil melahirkan pasangan capres-cawapres yang dipilih secara langsung oleh rakyat, setelah Pemilu 2004 dan 2009.

Sekalipun sama-sama diselenggarakan secara langsung, aman, dan damai, pilpres kali ini terasa lebih spesial di tengah keraguan sebagian kalangan atas kemampuan sipil memimpin bangsa yang sangat besar ini. Sebagaimana diketahui, Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih adalah pasangan sipil pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Dua pemilu sebelumnya, figur presiden belum bisa dilepaskan dari bayang-bayang militer.

Tidak seperti di tingkat akar rumput, polarisasi dan fragmentasi justru sangat terasa di tingkat elite. Oleh karena itu, ada baiknya para elite menahan diri untuk tak memperkeruh suasana. Biarlah segala sesuatu terkait sengketa pilpres diselesaikan secara elegan melalui jalur hukum. Pranata demokrasi yang telah berjasa mengantarkan bangsa ini menuju fajar ke(ber)adaban baru terlalu agung untuk dikotori oleh tangan-tangan jahil. Mari kita menghimpun energi untuk menyongsong hari esok yang penuh harapan.

Kotak pandora

Tak dapat disangkal, bangsa ini mengidap komplikasi persoalan yang begitu rumit, akut, dan bertali-temali. Ibarat kotak pandora, berbagai persoalan tersebut menuntut presiden terpilih untuk mampu membukanya (baca: menyelesaikannya). Dengan demikian, kunci kesuksesan bangsa ini mengatasi berbagai persoalan tersebut persis terletak di sini: sejauh mana Jokowi-JK mampu menghimpun segenap energi bangsa untuk selanjutnya mengorkestrasikannya sebagai sebuah modalitas menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.

Dalam konteks itu, peran kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode tak bisa dinafikan. Apresiasi dan kredit layak diberikan kepada SBY untuk melakukan kerja-kerja ground breaking dalam rangka memuluskan jalan menuju tradisi ke(ber)adaban baru. Kekurangan dan kelemahan pasti ada. Betapapun, SBY berhasil membawa bangsa ini pada satu fase transisi yang cukup krusial. Tinggal bagaimana Jokowi-JK meneruskan dan mengembangkannya untuk memastikan perjalanan bangsa ini on the right track di jalan ke(ber)adaban.

Terhadap berbagai persoalan tersebut, saya yakin SBY bukan tidak tahu sama sekali; dia menyadari jika pembukaan kotak pandora tersebut membutuhkan banyak pengorbanan, integritas, dan totalitas komitmen segenap anak bangsa. Berbagai persoalan yang membelit bangsa ini telah sedemikian endemik, dari hulu hingga hilir.

Di tingkat hulu, bangsa ini mengidap penyakit mental block yang menghalangi bangsa ini menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama. Jalan revolusi mental sebagaimana ditawarkan Jokowi menemukan relevansinya di sini.

Di tingkat hilir, berbagai persoalan yang tak kalah kompleksnya telah menghadang, mulai dari misterisunya pengelolaan sumber daya alam, tidak transparannya perjanjian kontrak karya multinasional, makin melebarnya rasio gini akibat distribusi ekonomi yang tidak merata, produktivitas ekonomi yang belum mengangkat harkat dan martabat bangsa, rendahnya kemauan mengapresiasi kompetensi anak-anak bangsa yang menyebabkan fenomena brain drain, hingga akutnya persoalan korupsi yang menggerogoti marwah bangsa.

Dalam konteks ini, penyusunan komposisi kabinet yang mempertimbangkan prinsip meritokrasi merupakan salah satu langkah membuka kotak pandora tersebut. Sudah seharusnya semboyan the right man in the right place menjadi konsideran utama dalam penyusunan kabinet. Paradigma "siapa mendapatkan apa" sama sekali tidak relevan dalam penyusunan kabinet. Parpol harus menyadari bahwa zaman sudah berubah. Justru inilah saatnya mereka menginisiasi budaya politik baru yang mengedepankan semangat good and clean governance.

Perjalanan sejumlah menteri yang tersandung persoalan hukum akibat korupsi harus jadi pelajaran berharga bagi perubahan paradigmatik di tingkat elite. Ini menjadi bukti paling absah bahwa pendasaran koalisi parpol pada prinsip bagi-bagi kekuasaan sudah ketinggalan zaman. Buat apa parpol memaksakan diri bagi-bagi kekuasaan jika mereka tidak memiliki kesiapan dan kesanggupan mengelola lembaga secara akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.

"Problem solving"
Dalam konteks urgensi membuka kotak pandora di atas, tiada pilihan lain bagi presiden terpilih untuk menempatkan seluruh proses politik-demokrasi sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, demokrasi tiada lain adalah alat untuk menjamin bahwa rakyat diperlakukan secara layak. Satu paket dalam ungkapan ini, juga kelayakan demokrasi menyelesaikan berbagai soal yang ada.

Menurut de Souza Briggs (Democracy as Problem Solving, 2008), ada tiga tahap pemahaman atas demokrasi: medan perebutan kuasa, proses deliberasi, dan demokrasi sebagai problem solving. Ketiga tahapan itu memang tak mesti dipahami terpisah, fragmentatif, atau sepotong-sepotong. Pemahaman yang utuh atas demokrasi jelas mensyaratkan ketiganya sebagai sebuah interrelasi tunggal. Artinya, jangan sampai bangsa ini memahami perhelatan politik-demokrasi hanya sebatas perebutan kuasa atau proses deliberasi publik. Lebih dari itu, politik-demokrasi adalah juga kemauan dan kemampuan menyelesaikan seluruh persoalan bangsa ini. 

Jika—dan hanya jika—bangsa ini mampu menempatkan demokrasi sebagai interrelasi yang utuh antara ketiga tahap di atas, jurang pemisah antara hiruk pikuk politik keseharian di satu sisi, dan berbagai persoalan bangsa di sisi lain, dapat teratasi dengan baik. Inilah fase ketika bangsa ini telah sampai pada tahap civility, jalan ke(ber)adaban baru.

Meski demikian, siapa pun tak bisa menampik kenyataan bahwa demokrasi di negeri ini baru sebatas perebutan kuasa dan proses deliberasi publik, belum sepenuhnya penyelesaian masalah. Dalam konteks inilah, di pundak presiden-wakil presiden terpilih, Jokowi-JK, terpikul harapan segenap warga bangsa untuk memerankan diri mereka sebagai kunci pembuka kotak pandora. Mampukah? Kita tunggu!

Masdar Hilmy
Pemikir Sosial Kemasyarakatan;
Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008096337
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Elite yang Guru (Radhar Panca Dahana)

Ada satu hal esensial, dalam hemat penulis, pada sistem pendidikan nasional kita yang bermasalah, sekurangnya karena ia dianggap tidak cukup berhasil menciptakan murid atau manusia dengan integritas (kultural) sebagaimana yang kita idamkan.

Hal itu berawal dari dasar adab dan filosofis sistem pendidikan itu yang diacu pada kebudayaan yang bukan milik kita sendiri, tapi pada kebudayaan kontinental/daratan, khususnya budaya oksidental. Acuan tersebut tentu saja memiliki argumentasi—sekurangnya—historis, sama sekali tidak dibalut prasangka atau spekulasi konspiratif seperti sebagian kalangan menuduhnya.

Tertanam kuatnya kultur kontinental dalam adab hidup kita, termasuk dalam sistem pendidikan, terjadi bukan hanya dalam 200 tahun belakangan, tapi bahkan sejak 2000 tahun lebih lalu, sejak bangsa Arya-India melakukan intervensi bahkan kolonialisme kulturalnya ke lebih dari setengah bagian negeri ini.

Sebagaimana budayanya yang melihat manusia serta realitas komunalnya dalam sebuah struktur yang meruncing ke atas (piramida, sebagaimana juga realitas religiusnya yang memusat di puncak gunung, dan lain-lain), pendidikan kontinental pun dibentuk dalam pola struktural yang sama. Tidak hanya secara organisatoris dan administratif, tapi juga dalam praksisnya, di mana sebuah kelas dibangun oleh dua posisi: guru di satu pihak sebagai sentral atau puncak relasi dan murid-murid sebagai subordinat yang ada di bawah atau di hadapannya.

Dalam sistem ini, otoritas mutlak— tidak hanya secara keilmuan, tapi juga hingga moral, bahkan spiritual—berada pada puncak struktur/kuasa: guru (yang juga berpola piramidal hingga ke tingkat pejabat tertingginya, seperti menteri). Di sini murid-murid berposisi sebagai obyek dari kuasa-kuasa di atas. Apa yang terjadi dalam kelas pun, umumnya, adalah relasi yang bersifat monofonik, satu arah, di mana sang guru memainkan kemampuan monolognya ketimbang dialog. Murid bertanya dalam perkenan sang guru.

Di sinilah masalah besar adanya. Ketika pola pendidikan yang struktural dan piramidal itu ternyata melulu menghasilkan manusia-manusia yang berkembang dalam terali atau rambu-rambu intelektual, moral, hingga fisikal yang ditetapkan oleh sang "penguasa". Mau tidak mau, lulusan yang dihasilkan sebenarnya tidak lebih dari robot-robot ideologis, yang sekujur hidupnya hanya mengafirmasi produk- produk ideologis dari sistem atau penguasa sistem tersebut.

Dunia kognitif di sini berperan sentral. Diktat dan hukum penguasa berlaku keras untuk membentuk obyek/muridnya tidak menyimpang dari internalisasi nilai (ideologis) yang ditanamkan sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga S-3.

Sebagai contoh, pendidikan di Indonesia sejak dini hingga S-1 (sarjana) berakhir pada sebuah kerja intelektual yang semata hanya menyusun dasar-dasar logis bagaimana sebuah teori (yang notabene produk kontinental/oksidental) dapat diimplementasikan dalam hidup praksis masyarakat lokal. Dan apa yang terjadi? Semua calon sarjana melakukan semacam utak-atik gathuk agar ia bisa lulus uji dengan "membuktikan" teori tersebut sungguh dapat diimplementasikan. Tidak peduli bias maupun deviasinya. Secara tragis, semangat dan cara berpikir ini pula yang digunakan institusi pendidikannya (universitas, akademi, institut, dan lain-lain) saat menerima "order" atau proyek penelitian, entah dari swasta, pemerintah, atau lembaga asing.

Dalam sistem semacam ini, diktat dan hukum menjadi acuan utama berikut reward dan sanksi moral, akademik, hingga politiknya. Bagaimana hal itu menciptakan kerusakan bahkan kekacauan dalam terapannya di kehidupan bernegara dan berbangsa, dalam proses—yang kita sebut—developmentalis, teori dan kultur kontinental tidak peduli. Sistem pendidikan tidak memiliki metodenya. Pembiaran akan ekses-ekses yang kemudian menjadi fallacies itu jadi semata urusan internal kita. Orangtua, guru mengaji, masyarakat, atau polisi (pemerintah)-lah yang kemudian diminta mengambil alih tanggung jawab itu. Malangnya, lembaga-lembaga tradisional itu ternyata melempem bahkan pecundang, lebih jauh juga tinggal sebagai korban sebagaimana produk-produk pendidikan umumnya.

Pengajaran maritim

Pola atau sistem pendidikan daratan di atas berbeda hampir secara diametral dengan apa yang ber/dikembangkan oleh masyarakat berlatar budaya bahari (kelautan). Dalam sistem beradab kelautan, guru dan murid tidak memiliki jarak struktural berbasis kelas, kedudukan, atau oposisi binarik (obyek-subyek, patron-klien, dominan-subordinat, dan lain-lain). Seorang guru, tidak sebagaimana definisi sistem pendidikan kontinental, tidak hanya menjadi acuan (intelektual, moral, spiritual saja), tapi juga menjadi contoh bagaimana semua acuan itu diimplementasikan dalam disiplin keseharian.

Dalam sistem perguruan atau pesantren maritim, seorang murid atau santri itu nyantri atau ngenger mengikuti guru, dalam acuan dan perilaku. Mungkin konsep guru sebagai abreviasi unik digugu dan ditiru menjadi terminolog yang tepat menggambarkan konsep atau sistem itu. Seorang guru tidak berarti apa-apa bila apa pun yang ia ajarkan (sebagai acuan yang digugu) tidak terimplementasi dalam praksis sehari-hari (yang pantas ditiru).

Dalam filosofi orang Jawa, dikenal sebuah frase terkenal dari Mangkunegara IV yang menyatakan, "ngelmu kuwi kalakone nganti kalaku". Sebuah ilmu (pengetahuan) tidaklah berarti sama sekali, bahkan dapat dikatakan belum menjadi ilmu, ketika ia tidak terterapkan dalam perilaku atau perbuatan (kalaku). Ini berlaku pada siapa saja yang belajar atau mengejar ilmu. Dan menjadi imperasi keras bagi seorang guru. Karenanya, seorang guru yang bias, deviatif, selingkuh, dan korup sesungguhnya sudah kehilangan otoritas atau legitimasinya sebagai guru. Karena ia sudah tidak berilmu, tidak ulama.

Karena itu, dalam pola atau tradisi transmisi nilai dan ilmu seperti ini, sesungguhnya proses yang terjadi di antara guru dan murid tidak mungkin berlangsung searah. Dalam proses implementasi nilai tadi, seorang guru pun harus belajar pada sang murid dalam soal menghadapi dunia/realitas/problemasi hidup kontemporernya. Dengan itu, sang guru selalu mengaktualisasi dirinya dengan realitas mutakhir yang di-"ajar"-kan muridnya.

Proses ajar-mengajar ini tampaknya kurang bisa diakomodasi oleh istilah "pendidikan" (education) yang berkonotasi searah, tunggal, monolog. Menurut penulis, istilah yang lebih cocok adalah "pengajaran", di mana konotasi adanya komunikasi dua arah dalam proses ajar-mengajar terjadi. Sulit menemukan padanannya dalam bahasa asing. Dengan akar kata Latinnya, mungkin istilah ini cocok dengan kata edification.

Dalam kamus Merriam-Webster dan Oxford, istilah ini bermakna "anjuran untuk meningkatkan kualitas seseorang, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual". Akar katanya, edify, yang berasal dari bahasa Perancis kuno, edifier, dari kata Latin aedificare, bermakna asal "membangun", "mendirikan bangunan", atau "memperkuat" dalam dimensi moral dan spiritual. Di dalam istilah edification ini, menurut kamus Oxford, sudah termaktub makna-makna kata lain, termasuk instruksi, mengajar, tuitisi, persekolahan, pendidikan, pencerahan, pelatihan, pedagogi, informasi, dan sebagainya.

Mungkin akan baik, karenanya, bila sebuah institusi, katakanlah sebuah kementerian, menggunakan istilah "pengajaran" ketimbang bentuk tradisionalnya, "pendidikan". Selain karena alasan-alasan di atas, terma "pengajaran" juga mengindikasikan proses pembentukan karakter yang lebih utuh/integratif, di mana pelakunya—subyek maupun obyeknya—seluruh aparatus kebudayaan dan bangsa ini. Bukan sebuah golongan yang dianggap profesional saja, guru dalam hal ini.

Elite yang maskulin

Dengan pengertian yang terurai di atas, kita pun dapat membaca lebih baik realitas sosial kita di masa mutakhir yang sudah ketat diselimuti adab global yang notabene oksidental ini. Pola hubungan antara manusia dan masyarakat kita yang saat ini juga struktural-piramidal ditandai oleh sistem atau tradisi—yang mengikuti pendapat para ahli ilmu sosial oksidental—paternalistik atau patron-client. Yakni pola hubungan atau relasional yang ditandai oleh posisi atau kedudukan mereka yang ada di kelas "atas", baik secara feodal, kapital, intelektual, dan sebagainya, menjadi acuan dan panutan dari mereka yang ada di kelas bawahnya.

Mengacu pada arti terminologis (pater, papa, patron) yang mengacu pada jenis kelamin tertentu, maskulin, dapat kita pahami bahwa relasi ini memang relasi yang menempatkan dominasi lelaki (maskulin) di atas jenis kelamin lain. Bahwa adab oksidental adalah adab yang macho tidak dapat ditolak oleh semua bukti kultural, historis, antropologis, bahkan arkeologis. Kita semua jadi saksi dan bukti- buktinya menyebar tak hanya dalam kehidupan agama, politik, hukum, ekonomi, akademik, tapi juga kesenian dan olahraga. Dalam sejarah kolonialisme negeri ini yang berusia dua milenia, tradisi atau sistem hubungan sosial di atas memang seakan sudah berakar cukup dalam dalam kehidupan bermasyarakat hingga bernegara kita. Kedudukan kelas atas, penguasa, atau elite dalam istilah generiknya memang menjadi penentu bagi keberlangsungan sebuah masyarakat dan adabnya.

Perilaku menyimpang dan koruptif, misalnya, yang masa kini menjadi gejala kolektif ketika ia dilakukan secara masif, mendapatkan legitimasi moral, kultural, hingga spiritualnya dari pola relasi di atas. Bila pihak elite (atas) melakukannya, kenapa kami (yang di bawah) tidak boleh. Maka saling sandera moral pun terjadi di antara kelas-kelas masyarakat yang ada (baca: tercipta) dalam sistem ini.

Karena itu, bila kita hendak kembali pada jati diri kultural kita yang berbasis pada adab kelautan/bahari, maka sang penguasa, orang kaya, atau elite memiliki imperasi untuk menjadi anutan dan contoh dalam memuliakan manusia, dirinya sendiri. Menjadi guru kebudayaan bagi masyarakat luas, rakyat banyak yang menjadi konstituen atau pemberi mandat. Elite, jika mereka menganggap dirinya "lebih", dalam soal ilmu, kematangan emosional maupun spiritual, sudah selayaknya menunjukkan bagaimana ilmu (kehidupan) itu menjadi praksis kehidupannya sehari (kalaku).

Apakah itu mungkin terjadi? Bukan pada siapa-siapa jawaban untuk itu harus diberikan, kecuali elite itu sendiri.

Radhar Panca Dahana
Budayawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007799002
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Belajar (Iwan Pranoto)

Ada sekolah, tetapi belum ada belajar. Ada pengajaran, tetapi belum ada belajar. Ada belajar demi ujian dan untuk mengejar skor, tetapi belum ada belajar karena rasa ingin tahu. Ada belajar karena dipaksa, tetapi belum ada belajar berlandaskan hasrat dari dalam diri sendiri.
Ada pemaksaan belajar, tetapi belum ada sukacita belajar. Ada kewajiban belajar, tetapi belum ada penghargaan hak belajar. Ada pemaksaan belajar dengan ancaman, tetapi belum ada kasmaran belajar.

Almarhum Profesor Achmad Arifin kerap mengingatkan para muridnya, "Kita pandai bukan karena diajar, akan tetapi karena belajar."

Pernyataan itu adalah sebuah penyadaran bahwa tidak ada gunanya seseorang mengikuti pengajaran jika yang bersangkutan tak belajar. Pandai tak pernah diperoleh melalui jalan pintas, tetapi harus melalui proses belajar berkelanjutan, yang didorong motivasi dari dalam diri. Tentunya kita semua mengangankan pemahaman tentang belajar ini terwujud melalui rangkaian kebijakan pendidikan nasional di pemerintahan baru demi anak- anak Sang Republik.

Sikap
Kata belajar bukan sebuah kata sepele. Kata ini merupakan sebuah kata universal yang mengandung unsur kearifan luhur.

Kata belajar tentu umumnya dikenakan pada pelajar, tetapi sejatinya mutlak pula bagi pendidik. Guru tentunya perlu belajar sebelum ia membelajarkan keilmuannya. Guru memiliki peran sebagai insan yang meneladankan sikap belajar sepanjang hayat.

Lebih dari itu, sesungguhnya kata belajar alami bagi semua manusia, entah tua ataupun muda. Beberapa futurolog atau pakar tentang masa depan sudah menyatakan bahwa belajar adalah pekerjaan utama manusia di masa sekarang dan mendatang. Tidakkah kita sudah rasakan sekarang di dunia kerja?

Selain belajar sebagai kegiatan utama dalam keilmuan, belajar juga menyiratkan sikap yang manusiawi. Kata belajar senantiasa mengimbas suatu suasana kebersahajaan bagi subyeknya.

Seseorang yang belajar artinya mengakui bahwa dirinya belum tahu, mengakui keterbatasan pemahamannya, dan mengakui bahwa dirinya masih belum mencapai kebenaran mutlak. Kebersahajaan ini sesungguhnya juga penting dalam budaya ilmiah.

Jika persekolahan dapat mengembalikan belajar sebagai jiwa kegiatannya, budaya kebersahajaan dapat diharapkan tumbuh di kelas, sekolah, dan akhirnya menyebar ke masyarakat luas.

Sekolah bukan saja sebagai tempat penyebaran pengetahuan ilmiah, tetapi—lebih dari itu—sekolah haruslah  menjadi sumber inspirasi pengembangan budaya masyarakat sekitarnya. Iklim kebersahajaan yang berkembang di masyarakat akan meningkatkan harmoni sosial sejati berdasarkan intelektualitas, bukan berlandaskan materi.

Budaya kebersahajaan ini secara alami menumbuhkan sikap mau mendengar pendapat orang lain karena ingin belajar dari orang lain. Belajar dapat dari siapa saja dan kapan saja.

Sebaliknya, perasaan takabur, perasaan tahu segalanya, dan perasaan paling benar akan mengimbas sikap mudah menyesatkan orang lain, menganggap orang lain salah jika tak sama dengan pendapatnya. Perasaan takabur ini memiliki saudara kembar bernama kenaifan, yakni melihat dunia hanya hitam-putih. Jika tidak hitam, pasti putih. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan perawatan Sang Republik.

Teori otak
Sekarang, bagaimana membangkitkan motivasi intrinsik atau hasrat diri untuk belajar? Menurut teori otak, manusia memiliki tiga bagian otak yang masing-masing menuntut pemuasan yang berbeda-beda. Otak depan (forebrain) menuntut kegiatan yang baru. Otak tengah (midbrain) menuntut kegiatan yang menantang. Otak belakang (hindbrain) menuntut kegiatan yang aman. Artinya, kita, manusia, akan berhasrat belajar jika kegiatannya baru (tidak membosankan), menantang (sedikit di atas kemampuan kita), dan aman (tidak mengancam atau mempermalukan kita jika gagal).

Oleh karena itu, pendidik di era sekarang perlu mereka-cipta kegiatannya agar selalu baru, menantang, dan aman. Kegiatan yang usang dan penuh pengulangan kerap membunuh motivasi karena akan melahirkan kebosanan. Apalagi kerap kegiatannya terlalu sulit dibandingkan kemampuannya sehingga membuat pelajar frustrasi atau sebaliknya terlalu mudah sehingga pelajar bosan. Ini yang dikenal dengan sebutan Drill and Kill. Teori belajar modern ingin mengatasi ini dengan pemahaman baru di ilmu saraf tentang bagaimana manusia belajar. Harapannya, dari Drill and Kill, persekolahan dan pendidikan kita akan membangun suasana Thrill and Will, atau menantang dan berhasrat.

Teknologi melalui langkah gamification telah berperan menggeser kekeliruan pandangan belajar sebagai beban jadi sebuah permainan. Pandangan kuno bahwa belajar adalah siksaan, makanya harus dipaksa, digantikan dengan belajar sebagai permainan mengasyikkan, menantang, tanpa perlu takut dihakimi dan disalahkan.

Kita selesaikan permasalahan primitif bahwa belajar harus dipaksa dengan teknologi modern. Hanya dengan benak lebih cerdas daripada benak pembuat masalah bahwa belajar adalah beban itu kita dapat benahi pendidikan dan kebudayaan kita.

Dengan budaya belajar yang merasuki warga, nasion ini akan merdeka dan berdikari. Jika anak-anak kita secara naluri senang mengerjakan teka-teki, puzzle, sudoku, sampai dirinya terhanyut menyatu dalam permainannya, bukan hal mustahil membuat anak juga akan terhanyut dengan kegiatan belajar matematika atau pelajaran lain.

Kita semua tentunya ingin anak-anak kita mengatakan, "Aku ingin mengerjakan PR. Aku ingin belajar." Bermain dalam proses belajar adalah urusan serius, bukan main-main. Dengan jalan itu, kita berharap anak-anak kita menjadi kasmaran belajar, yang dampaknya tentu akan membuat mereka pandai.

Iwan Pranoto
Guru Besar ITB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007205349
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK: Spekulasi Perang Dingin (Kompas)

Spekulasi tentang kemungkinan kembalinya era Perang Dingin merebak luas setelah beredar isu Rusia mengadakan lagi uji coba rudal nuklir jarak sedang.
Ketegangan digambarkan meningkat cepat sejak awal pekan ini ketika pejabat Amerika Serikat mengungkapkan, uji coba rudal Rusia melanggar perjanjian tahun 1987 tentang pengawasan dan perlucutan senjata. Tidak dirinci kapan uji coba dilakukan, tetapi AS menganggap percobaan yang dilakukan Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet sebagai masalah sangat serius. Sejauh ini Rusia belum memberikan reaksi.

Sekadar diingat kembali, Perjanjian Rudal Nuklir Jarak Menengah (INF) tahun 1987 antara lain melarang memiliki, memproduksi, dan menguji coba jenis rudal nuklir dengan jangkauan tembak 500-5.500 kilometer. Perjanjian bersejarah yang ditandatangani Presiden AS Ronald Reagan dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev waktu itu juga bertujuan memunahkan rudal balistik konvensional.

Sekalipun Uni Soviet sudah dibubarkan akhir tahun 1990-an, INF tetap berlaku untuk AS dan Rusia beserta 11 negara bekas pecahan Uni Soviet. Kesepakatan 27 tahun lalu itu membantu meredakan ketegangan global, yang ikut melapangkan jalan bagi berakhirnya Perang Dingin. AS sudah menyatakan keprihatinan atas percobaan rudal nuklir Rusia, bahkan ingin membahasnya secara terbuka sebagai persoalan serius.

Suka atau tidak, laporan AS tentang uji coba rudal nuklir Rusia telah menambah ketegangan hubungan kedua negara atas pergolakan politik di Ukraina. AS dan negara-negara Barat lainnya menuduh Rusia mendukung gerakan separatis di Ukraina timur. Gerakan separatis itu semakin mendapat sorotan dunia karena menembakkan rudal yang menjatuhkan pesawat MH17 milik Malaysia, menewaskan seluruh 298 penumpang dan awak pesawat.

Ketegangan Rusia-AS dalam krisis politik Ukraina dipandang sebagai sisa-sisa hubungan yang penuh permusuhan era Perang Dingin tahun 1947-1991. Seusai Perang Dingin, hubungan kedua negara pada permukaan terkesan membaik dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan. Namun, dalam lapisan lebih dalam, hubungan AS-Rusia tetap menyimpan sisa persoalan Perang Dingin. Dalam ekspresinya, AS dan negara-negara Barat lainnya terus berusaha membatasi ruang pengaruh Rusia di panggung politik dan ekonomi global.

Rusia sangat terusik ketika Barat terus berupaya menanam pengaruh di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Upaya Barat itu ditantang keras oleh Rusia, seperti terlihat dalam kasus Ukraina, meski harus menghadapi sanksi keras. Segera terbayang, upaya pengucilan Rusia secara berlebihan akan menjadi kontraproduktif. Bukan tidak mungkin Rusia akan menjadi bangsa agresif untuk melampiaskan berbagai kejengkelan dan kemarahannya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008102025
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Tentang Persaudaraan Kebangsaan (Kompas)

Menarik apa yang kita dengar dari khotbah Idul Fitri Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Masykuri Abdillah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (28/7).
Ada dua hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, besarnya makna Idul Fitri untuk menguatkan etika sosial yang berlandaskan pada persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Yang kedua, prinsip persaudaraan yang perlu dikumandangkan, baik dalam bentuk ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islami), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan nasional), maupun ukhuwah insaniah (persaudaraan kemanusiaan).

Khatib lain menyebutkan, ibadah puasa Ramadhan yang sukses tidak saja berhasil mengatasi tantangan yang berlangsung selama bulan Ramadhan, tetapi juga istikamah atau konsisten melaksanakannya di hari selanjutnya.

Dengan demikian, kedua makna yang disinggung Guru Besar Masykuri di atas akan berarti lebih besar jika berhasil kita terapkan di hari ke depan, dan tampaknya memang etika sosial berlandaskan persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi itulah yang kita butuhkan untuk hari-hari mendatang. Selama ini, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yang toleran. Namun, di era Reformasi dan demokrasi, justru muncul kasus yang menunjukkan sikap intoleran. Dalam kaitan inilah kita menggarisbawahi pentingnya pengembangan ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan nasional.

Yang terakhir ini tidak saja terkait dengan situasi dan kondisi setelah pemilihan presiden, tetapi juga dalam kaitan perkembangan kehidupan berbangsa beberapa tahun terakhir. Dalam kaitan ini, kita perlu mengingatkan kembali justru ketika kita tengah menyongsong kehadiran pemimpin baru. Mengingat masyarakat Indonesia yang masih paternalistik, besarlah peranan pemimpin, termasuk dalam hal pengembangan nation-building. Boleh jadi, akibat desakan menanggulangi pelbagai masalah ekonomi, pemimpin acap lengah terhadap urgensi masalah non-ekonomi yang lebih bernilai kultural-sosial. Namun, yang terakhir ini pada kenyataannya tidak bisa kita pandang sebelah mata. Pemilu presiden yang baru berlalu juga merupakan satu ujian tersendiri. Di sana-sini keretakan masih dapat kita amati dan rasakan. Dalam kaitan inilah kita melihat relevansi apa yang telah kita uraikan di atas, khususnya yang terkait dengan ukhuwah wathaniyah yang ditandai dengan semangat kedamaian dan kerukunan.

Relevansi dan aktualisasi pesan khotbah ini semakin kita rasakan jika mengingat bahwa tidak lama lagi kita akan menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN, yang sebenarnya juga berarti globalisasi dalam skala mini.

Apa yang di masa lalu sering didengungkan dalam jargon Indonesia Incorporated bukannya sudah ketinggalan zaman. Namun, fakta bahwa kita tak kunjung bisa membangun kekuatan seperti itu boleh jadi karena ukhuwah wathaniyah kita belum maksimal.

Pesan di momen Idul Fitri itu sejatinya esensial untuk perkembangan bangsa kita sekarang dan di masa datang.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008100092
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 30 Juli 2014

Partisipasi Masyarakat di Pemilu (Ramlan Surbakti)

Partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan tahapan pemilu merupakan parameter keempat untuk Pemilu yang Adil dan Berintegritas.

Peran serta warga negara yang telah dewasa secara politik (baca: memiliki hak pilih) dalam proses penyelenggaraan pemilu tak hanya memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara, tetapi juga mengawal agar proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan suara yang diberikan ikut menentukan hasil pemilu.

Sembilan bentuk partisipasi
Setidaknya terdapat sembilan bentuk partisipasi warga negara dalam proses penyelenggaraan tahapan pemilu. Pertama, keterlibatan anggota parpol dalam proses seleksi calon anggota DPR dan DPRD, serta dalam memberikan masukan untuk perumusan visi, misi, dan program parpol dalam pemilu. Untuk pemilu anggota DPR dan DPRD 2014 dapat disimpulkan tak ada parpol peserta pemilu yang melibatkan anggota di akar rumput dalam proses seleksi calon dan penyusunan visi, misi, dan program partai. Yang dilibatkan hanya sekelompok kecil anggota yang jadi elite partai pada kepengurusan partai tingkat nasional dan daerah.

Kedua, keterlibatan para aktivis LSM dalam menyelenggarakan program pendidikan pemilih (voter's education). Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah meningkatkan kecerdasan pemilih dalam menentukan perilaku memilih. Untuk menyongsong Pemilu 2014 boleh dikatakan tak ada LSM yang melaksanakan program pendidikan pemilih secara sistematik. Dua faktor penyebab utama mengapa ormas sipil absen dalam melakukan pendidikan pemilih: tidak tersedia dana karena sejumlah negara donor sudah menghentikan dana hibah untuk pendidikan pemilih, serta para aktivis LSM yang berminat dan berpengalaman dalam bidang ini sudah beralih ke bidang kegiatan lain, sementara pendatang baru kurang berminat.

Ketiga, mendukung secara aktif parpol peserta pemilu atau calon tertentu, baik dengan menjadi peserta kampanye pemilu maupun ikut menyumbang dana kampanye dalam bentuk uang dan/atau barang dan jasa. Jumlah peserta kampanye pemilu anggota DPR dan DPRD, khususnya kampanye dalam bentuk rapat umum, kian berkurang termasuk pada kampanye parpol papan atas. Bahkan, partisipasi perseorangan dalam memberikan dukungan dana kampanye untuk pemilu anggota DPR dan DPRD lebih rendah lagi.

Kepercayaan warga masyarakat kepada parpol memang kian rendah, selain rapat umum masih banyak bentuk kampanye pemilu lain (pemasangan alat peraga, iklan melalui media, pertemuan tatap muka, dan kampanye dari rumah ke rumah), dan sebagian pemilih lebih suka meminta uang daripada memberikan sumbangan dan kampanye kepada partai/calon. Bahkan, sebagian calon lebih memilih kampanye dari rumah ke rumah. Transaksi jual-beli suara justru terjadi pada bentuk kampanye seperti ini. Partisipasi sebagai peserta kampanye rapat umum dan pemberian sumbangan dana kampanye (dana gotong royong) jauh lebih besar pada Pemilu Presiden (Pilpers) 2014 daripada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014.

Keempat, mengajak orang lain mendukung parpol/calon tertentu dan/atau untuk tidak mendukung parpol/calon lain dalam pemilu. Karena hampir semua parpol memiliki ideologi yang sama, yaitu pragmatisme, pemilu lebih banyak merupakan persaingan antarcalon dari segi popularitas daripada persaingan ideologik (baca: persaingan alternatif kebijakan publik yang disusun berdasarkan ideologi/ platform tertentu). Kampanye pihak ketiga, sebagai tim pendukung tak resmi atau bersifat independen, praktis lebih banyak muncul pada pilpres daripada pileg. Partisipasi relawan seperti ini jauh lebih besar pada Pilpres 2014 daripada Pileg 2014.

Kelima, keterlibatan dalam lembaga pemantau pemilu yang mendapat akreditasi dari KPU untuk melakukan pemantauan terhadap satu atau lebih tahapan pemilu di sejumlah daerah pemilihan. Hanya sebagian dari 17 lembaga pemantau yang dapat akreditasi dari KPU yang melaksanakan program pemantauan Pileg 2014. Yakni, LP3ES untuk pemutakhiran daftar pemilih; Perludem untuk proses pemungutan dan penghitungan suara; JPPR untuk proses pemungutan dan penghitungan suara serta partisipasi pemilih difabel; Migrant Care untuk pemilih di luar negeri; Kemitraan untuk kampanye dan dana kampanye, serta proses pemungutan dan penghitungan suara; KIPP untuk proses pemungutan dan penghitungan suara.

Karena keterbatasan sumber daya, pemantauan pemilu tak dilakukan secara menyeluruh, baik dari segi tahapan maupun provinsi. Kemitraan, misalnya, hanya melakukan pemantauan di lima provinsi (Jateng, Sumut, NTB, Papua, dan Maluku). Kontribusi utama lembaga ini menjaga agar pemilu diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Keenam, keterlibatan pemilih dalam melakukan pengawasan atas proses penyelenggaraan tahapan pemilu: mengawasi apakah pemilu diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan. UU Pemilu menentukan tiga pihak yang dapat mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran atas Ketentuan Administrasi Pemilu, Ketentuan Pidana Pemilu, atau Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Ketiga pihak tersebut adalah pemilih terdaftar, pemantau pemilu, dan peserta pemilu.

Pengaduan tentang dugaan pelanggaran pemilu ini disampaikan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas)/Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena Panwas/Bawaslu hanya akan bertindak jika ada pengaduan dari satu atau lebih dari tiga pihak itu dan jumlah kasus yang ditangani Bawaslu seluruh Indonesia mencapai ribuan, dapat diduga cukup banyak yang menyampaikan pengaduan. Belum diketahui seberapa banyak pemilih yang menyampaikan pengaduan tentang dugaan pelanggaran pemilu ke Panwas/Bawaslu.

Ketujuh, ikut memilih atau memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara (voting turnout). Jumlah warga negara yang berhak memilih yang terdaftar sebagai pemilih untuk Pemilu 2014 mengalami peningkatan dari sekitar 85 persen pada Pileg 2009 menjadi 95-97 persen untuk Pileg 2014. Peningkatan ini terjadi karena daftar pemilih tak lagi disamakan dengan daftar penduduk ber-NIK. Partisipasi pemilih terdaftar dalam memberikan suara untuk Pileg 2014 mengalami peningkatan dari 70,29 persen pada Pemilu 2009 menjadi 76,11 persen untuk Pemilu 2014. Peningkatan ini terjadi karena pengaruh para capres yang sudah melakukan kampanye lebih awal.

Jumlah suara sah mengalami peningkatan dari 85,59 persen (jumlah suara tak sah 14,41 persen) pada Pileg 2009 menjadi 90 persen (jumlah suara tak sah 10 persen) untuk Pileg 2014. Meski cara nyoblos sudah menggantikan cara nyontreng, ternyata jumlah suara tak sah masih tinggi.

Peran lembaga survei dan media
Selanjutnya, kedelapan, keterlibatan aktif lembaga survei untuk melakukan exit poll (mengajukan pertanyaan kepada pemilih secara acak segera setelah memberikan suara di TPS) atau penghitungan cepat (quick count) atas hasil pemungutan suara di TPS yang jadi sampel. Pada 9 April 2014 terdapat 11 lembaga yang melakukan penghitungan cepat atas hasil penghitungan suara rata-rata 2.200 TPS dari 546.278 TPS pileg seluruh Indonesia. Antara lain, CSIS-Cyrus, SMRC, Poltracking, Indikator Indonesia, Litbang Kompas, Populi Center, Barometer Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, dan RRI.

Kalau setiap lembaga survei menetapkan 2.200 TPS sebagai sampel dan setiap TPS ada seorang peneliti, ke-11 lembaga survei mengerahkan tak kurang dari 24.200 peneliti lapangan. Ditambah tenaga koordinator di daerah, tenaga operator penerima, pengolah data, dan analisis data pada tingkat nasional, jumlah warga yang berpartisipasi melalui lembaga survei ini mencapai 30.000 orang. Lembaga survei seperti ini mempunyai dua kontribusi: menawarkan prediksi hasil pemilu dan menjadi pembanding bagi hasil pemilu yang ditetapkan KPU.

Kesembilan, keterlibatan pekerja media cetak dan elektronika secara aktif dalam proses peliputan kegiatan pemilu dan/atau penulisan dan penyiaran berita tentang kegiatan pemilu. Mengingat jumlah media cetak (surat kabar, tabloid, majalah) dan elektronik (radio, TV, dan media sosial) yang meliput kegiatan pemilu sekarang ini begitu banyak, baik pada aras nasional maupun lokal, diperkirakan semua jenis media ini mengerahkan jutaan warga negara, baik yang bertugas di lapangan maupun di kantor redaksi dan studio. Kontribusi utama media dalam menyebarluaskan informasi tentang pemilu lebih besar daripada apa yang dilakukan KPU dengan seluruh aparatnya dalam menyebarluaskan informasi tentang pemilu.

Ramlan surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007924413
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tata Kelola Baru Likuiditas Perbankan (Krisna Wijaya)

Kalangan perbankan nasional harus bekerja ekstra keras untuk mengantisipasi berlakunya aturan baru terkait pengelolaan likuiditas perbankan pada 2015.

Secara harfiah, pemahaman likuiditas adalah kemampuan memenuhi kewajiban. Dalam konteks likuiditas perbankan dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi kewajiban utama berupa simpanan masyarakat dan kewajiban likuid lain. Bentuk nyata kepercayaan masyarakat pada bank sebagai lembaga kepercayaan adalah dana masyarakat yang berada di bank setiap saat bisa dicairkan.

Alat pemantau likuiditas perbankan selalu diperbarui. Basel 3 telah membuat indikator terbaru, yaitu liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR). LCR dirumuskan sebagai rasio antara stock of high qua- lity liquid assets (HQLA) dengan net cash outflows (NCO). NSFR rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount of stable funding (RASF).

Inti LCR dan NSFR, bank tak boleh lagi lebih besar pasak daripada tiang dalam konteks likuiditas. Kebutuhan likuiditas perbankan harus bisa dipenuhi dari kemampuan internal dan secara fundamental diyakini akan selalu terjaga baik. Tambal sulam sesaat untuk menjaga likuiditas tak akan mendapat tempat lagi.

Karena LCR dan NSFR akan diberlakukan secara bertahap mulai 2015, dalam rangka penerapannya, perbankan nasional harus bekerja ekstra keras. Memasuki triwulan II-2014, masalah likuiditas perbankan membuat para bankir makin sulit tidur nyenyak. Hal ini tampak jelas dari kian banyaknya bank yang menawarkan suku bunga deposito sampai 11 persen, misalnya.

Sejak era Orde Baru hingga sekarang, perbankan nasional dihadapkan pada "penyakit" bawaan berupa kesenjangan antara sumber dana berupa dana pihak ketiga (DPK) dan penggunaan dana dalam bentuk kredit.

Ada beberapa penyebab mengapa kesenjangan terus terjadi. Pertama, pertumbuhan dana selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan dana rata-rata 16-17 persen per tahun, sementara pertumbuhan kredit selalu di atas 20 persen. Ini salah satu penyebab kelangkaan likuiditas mudah terjadi.

Kedua, sebagian besar dana masyarakat yang disimpan di bank bersifat jangka pendek sementara jangka waktu kredit selalu lebih lama dibandingkan jangka waktu simpanan. Kondisi ini kian terasa ketika isu efisiensi diutamakan, di mana semua bank mencari dana murah seperti tabungan dan giro. Di lain pihak, dorongan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman menyebabkan semua bank berlomba meningkatkan dana murahnya yang bersifat jangka pendek.  

Ketiga, ketersediaan permodalan di Indonesia sangat terbatas. Salah satu penyebabnya, perolehan (yield) yang dianggap kurang menarik. Perolehan (yield)  menempatkan modal di perbankan jauh lebih kecil dibandingkan sektor lain. Kalkulasi bisnis yang rasional jelas menempatkan modal di perbankan menjadi tidak menarik. Bukan suatu yang mengherankan jika akhirnya sumber modal asing lebih banyak masuk. Alasannya tentu karena mereka mempunyai sumber modal yang kuat dan motivasi investasinya selalu untuk kepentingan jangka panjang.

Tambal sulam

Untuk mengatasi "penyakit bawaan" yang terus melekat pada perbankan nasional, selama ini hanya ditempuh langkah tambal sulam. Di saat likuiditas terganggu, perbankan nasional biasanya melupakan efisiensi dengan membeli dana mahal, baik dana masyarakat maupun melalui pinjaman. Dalam posisi sebagai price taker saat membutuhkan likuiditas mendesak, berapa pun harganya, sepanjang dapat menjaga likuiditas akan dilakukan.

Apakah bisa "penyakit" bawaan ini dihilangkan?  Seyogianya harus dan dapat dihilangkan. Alternatif  yang relatif mudah, dengan menyelaraskan sumber dan penggunaan dananya. Artinya, harus ada "kerelaan" bahwa pertumbuhan penggunaan dana berupa kredit tidak selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sumber dananya.

Kalau tetap akan dilanjutkan bahwa pertumbuhan kredit selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan dana masyarakat, harus ada upaya menggalakkan program menabung secara nasional. Gerakan itu tidak hanya  sekadar edukasi produk, tetapi juga harus disertai peningkatan kualitas layanan dan daya tarik. Dalam hal daya tarik, fokus utamanya adalah bagaimana agar pihak yang masih lebih senang menyimpan dana di luar negeri beralih ke perbankan nasional.

Krisna Wijaya
Praktisi dan Pengamat Perbankan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007631463
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Lapar (Acep Iwan Saidi)

"Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam...." Demikian WS Rendra dalam salah satu puisinya, "Doa Orang Lapar".

 Lapar yang dimaksud Rendra bukan hanya biologis, melainkan juga psikologis. Lapar biologis berhubungan dengan kebutuhan. Lapar ini sembuh setelah diobati dengan makan. Sementara lapar psikologis berkaitan dengan keinginan. Ia justru akan mengembangbiakkan lapar yang lain ketika dipenuhi.

 Kehidupan masyarakat di negeri ini, khususnya di dunia politik, terus dilanda kelaparan psikologis: lapar kekuasaan. Fenomena pemilihan presiden yang baru berlangsung  adalah representasi dari hal tersebut. Pilpres tidak hanya memilih presiden, tapi—lebih dari itu—merupakan pertempuran kepentingan berbagai pihak. Di sinilah kemudian terlihat bagaimana orang-orang lapar kekuasaan bergentayangan. Mereka licik dan hitam.

 Hal yang kian memprihatinkan, puncak dari pertempuran kelicikan itu terjadi pada bulan Ramadhan, sebuah momen yang bukan hanya agung dalam perspektif agama, melainkan juga luhur dalam konteks sejarah berbangsa. Sebagaimana dicatat sejarah, 69 tahun lalu, bangsa ini membebaskan diri dari belenggu penjajahan asing, tepat ketika melaksanakan saum Ramadhan.

Mengacu pada ingatan tersebut, fakta hari ini bisa dibilang tragedi. Dari puncak kemenangan tahun 1945 itu, secara substansial kita tak beranjak ke tangga peradaban lebih tinggi untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai (Soekarno), tapi justru menukik ke jurang kenistaan yang nyaris melesapkan adab.

Mentalitas lapar psikologis
Hal itu terjadi karena pembangunan negara-bangsa kian hari bergerak ke lapis luar peradaban, bukan menukik ke lapis dalam demi menebalkan fondasi karakter  yang telah susah payah dibangun para pendiri. Mentalitas berbangsa yang rapuh itu juga berbanding lurus dengan ringkihnya mentalitas beragama. Lihatlah, ibadah puasa pun didefinisikan "menahan lapar dari terbit fajar sampai terbenam matahari". Kita tak pernah bertanya, jika puasa merupakan ibadah yang meniscayakan lapar, mengapa harus ditahan, mengapa bukan justru dinikmati?

 Sikap kita terhadap bulan Ramadhan jadi ambivalen. Ramadhan diagungkan, tetapi seraya digiring menjadi bulan yang terkucil. Ramadhan seolah jadi satu-satunya ruang dan waktu untuk menguras seluruh kemampuan dan kesediaan  beribadah. Kita bertadarus, beramai-ramai memenuhi masjid, bersedekah, dan seterusnya.

Dengan kata lain, Ramadhan dijadikan kesempatan mengejar pahala sebanyak-banyaknya, semacam "aji mumpung" dalam beribadah. "Mumpung Ramadhan sekarang kita masih hidup, siapa tahu tahun depan tak bertemu lagi dengannya," demikian ungkapan yang sering didengar dari para pendakwah.

Tidak ada yang salah dengan tabiat demikian. Masalahnya, tak pernah ada refleksi bahwa hal itu ternyata membentuk pribadi yang pamrih. Kita memahami firman Tuhan yang—melalui sabda Rasulullah—menyatakan, saum adalah satu-satunya ibadah untuk Tuhan (hadis riwayat Bukhari-Muslim). Firman ini jelas mengirim pesan bahwa saum adalah ibadah yang meminta totalitas keikhlasan. Namun, faktanya, pemahaman tersebut tidak diamalkan. Ibadah puasa dilaksanakan untuk diri sendiri. Kita beribadah semata-mata mengejar pahala tinggi yang dijanjikan Tuhan. Setelah Ramadhan usai, kita pun kembali kepada sedia kala: masjid yang sunyi.

Dengan demikian, Ramadhan menjadi semacam panggung pertunjukan ibadah, sedangkan Lebaran adalah layar yang menutupnya, tanda bagi selesainya pementasan. Kita tidak pernah berpikir bahwa saum yang terberat sesungguhnya dimulai setelah Lebaran. Bukankah di bulan lain Tuhan tidak menjanjikan pahala ibadah setinggi pahala di bulan Ramadhan? Namun, kita memang tak pernah bisa beribadah dengan ikhlas, kecuali hanya di dalam ucapan. Akibatnya, ibadah saum yang "aji mumpung" tadi hanya mampu menahan lapar biologis, tidak sampai pada usaha mengendalikan hasrat sehingga kita tetap menjadi manusia dengan mentalitas lapar psikologis.

 Ibadah formalistik yang menciptakan "diri pamrih" di atas ternyata juga merembet ke seluruh bidang kehidupan. Hidup jadi arena kepentingan yang sesungguhnya. Wajar jika dunia politik praktis dipenuhi individu yang hanya mengejar kepentingan diri dan kelompoknya.

Hampir tak ada pihak yang menengarai hal ini. Lembaga pendidikan tak pernah mengajarkan peserta didik jadi manusia yang ikhlas, tetapi cenderung jadi pribadi pemuja sertifikat. Sekolah menjadi mitos tentang jalan lurus menuju kehidupan duniawi yang lebih baik. Perguruan tinggi tak menjadi lembaga nilai, tetapi institusi yang materialistik.

Mengendalikan "lapar"
Maka, menjadi jamak pula jika dari fenonema masyarakat demikian tidak lahir pemimpin dan kepemimpinan yang berkarakter. Jadi pemimpin bukan didasari keikhlasan berbakti kepada negara-bangsa, melainkan demi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Janji mengabdi kepada negeri hanya ada di lirik sebuah lagu wajib yang didendangkan pada setiap upacara. Selebihnya, hanyalah label yang dilekatkan pada pegawai negeri sipil (PNS).

Pertanyaannya, bagaimana situasi tersebut harus diperbaiki? Revolusi mental kiranya bisa jadi sebuah jawaban. Revolusi mental tidak hanya penting, tetapi mendesak, bahkan untuk mentalitas dalam kaitan dengan kehidupan beragama. Sudah terlalu jauh bangsa ini menyimpang dari cita-citanya semula. Revolusi mental sesungguhnya tidak lain adalah ikhtiar keras untuk "kembali ke titik awal" cita-cita berbangsa dan bernegara.

Usaha ini harus dimulai dari pucuk pimpinan nasional, dari kepala negara. Kini, kita tidak butuh pemimpin yang hanya memiliki gagasan besar dengan mulut besar. Di tengah-tengah realitas sosial yang borok dari puncak hingga ke dasar, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang menyediakan tubuhnya untuk pergi ke setiap titik persoalan, masuk ke dalam hutan untuk melihat satu per satu jenis tumbuhan di dalamnya.

Pemimpin demikian adalah sosok yang berani mengubah definisi "menahan lapar" menjadi "menikmati lapar". Ia tak menjadikan lapar sebagai bom waktu yang ditahan, yang sewaktu-waktu bisa meledak menelan apa pun, menjadikannya manusia rakus ketika terbuka kesempatan. Ia harus mampu mengalihkan rasa lapar jadi daya empati bagi rakyat yang dipimpinnya.

Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib adalah referensi yang tepat. "Akan aku perangi kemiskinan," kata Ali. Namun, secara material, Ali sendiri hidup di bawah garis kemiskinan rakyat yang dipimpinnya. Ali rela jadi miskin untuk memperkaya bangsanya. Bagi Ali, kemiskinan adalah kekayaannya. Inilah sosok pemimpin yang memiliki ketegasan sejati, yakni tegas untuk mengendalikan lapar psikologis, hasrat kuasa yang tak berkesudahan di dalam diri.

"Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri," demikian disampaikan Nabi Muhammad SAW ketika Perang Badar selesai. Perang melawan diri sendiri  memang tak pernah berhenti. Karena itu, semoga di akhir Ramadhan ini kita  dapat dua kemenangan: kemenangan atas lapar psikologis sehingga kembali fitri dan kemenangan atas presiden baru yang memberi harapan

Acep Iwan Saidi
Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB;
Pembina Komunitas Kubah Merah

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007980865
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ebola, Prahara Dunia Ketiga (Tri Satya Putri Naipospos)

Biasanya dimulai saat bangun pagi di mana korban merasa tak enak badan. Tak ada nafsu makan, kepala pusing, tenggorokan sakit, demam, dan menggigil.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuh korban tidak beda dengan penyakit lain yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Namun, ternyata penyakit ebola jauh lebih agresif. Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Ebola secara perlahan-lahan mulai menyusup dari hutan ke kota dan menembus batas-batas wilayah negara. Ebola membuat ratusan dokter frustrasi dalam upaya menyelamatkan korban, tetapi masih selalu gagal menaklukkan penyakit ini.

 Dari Maret sampai Juni 2014, pandemi ebola dengan angka kematian 90 persen telah membunuh hampir 400 orang di Liberia, Sierra Leone, dan Guinea. Jumlah ini lebih besar daripada 280 orang meninggal pada 1976, di mana virus ini pertama kali ditemukan di dekat Sungai Ebola, Zaire, sekarang disebut Kongo. 

Krisis ebola memang masih sebatas benua Afrika. Umumnya, yang terserang wabah adalah negara-negara sangat miskin. Dari daftar sepuluh negara termiskin di dunia 2013-2014, Kongo menduduki urutan pertama, Liberia ketiga, Sierra Leone kedelapan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan wabah di ketiga negara itu berpotensi menyebar lewat perjalanan antarnegara. Negara yang berbatasan di Afrika barat lain, seperti Pantai Gading, Mali, Senegal, Guinea-Bissau, harus bersiap diri.    WHO tidak saja mengkhawatirkan penularan lintas batas, tetapi juga lebih lanjut adalah potensi penyebaran internasional. Saat ini, wabah bukan lagi spesifik satu negara, melainkan krisis regional yang perlu aksi tegas pemerintah dan mitranya.

 Ebola bukanlah suatu isu menyangkut teknologi tinggi. Persoalan mendasar menyangkut kebiasaan hidup bersih dan  penanganan pasien yang benar, meliputi isolasi, karantina, dan perlindungan diri, terutama bagi para pekerja kesehatan. Ebola di suatu negara lebih merupakan refleksi kemiskinan dan sistem kesehatan yang terabaikan.

 Sierra Leone telah memperingatkan warganya, menyembunyikan seseorang yang terinfeksi virus ebola merupakan pelanggaran kriminal serius. Tingkat kemiskinan, disinformasi,  pendidikan yang rendah, dan lemahnya persepsi tentang wabah itu sendiri berkontribusi secara cepat terhadap apa yang disebut sebagai prahara dunia ketiga.

 Lewat binatang
Virus ebola merupakan salah satu virus paling berbahaya di dunia. Virus ditularkan lewat kontak dengan darah, cairan tubuh, jaringan hewan, atau manusia yang terinfeksi. Ebola adalah salah satu penyakit zoonosis, yaitu ditularkan dari hewan ke manusia. Kelelawar diidentifikasi sebagai hospes alamiah dari virus ebola dan juga penyakit pernapasan, seperti SARS, MERS, dan hendra/nipah. Empat dari lima subtipe virus ebola asli Afrika. Mekanisme penularan dari kelelawar belum diketahui pasti.

 Penyebab SARS dan MERS adalah sama, yaitu virus korona. Virus SARS bersirkulasi pada binatang hutan, seperti musang yang biasanya dikonsumsi manusia di wilayah selatan Tiongkok. Sementara virus MERS umumnya menginfeksi unta di Timur Tengah dan kemungkinan menulari manusia lewat konsumsi susu unta mentah. Bedanya, MERS menyebar tidak semudah SARS.

 Gorila, simpanse, dan antelop adalah binatang mamalia yang sangat besar kemungkinannya menularkan virus ebola ke manusia. Tradisi atau kebiasaan makan daging satwa liar (bushmeat), terutama di wilayah pedalaman Afrika, menjadi faktor pemicu timbulnya wabah ebola. Daging satwa liar yang berasal dari hewan berkuku, primata, dan rodensia menjadi pilihan sumber protein bagi penduduk miskin di Asia dan Afrika.  

 Lompatan virus
Di abad ke-21 ini, sejumlah penyakit baru muncul dan menyebabkan isu dalam skala global. Kita juga melihat kejadian wabah beberapa tahun terakhir, baik itu SARS, hendra/nipah, MERS, maupun dua virus influenza, H7N9 dan H5N1. Daerah hotspot hampir semua penyakit itu ada di negara-negara Asia dan Afrika.

 Dalam 50 tahun terakhir, kasus lompatan virus dari hewan ke manusia meningkat secara dramatis. Para ahli ekologi penyakit menyatakan ada dua lompatan utama. Satunya berkaitan langsung dengan virus itu sendiri, satunya lagi berkaitan secara umum dengan ekosistem dan manusia. Sejumlah virus tertentu, contohnya rabies, dapat menular antarspesies dengan mudah. Namun, sejumlah virus lain harus bermutasi terlebih dahulu untuk membuat lompatan ke spesies lain. Banyak ahli percaya, kesempatan penyakit hewan menulari manusia kian nyata meningkat karena kerusakan alam, termasuk hutan.

 Ada banyak hal dalam ilmu pengetahuan yang belum kita ketahui tentang lompatan virus di alam. Seperti halnya virus ebola, keberhasilan pencegahan dan pengendalian zoonosis ini sangat bergantung pada pemahaman kita tentang kapan dan di mana suatu lompatan terjadi, serta spesies hewan apa saja yang menjadi reservoir virus. Hanya cara ini yang dianggap ampuh menghentikan penyebaran suatu virus berbahaya ke tingkat pandemi. 

Antisipasi ke depan
Indonesia sebagai negara berkembang yang integrasi sistem kesehatan dengan sistem kesehatan hewan belum memadai dalam menangani kemunculan darurat wabah penyakit, khususnya wabah zoonosis. Kita memang belum memiliki fasilitas laboratorium setara dengan laboratorium zoonosis canggih yang diakui secara global, seperti di Amerika Serikat (Plum Island) dan Australia (Geelong).  

 Antisipasi sangat bergantung pada visi dan misi Indonesia ke depan, terutama pembangunan kesehatan masyarakat. Indonesia harus bertahap memperkuat negara dalam memobilisasi tenaga medis, medis veteriner, dan keilmuan lain yang terhubung dengan jejaring laboratorium veteriner dan laboratorium kesehatan masyarakat pada waktu dibutuhkan. Dokter, dokter hewan, dan sarjana keilmuan lain, seperti ahli mikrobiologi, ahli kesehatan masyarakat, ahli ekologi, ahli konservasi, dan sebagainya, perlu menyesuaikan perannya dalam memahami dan mempelajari irisan keterkaitan manusia, hewan, dan lingkungan.

Meski virus ebola muncul 38 tahun lalu di Afrika Tengah, spesies reservoirnya belum teridentifikasi secara tegas sampai saat ini. Konsekuensinya bagi negara mana pun di dunia, termasuk Indonesia, adalah ketidakmampuan kita memprediksi kapan dan di mana wabah zoonosis berikutnya bakal terjadi di alam yang terus berubah.  Ancaman terbesar kita adalah lompatan virus dengan potensi penularan manusia ke manusia yang efisien.

 Tri Satya Putri Naipospos
Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007652613
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Lebih dari 1.000 Orang Gaza Tewas (Kompas)

Tidak ada satu tempat pun di Jalur Gaza yang bisa dipakai untuk berlindung. Bahkan, gedung sekolah milik PBB dan tempat ibadah menjadi sasaran.
Selama tiga pekan sejak Israel memulai serangan ke Jalur Gaza, 8 Juli 2014, baik lewat laut, udara, maupun darat, korban tewas di pihak Palestina terus bertambah. Hingga kemarin diberitakan jumlah korban tewas mencapai 1.115 orang! Yang sungguh menyedihkan, sebagian besar dari korban tewas itu adalah penduduk sipil, orang-orang yang tidak bersenjata. Sementara Israel hanya kehilangan 53 tentara dan tiga orang sipil.

Paling sedikit 5.000 orang terluka. Menurut PBB, 182.604 orang Palestina lainnya terpaksa mengungsi ke tempat yang mereka rasa aman. Namun, tempat yang semula aman itu pun akhirnya menjadi tidak aman karena menjadi sasaran serangan Israel.

Menurut penjelasan pejabat PBB di New York, paling tidak 72 sekolah PBB, rumah sakit, dan kantor telah hancur digempur Israel. Padahal, tempat-tempat tersebut sudah diberi tanda khusus milik PBB.

Yang menarik, mengapa sampai saat ini PBB tidak menggunakan pengaruhnya—kalaupun sudah dilakukan, tetap masih terasa kurang—juga kredibilitasnya untuk menggalang negara-negara anggota bersama-sama menekan Israel? Apabila PBB, sebagai satu-satunya organisasi dunia yang besar pengaruhnya, tidak juga bertindak, lalu siapa yang akan menghentikan kegilaan, kemurkaan, tindak angkara murka Israel?

Sekjen PBB Ban Ki-moon, memang, telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah bertemu dengan para pemimpin kedua belah pihak yang berkonflik. Namun, perjalanan itu belum menunjukkan buah yang berarti atau sebaliknya seruan, ajakan, dan tekanan Sekjen PBB tidak dianggap lagi oleh Israel. Kalau hal itu yang terjadi, sungguh sebuah bencana besar bagi dunia ini.

Kita semua berharap AS sebagai "saudara tua" Israel segera bertindak untuk menghentikan tindakan Israel yang melanggar segala macam paugeran dunia beradab. AS harus bertanggung jawab atas kegilaan Israel apa pun alasannya terhadap Hamas pada saat ini.

Sementara itu, Israel dan Hamas juga harus melihat kenyataan di lapangan. Konflik di antara mereka telah menyebabkan penderitaan begitu banyak orang tak berdosa—terutama perempuan dan anak-anak. Perang telah meneror kehidupan anak-anak dan perempuan, sekaligus membuat masa depan anak-anak Palestina tidak tentu.

Apa sesungguhnya yang dicari oleh kedua belah pihak yang sekarang berkonflik? Keinginan untuk saling menghancurkan hanyalah menghancurkan masa depan Palestina, masa depan anak-anak Palestina yang sebenarnya harus diperkenalkan dengan kehidupan yang damai, untuk hidup berdampingan saling menghormati.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008083553
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Jalur Konstitusional (Kompas)

Pasangan calon presiden-calon wapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akhirnya membawa sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 ke Mahkamah Konstitusi.

Mengutip Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam wawancara yang diunggah di Youtube, gugatan ke MK oleh Prabowo bukanlah hal luar biasa. Langkah konstitusional Prabowo harus dihormati. Pada Pemilu Presiden 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto juga menggugat hasil Pemilu Presiden 2009 ke MK. Hasilnya, gugatan Megawati-Prabowo ditolak MK.

Gugatan ke MK oleh Prabowo menjadi menarik perhatian karena sebelumnya Prabowo menyatakan menolak hasil Pemilu Presiden 2014. Beberapa jam sebelum Komisi Pemilihan Umum menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden-wapres terpilih, Prabowo menggelar jumpa pers dan menyatakan menolak hasil Pemilu Presiden 2014 dan menyatakan menarik diri dari proses yang sedang berlangsung. Prabowo menilai, terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu Presiden 2014. Tim sukses Prabowo menyebut menggugat ke MK bukanlah opsi (Kompas, 23/7)!

Menggugat ke MK bukanlah langkah luar biasa. Gugatan ke MK adalah mekanisme yang disediakan konstitusi. Sejumlah kepala daerah menggugat hasil pilkada ke MK. Meski ada sosok seperti Fauzi Bowo yang langsung mengucapkan selamat kepada Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama begitu KPU Jakarta menetapkan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta. Fauzi tidak menggugat ke MK.

Dalam persidangan terbuka di MK, tudingan bahwa ada kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014 harus dibuktikan di persidangan. Tudingan itu akan disandingkan dengan bukti dan saksi lain dari KPU, Bawaslu, dan pihak terkait lain. Begitu juga dengan perbedaan penghitungan antara KPU dan penghitungan suara dari kubu Prabowo.

Seperti dikatakan kuasa hukum Prabowo, Maqdir Ismail, kubu Prabowo mendapat 67.139.153 suara, sedangkan Jokowi meraih 66.435.124 suara. Ada selisih 704.011 suara untuk keunggulan Prabowo (Kompas, 26/7). Sementara berdasarkan hitungan manual KPU secara berjenjang dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi, Prabowo meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Jokowi mendapat 70.997.833 suara (53,15 persen). Selisih suara mencapai 6,3 persen atau sekitar 8,4 juta suara lebih.

Biarlah MK yang independen dan mandiri menyelesaikan sengketa penghitungan suara pemilu presiden. Para pihak harus sepakat bahwa persidangan di MK ada prosedur dan ada tahapan yang harus dihormati. MK menjadwalkan menjatuhkan putusan pada 21 Agustus. Kita berharap putusan MK yang sifatnya final dan mengikat sebagaimana ditegaskan konstitusi itu akan dihormati para pihak. Kita meyakini sembilan hakim MK tidak akan mempertaruhkan kredibilitas lembaga yang sedang beranjak dari keterpurukan menyusul kasus Akil Mochtar.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008053726
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 26 Juli 2014

Membumikan Lailatul Qadar (H Usep Romli HM)

DALAM bulan Ramadhan terdapat satu malam yang bernilai lebih daripada seribu bulan. Malam penuh kemuliaan yang disebut Lailatul Qadar.
Pada malam itu, para malaikat, dipimpin malaikat Jibril, atas izin Allah SWT turun ke Bumi: mengatur segala urusan, menebar kesejahteraan,  dan keselamatan hingga terbit fajar (QS. 97:1-5).

Malam istimewa tersebut diperkirakan muncul pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, antara tanggal 20-30 Ramadhan. Pada saat itu, umat Islam dianjurkan untuk melakukan iktikaf: tinggal di masjid, khusus untuk melakukan ibadah.

Suatu ibadah untuk meningkatkan hubungan vertikal melalui berbagai kegiatan ritual, seperti shalat, berdoa, membaca Al Quran, yang bersifat mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Meski demikian, tetap memelihara hubungan horizontal dengan sesama manusia. Misalnya, melakukan shalat berjamaah, menengok orang sakit, melayat jenazah, serta memberikan santunan uang atau makanan kepada yang membutuhkan.

Iktikaf selama masa Lailatul Qadar berfungsi sebagai koreksi internal diri masing-masing (al muhasabah), sekaligus koreksi eksternal (al muamalah). Membersihkan jiwa dari berbagai perbuatan rendah dan kasar, kemudian mengisinya dengan segala perbuatan penuh keutamaan, serta berkonsentrasi penuh mengingat Allah SWT.

Dari kegiatan spritual amat individual itulah kelak terpancar daya nalar dan kehendak untuk mengaplikasikannya dalam kenyataan. Berbekal watak keutamaan yang terbentuk selama iktikaf, semangat sosial menjadi bertambah. Iktikaf menyambut Lailatul Qadar bukan lagi merupakan kenikmatan tersendiri bagi diri pribadi yang amat personal, melainkan kenikmatan bersama yang universal.

 Menurut Az-Zuhri, salah seorang ulama abad ke-14, Ramadhan mengandung dua kegiatan pokok. Kegiatan membaca Al Quran, sebagai bagian dari menegakkan ibadah malam (qiyamul lail), dan memberi makan fakir miskin (it'amuth tha'am).

Secara fisik, iktikaf menyambut Lailatul Qadar adalah mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari yang serba materi. Sebuah kondisi kontras di tengah kecenderungan konsumtif menggebu-gebu menjelang hari raya.

Itulah risiko dari penjabaran makna puasa yang bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat di siang hari. Puasa juga pembenahan otak dan hati dari ketimpangan mental akibat situasi sosial, ekonomi, politik, dan segala rutinitas realitas sehari-hari.

Iktikaf dan Lailatul Qadar membenamkan seluruh gemuruh hawa nafsu ke kebeningan kepasrahan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sebuah penempaan rohaniah yang akan menghasilkan spirit simpati, solidaritas, dan apresiasi terhadap keberagaman hidup manusia sekitar. Semakin menumbuhkan cinta kepada fakir miskin, semakin memperbesar pengertian dan pemahaman terhadap segala hal-hal yang berbeda, baik titik tolak maupun aplikasi.

Manusia yang berhasil menyelami hakikat Lailatul Qadar adalah penabur salam (keselamatan), penebar kemurahan berbagi rezeki dan kebutuhan (anith tha'am), serta pembuhul kekuatan jalinan persaudaraan yang universal (wasilatul arham).

Salam, kemurahan, dan silaturahim tanpa batas agama, kepercayaan, ideologi, serta strata sosial, itulah yang dibawa Jibril dan ribuan malaikat yang turun ke Bumi pada saat Lailatul Qadar, mulai dari gelap malam hingga merekah fajar. Itulah pesan yang harus ditindaklanjuti oleh semua orang yang menempuh puasa Ramadhan dan penemu Lailatul Qadar untuk hari-hari dan masa-masa seterusnya.

Kedamaian, kesejahteraan, apresiasi, simpati, dan solidaritas sosial yang menyatu pada watak orang-orang berpuasa, merupakan transformasi Lailatul Qadar. Itulah yang menjadi tujuan puasa Ramadhan dalam membentuk manusia bertakwa, yang siap menjalankan segala perintah Allah SWT, yaitu beriman kepada-Nya dan berbuat bajik serta santun kepada sesama manusia. Sekaligus tentu meninggalkan larangan-Nya, terutama berbuat kerusakan di muka bumi dalam segala format dan jenisnya.

H Usep Romli HM
Pengasuh Pesantren Budaya Raksa Sarakan, Garut

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007984455
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Lebaran dan Kemajemukan (ASEP SALAHUDIN)

IDUL Fitri secara semantik bermakna kembali kepada kesucian. Id artinya 'kembali' dan fitri artinya 'suci'. Ramadan diimajikan sebagai modal rohaniah untuk mengembalikan rute manusia pada jalan kesadaran fitrah.
Puasa menginjeksikan sebuah keinsafan akan kelahiran manusia dari rahim Ramadhan yang bebas dari khilaf dan salah. Di titik ini akal masyarakat Nusantara dengan sangat kreatif menyinergikannya dengan konsep keagamaan yang diacukan pada khazanah kearifan budaya lokal: Lebaran. Lebaran sebagai momen "lubar" (pembebasan/liberasi). Pembebasan dari segenap watak kebinatangan yang disimbolkan selama berpuasa dengan hilangnya keterikatan penuh terhadap ihwal pesona benda, terlepas dari keterpenjaraan hasrat tubuh, dan kemudian hanya menyisakan Tuhan dan nilai-nilai kebaikan sebagai daulat utama.

Maka, di hari raya Idul Fitri, dengan wajah cerah sambil mengulurkan tangan bersalaman, disampaikanlah minal aidin wal faizin. Ekspresi gelombang orang-orang yang kembali dan berbahagia. Kampung halaman pun dikunjungi dalam ritus kolosal mudik Lebaran. Saudara didatangi, bahkan pusara mereka yang telah lama meninggalkan alam fana diziarahi sambil membawa air dan bunga. Mudik yang telah jadi rutin lengkap dengan kemacetannya kian meneguhkan hasrat membangun kohesivitas sosial dengan hikayat masa silam yang coba dirangkai kembali untuk jadi "energi" ketika harus balik lagi ke tempat urban.

Mungkin benar apa yang dibilang Oktavio Paz, "Manusia tidak bisa berkelit dari riwayat silam yang menjadi asal usulnya. Untuk menyusun kelak." Seperti diwadahi dalam kata "arus mudik" dan "arus balik".

Mudik ke "kampung halaman" dan balik ke "kota perantauan". Kampung halaman tempat kita lahir dan kota perantauan medan kita mempertaruhkan nasib. Mudik dan balik hubungannya dalam budaya kita tidak dikotomik, tetapi dialektik. Jadi, perubahan sosial yang dilakukan lewat gerak arkaik "desa mengepung kota" bukan hanya kehilangan akar, melainkan juga tidak mendapatkan tautan kulturalnya. Politik desentralisasi seandainya diterapkan seperti tujuan awalnya, ini menjadi jawaban komprehensif untuk mengerem laju penyerbuan kampung ke kota.

Fitri dan persekutuan inklusif
Fitri di sini tentu tidak hanya memiliki interaksi simbolik dengan pengalaman keagamaan yang bersifat personal, tetapi juga dalam konteks kebangsaan cakupan maknanya harus diperluas sebagai sebuah panggilan iman untuk mengalami kemajemukan. Idul Fitri sebagai ikhtiar kembali hidup dalam keragaman dengan lapang. Dalam semangat "bersalaman". Salam itu bertalian dengan Islam yang secara generik bermakna kepasrahan kepada Yang Kudus sebagai lokus otentisitas keagamaan.

Secara sosiologis, Muhammad SAW mengajarkan, imperatif Islam itu diartikulasikan dalam sikap kesediaan menebarkan damai kasih kepada sesama. "Sebarkan damai di antara kalian." "Mereka yang tidak menyampaikan kasih di bumi tidak akan meraih kasih sayang dari langit."

Sebagaimana padanannya yang lebih inklusif, iman. Iman secara harfiah artinya percaya. Dalam tafsir sosial berhubungan dengan kesungguhan membangun bumi manusia yang dijangkarkan pada rasa aman yang mensyaratkan kesediaan mengemban sikap amanah. Iman sebagai getaran penghayatan intim dengan Zat Yang Maha Memukau. Kemudian, keterpukauan itu dipantulkan dalam wujud persekutuan inklusif, relasi manusia yang tidak dibatasi oleh perbedaan etnik, bahasa, dan pilihan agama formalnya.

Fitri tidak hanya berkelindan dengan kondisi kebatinan palung sukma yang bersih, tetapi juga sejauh mana "kebersihan" itu dapat ditransformasikan dalam tata kelola negara penuh adab, birokrasi yang tertib, tindakan politik yang menjunjung tinggi akal budi, ekonomi yang mendistribusikan kesejahteraan, dan hukum yang tegak lurus dengan rasa keadilan.

Pemimpin baru
Melalui real count 22 Juli 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditetapkan secara resmi sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014 sehingga lengkap sudah Lebaran kita. Di hari Lebaran kali ini tidak hanya pakaian, sarung, dan kopiah baru, tetapi juga jauh lebih penting dari itu adalah kepemimpinan yang menawarkan harapan baru. Dalam semangat kepemimpinan nasional itu, kita mengharapkan roh Idul Fitri tecermin dalam ruang bernegara, dalam tindakan politik hariannya.

Bukan sekadar "pemimpin", melainkan keduanya benar-benar tampil menjadi kepala negara yang tak disibukkan dengan bersolek diri demi memburu pencitraan, tetapi dipastikan bekerja penuh kesungguhan, bebas dari korupsi, dan upaya memperkaya diri sendiri. Bukan sekadar menyusun kabinet semata demi menyenangkan kawan koalisi, melainkan menempatkan rakyat sebagai subjek utama seluruh kebijakan yang diambilnya.

Kita tidak lagi mendengar cerita negara absen karena tersandera kepentingan partai dan ormas tertentu, tetapi negara selalu hadir mendampingi kepentingan khalayak dalam semangat keragaman. Negara tidak boleh memihak, kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.

Setelah negara "merantau" selama 32 tahun Orde Baru dan 16 tahun Reformasi dengan rute membingungkan, sudah saatnya negara harus dikembalikan pada khitah "kesuciannya" sehingga mampu mengantarkan warganya menemukan kesejahteraan (Ibnu Taimiyyah), keutamaan (Al-Farabi), kebebasan berkehendak (Nietzsche), kesetiaan memegang teguh etika (Kant), memasuki pengalaman religius Ibrahim (Soren Kierkegaard), terbuka dalam perbedaan (Empu Tantular), sekaligus menciptakan ruang demokrasi deliberatif untuk menciptakan medan musyawarah yang mengedepankan nalar diskursif dalam maqom kesetaraan (Habermas).

Setelah kegaduhan kampanye Pilpres 2014 yang membelah masyarakat dalam dua kelompok berbeda, kebencian, fitnah, dan dusta yang dirayakan sepanjang pesta demokrasi lima tahunan berlangsung, lewat Idul Fitri, saatnya semuanya dipersatukan kembali dalam lembaran semangat kebersamaan. Cita-cita luhur para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 hanya bisa digapai manakala satu sama lain saling bersinergi.

Melalui Idul Fitri, kepemimpinan baru diharapkan mampu menghargai keragaman, bahkan masuk dalam pengalaman kemajemukan. Kemajemukan tidak lagi dijadikan sebagai ancaman, apalagi dibenturkan satu dengan lainnya dan negara hanya menjadi penonton seperti banyak terjadi dalam masa pemerintahan Yudhoyono, tetapi adalah modal sosial untuk menunjukkan bahwa kebesaran negeri ini dibangun lewat uluran banyak tangan.

Justru keterpilihan Jokowi-Jusuf Kalla karena massa punya preferensi bahwa keduanya di samping menjanjikan "revolusi mental" yang menjadi kunci pembenahan sengkarut negeri kepulauan, juga dapat memberikan jaminan hidup berbangsa yang toleran, berdaulat, sekaligus dapat memasuki alam pikiran dan aspirasi segenap masyarakatnya. Dan, akhirnya "Indonesia Hebat" bukan sekadar jargon, tetapi menjadi bagian sejarah pengalaman keseharian. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin.

Asep Salahudin
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007997397
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mudik dan Arus Migrasi (Chotib)

KEGEMBIRAAN umat Islam dalam menyambut Lebaran di Indonesia memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan umat Islam di belahan dunia lain.

Jika di bulan Ramadhan secara umum umat Muslim mendapat dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dan saat menyambut hari raya, umat Muslim di Indonesia memiliki tiga kegembiraan, dengan "ritual" mudik ke kampung halaman sebagai kegembiraan ketiga.

Menjelang hari raya umat Islam ini, kata "mudik" menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia karena tradisi unik ini tidak hanya dilakukan umat Islam, tetapi juga sudah berkembang menjadi sebuah "peribadatan" lintas agama.  Banyak umat non-Muslim yang juga memanfaatkan momentum liburan panjang untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga. 

Sebagai fenomena khas masyarakat Indonesia, mudik merupakan sebuah manifestasi dari masih kuatnya kohesi sosial masyarakat kita di tengah perubahan sosial menuju masyarakat industri dan pasca modernisme.  Jarak sosial dan geografis yang membentuk pelapisan sosial akibat perbedaan profesi dan struktur ekonomi  yang selama ini terjadi menjadi lebih pendek ketika arus mudik berlangsung.

Meski lebih kental nuansa sosialnya ketimbang nuansa religinya, mudik telah memberikan inspirasi dan dukungan teologis yang kuat.  Dalam Islam, misalnya, ajaran membangun silaturahim atau jaringan sosial (social capital), ukhuwah, dan saling memaafkan telah diterjemahkan dalam kultur masyarakat kita melalui peristiwa mudik.

Secara etimologis, mudik berasal dari kata Betawi yang berarti 'menuju udik' (pulang kampung). Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata mudik yang berlawanan dengan kata milir. Jika mudik berarti pulang, milir berarti 'pergi'. Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap, dan pulang kembali ke kampungnya saat Idul Fitri tiba.

Sementara menurut Mahayana (2011), fenomena mudik yang kemudian dikaitkan dengan Lebaran mulai terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) disulap menjadi sebuah kota metropolitan.  

Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai kota impian. Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya.  Boleh jadi, lebih dari 80 persen para urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.

Migrasi penduduk
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tidak ada peristiwa mudik jika tidak ada peristiwa migrasi penduduk dari luar Jakarta menuju Jakarta. Secara demografis, terdapat beberapa tipe migrasi penduduk, di antaranya migrasi seumur hidup (life time migration) dan migrasi risen (recent migration).  

Penghitungan migran seumur hidup diperoleh dari data yang memperbandingkan tempat tinggal penduduk pada saat pencacahan (dalam hal ini tinggal di Jakarta) dengan tempat kelahirannya (dalam hal ini di luar Jakarta).  Sementara migrasi risen diperoleh dari data penduduk yang pada saat pencacahan tinggal di Jakarta dan lima tahun sebelum pencacahan tinggal di luar Jakarta.

Data Sensus Penduduk (SP) 2010 memperlihatkan jumlah migran seumur hidup di Jakarta sekitar 4 juta jiwa.  Jumlah ini sedikit lebih besar daripada data yang diperlihatkan oleh SP 2000, yaitu sekitar 3,5 juta jiwa. Dari perbandingan kedua data ini, sementara dapat disimpulkan, ada tambahan penduduk yang masuk ke Jakarta  sebesar lebih kurang 500.000 jiwa selama kurun waktu 10 tahun.  Angka ini relatif mirip dengan data migrasi risen yang masuk ke Jakarta dari SP 2010, yaitu sebesar 600.000 jiwa, yang memperlihatkan adanya sejumlah penduduk yang masuk ke Jakarta selama periode 2005-2010.

 Baik data sensus maupun data survei yang dilakukan Lembaga Demografi FEUI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta  (2014) memperlihatkan bahwa 90 persen migran yang masuk ke Jakarta berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa.  Daerah-daerah pengirim utama migran ke Jakarta adalah Jawa Tengah (37 persen), Jawa Barat (34 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (7 persen), Jawa Timur (7 persen), dan Banten (7 persen). Sisanya para migran yang berasal dari terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Hasil survei memperlihatkan, hampir semua pemudik dari Jakarta berangkat menuju tempat kelahiran mereka sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pemudik yang berangkat dari Jakarta sekitar 4 juta jiwa jika dikaitkan dengan jumlah migran semasa hidup yang masuk ke Jakarta berdasarkan SP 2010. 

Namun, bisa jadi tidak semua migran tersebut pergi mudik pada tahun ini dengan berbagai alasan. Karena itu pula, hasil survei ini memperlihatkan perkiraan pemudik tahun 2014 dari Jakarta sebesar 3,6 juta jiwa.

Sejalan dengan distribusi daerah asal (tempat kelahiran) migran di  Jakarta sebagaimana disebutkan di atas, distribusi daerah tujuan mudik juga diperkirakan menuju tempat-tempat yang sama.  Para penentu kebijakan yang menangani persoalan arus penduduk ini hendaknya memperhatikan dan memfokuskan diri pada distribusi interaksi spasial antara Jakarta dan daerah-daerah lain, terutama di Jawa ini.

Chotib
Peneliti Lembaga Demografi FEUI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007982486
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Fitrah dan Islah: Damai Indonesia (Azyumardi Azra)

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada din [agama Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS Ar-Rum 30:30).

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, ciptakanlah islah [damaikan, perbaiki hubungan] di antara kedua [pihak] saudaramu [yang berselisih] itu; dan takwalah kepada Allah supaya kamu sekalian mendapat rahmat [Allah] (QS Al-Hujurat 49:10).

 

PUASA Ramadhan 1435/2014 segera berakhir dan 1 Syawal 1435 pun menjelang, umat Islam pun sampai kepada 'Id al-Fitr (Idul Fitri). Inilah momen ketika mereka yang puasa kembali kepada al-'id ila fitrah, kesucian. Meski fitrah yang dianugerahkan Allah SWT tidak berubah, seperti dinyatakan Al Quran Surah Ar-Rum Ayat 30 di atas, manusia sering mengotori fitrahnya dengan berbagai kesalahan, kekeliruan, dan perbuatan maksiat, baik sengaja maupun tidak.

Ibadah puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain yang dikerjakan sepanjang hari atau sepanjang tahun pada intinya bertujuan agar mereka yang beribadah (abidin) dapat meraih kembali dan menjaga fitrah, kesucian diri masing-masing.

Dengan fitrahnya, manusia tidak hanya dapat tersucikan dalam hubungannya dengan Tuhan (habl min Allah), tetapi sekaligus dengan manusia (habl min al-nas) dan lingkungan alam lebih luas. Dengan kesucian, setiap dan seluruh individu dapat menciptakan harmoni dan kedamaian di muka bumi ini.

Pemaafan untuk damai

Dalam kesempatan kembali kepada fitrah secara individual-personal, setiap pribadi Muslimin dan Muslimat wajib memperluas kesucian itu ke tingkat sosial komunal dan masyarakat negara-bangsa Indonesia. Perluasan kesucian itu merupakan bagian integral dari prosesi ibadah Idul Fitri yang dilakukan melalui kunjungan satu sama lain dan saling meminta dan memberi maaf.

Ibadah ini merupakan shilat al-rahim, memperkuat kembali hubungan kasih sayang. Melalui semua prosesi religio-sosial dan kultural seperti ini, dapat terbangun hubungan antarmanusia yang kian erat dan fungsional dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.

Saling meminta dan memberi maaf (pemaafan) sangat urgen setelah bangsa Indonesia menyelesaikan Pemilu 2014, meliputi pemilu legislatif pada 9 April dan pemilu presiden pada 9 Juli.

Meski kedua pemilu itu secara umum berlangsung aman dan damai, masih tersisa luka dan kepedihan yang muncul sepanjang masa kampanye, pencoblosan surat suara, serta penetapan presiden dan wakil presiden terpilih pada 22 Juli. Suasana menyalahkan, menghujat, dan berprasangka buruk terhadap berbagai pihak terkait proses pilpres itu masih mewarnai proses demokrasi Indonesia terkini.

Perseteruan dan ketegangan politik-sosial di kalangan masyarakat kita nampaknya masih bakal berkelanjutan. Memang Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pemenang Pilpres 2014, yaitu pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla. Namun, menjelang akhir rekapitulasi suara pilpres berakhir (saat selesai rekapitulasi 29 dari 33 provinsi dan satu wilayah luar negeri), calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto—tanpa didampingi oleh calon wakil presiden Hatta Rajasa—menyatakan penolakan terhadap proses dan hasil Pilpres 2014.

Dalam konteks itu, nilai dan semangat ibadah puasa dan Idul Fitri sangat relevan. Ibadah puasa—perlu diingatkan kembali—merupakan latihan jasmani dan rohani dengan kesabaran.

Dengan begitu, orang beriman yang berpuasa dapat mencapai derajat muttaqin, orang-orang bertakwa yang terpelihara dirinya dari nafsu angkara murka, dan sebaliknya lebih banyak bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT. Kemenangan dan kekalahan dalam kompetisi dan kontestasi apa pun merupakan keniscayaan, tinggal menyikapinya secara arif, bijak, dan tawakal.

Lebih jauh, memandang perkembangan politik setelah pilpres yang belum sepenuhnya menggembirakan, segenap umat beriman yang telah kembali kepada fitrahnya perlu meningkatkan semangat pemaafan. Untuk mengarah ke sana, perlu pengembangan pemahaman bahwa pemaafan tulus dan ikhlas bertujuan memperbarui hubungan antarmanusia, antarwarga Indonesia khususnya. Pemaafan bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan (islah) yang mencakup rekonsiliasi antarmanusia atau antarwarga yang dalam Pemilu 2014, khususnya pilpres, diselimuti kemarahan yang terlihat cenderung berkepanjangan.

Dengan kandungan nilai dan semangat begitu mulia, pemaafan secara implisit juga berarti menunjukkan kesiapan seluruh warga bangsa untuk kembali hidup berdampingan secara damai. Karena bagaimanapun, setiap mereka adalah manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.

Hanya dengan pemaafan, bisa tercipta kedamaian dan harmoni, yang dapat mendatangkan suasana kondusif bagi setiap dan seluruh warga untuk melakukan ikhtiar terbaik demi kemaslahatan dan kemajuan negara-bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan nasional baru.

Pemaafan mengandung beberapa dimensi dan langkah penting. Dalam pengertian umum, pemaafan berarti mengingat dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam, proses ini disebut sebagai muhasabah, yakni saling menghitung atau menimbang peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak tertentu. Melalui muhasabah, semua pihak melakukan introspeksi untuk kemudian dapat melakukan pemaafan satu sama lain.

Islah dan empati

Kemauan dan tindakan islah, memperbaiki hubungan dan rekonsiliasi, merupakan amal saleh yang amat mulia, seperti dianjurkan Allah SWT dalam firman-Nya yang dikutip di atas (QS Al-Hujurat 49:10) bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Jika konflik terjadi di antara mereka, perlu diupayakan islah, perdamaian di antara mereka.

Memberi maaf atau pemaafan merupakan langkah dasar bagi terwujudnya islah (rekonsiliasi) di antara sejumlah pihak yang terlibat dalam tensi dan hubungan tidak baik. Dalam konteks kehidupan sosial-politik, Imam al-Syaikh Muhammad 'Abd al-Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil Al-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an (edisi 1988), menyebut dua macam rekonsiliasi yang perlu dilakukan. Pertama, al-ishlah al-ijtima'i, rekonsiliasi kemasyarakatan melalui pengurangan ta'ashub atau sektarianisme sosial-politik. Kedua, al-ishlah al-siyasi melalui pengembangan komitmen pada keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang, serta sebaliknya menjauhi kebohongan, pengkhianatan, penipuan, dan kezaliman.

Tindakan islah pada saat sama merupakan pengejawantahan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan. Setiap orang bagaimanapun adalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam kesalahan dan angkara murka yang merugikan masyarakat dan negara-bangsa.

Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin dirinya tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang membuka pintu pemaafan. Karena itulah, Islam sangat menganjurkan sikap empati.

Demikianlah, pemaafan yang telah menjadi bagian integral dari perayaan Idul Fitri sepatutnya tidak hanya sekadar menjadi saling silaturahim dan berjabat tangan. Sebaliknya, Idul Fitri hendaknya dapat menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari seluruh warga bangsa sehingga islah, rekonsiliasi, dan perdamaian terwujud secara berkelanjutan demi Indonesia yang damai, maju, dan berkeadaban. Wallâhu a'lam bish-shawab.

Azyumardi Azra 
Guru Besar Sejarah; Direktur SPS UIN Jakarta; dan 2014 Fukuoka Prize Laureate.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007996448
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA:  Merajut Kembali yang Koyak (Kompas)

TATKALA menyongsong Idul Fitri 1435 Hijriah, kita teringat empat hal. Pertama, maknanya yang berlingkup religius, tetapi sekaligus sosiokultural, mudik, silaturahim, dan revitalisasi.
Untuk lingkup religius, besar harapan, umat yang melaksanakannya meningkat ketakwaannya kepada Allah SWT. Seusai Ramadhan, insan yang mencapai kemenangan akan bertambah keimanannya. Laku kebaikan bertambah dan laku buruknya susut.

Di luar manfaatnya bagi diri pribadi yang menjalankan, Idul Fitri yang berdimensi sosiokultural ditandai dengan aktivitas mudik dan silaturahim. Sebagai fenomena, rutin tahunan ini juga setiap kali menggetarkan jiwa kita. Betapa tidak, pemudik rela menempuh perjalanan yang macet luar biasa, dari Jakarta ke kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membutuhkan tak kurang dari dua hari. Pastilah ada dorongan batiniah yang bisa mengalahkan kelelahan menempuh perjalanan berat tersebut. Baik juga kita beri catatan lagi, mengapa infrastruktur transportasi kita masih selalu menjadi berita karena siapnya selalu mepet hari-H? Tak bisakah ia siap jauh hari sebelumnya?

Selebihnya, refleksi Idul Fitri tahun ini kita curahkan untuk menggemakan peranannya menguatkan (kembali) tali silaturahim, lebih-lebih ketika kita, bangsa Indonesia, baru saja merampungkan pemilihan presiden. Tak dapat disangsikan, pilpres banyak membelah persaudaraan bangsa karena kuatnya tarikan partisan yang emosional. Demi tekad kita menegakkan pilpres yang demokratis, jaring kebangsaan tersebut di sana-sini koyak. Kita tidak ingin yang robek menganga berkepanjangan, menjadi kayu arang yang memanaskan hati. Sebaliknya, kita ingin segenap gesekan yang menimbulkan perih dan pahit getir tersebut segera terobati. Urgensinya bukan mengada-ada karena di depan sana ada banyak persoalan bangsa, sosial dan ekonomi, yang membutuhkan sumbangsih setiap anak bangsa untuk mengatasinya. Justru karena itu bangsa membutuhkan revitalisasi.

Dalam momen yang baik di Idul Fitri inilah, kita berharap semua pihak yang bak hidup-mati bertarung di laga pilpres dapat kembali merajut jaring yang koyak. Bahkan, syukur jika dari momen silaturahim hari raya ini lahir komitmen bersama-sama membangun bangsa.

Kita bersyukur, pilpres dengan segala ekses yang terjadi berlangsung damai. Rakyat punya harapan besar, elite yang ambil bagian dalam pilpres dapat memperlihatkan kepada rakyat Indonesia, dan juga dunia, bahwa pilpres Indonesia menjadi proses yang bermartabat.

Sekali lagi, seiring dengan datangnya Idul Fitri, yang juga menandai Lebaran (berakhirnya ibadah saum Ramadhan), menandai usainya pahit getir pilpres. Mari kita manfaatkan momen fitri ini untuk merajut kembali persaudaraan kebangsaan.

Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008035757
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA:  Mendorong Pembangunan Manusia (Kompas)

LAPORAN Pembangunan Manusia 2014 menyebut, 2,2 miliar orang miskin atau hampir miskin memerlukan layanan dan perlindungan sosial dasar.
Jumlah orang miskin atau hampir miskin tersebut sekitar sepertiga penduduk Bumi. Di Asia dan Pasifik, lebih dari 1 miliar orang hidup dengan pendapatan antara batas garis kemiskinan absolut 1,25 dollar AS dan batas hidup layak 2,5 dollar AS per hari. Mereka dengan mudah tergelincir kembali menjadi miskin.

Laporan dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ) yang diluncurkan Kamis lalu tersebut mengambil tema "Mempertahankan Kemajuan Manusia: Mengurangi Kerentanan dan Membangun Ketahanan". Laporan mencakup 187 negara dan kawasan, termasuk Indonesia.

Kerentanan menjadi persoalan yang menghambat kemajuan pembangunan manusia tahun 2013. Pemenang Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, menggarisbawahi, komponen utama peningkatan pembangunan manusia adalah mengurangi kerentanan.

Kerentanan dapat bertumpang tindih. Kerentanan struktural bertahan dan terakumulasi dari waktu ke waktu yang disebabkan diskriminasi dan kegagalan kelembagaan. Kerentanan yang sebelumnya kurang terlihat adalah kerentanan siklus hidup. Laporan ini menekankan 1.000 hari pertama kehidupan, transisi dari sekolah ke pekerjaan, dan dari bekerja ke pensiun merupakan titik-titik kritis yang rentan guncangan.

Mereka yang mengalami kerentanan adalah orang miskin, pekerja informal, perempuan, orang dengan kecacatan, pekerja migran, kelompok minoritas, seperti masyarakat adat, serta anak-anak, remaja, dan warga lansia. Mereka rentan terhadap guncangan ekonomi, guncangan kesehatan, bencana alam, perubahan iklim, polusi karena industri, konflik, seperti peperangan, dan kerusuhan sipil.

Jelas pembangunan manusia tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial. Krisis finansial di negara maju menurunkan kemampuan negara berkembang menyediakan layanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, dan menyeluruh bagi rakyat. Melebarnya ketimpangan kemakmuran akibat praktik perdagangan tak adil atau penghindaran pajak, misalnya, mengakibatkan sebagian besar orang kehilangan akses pada layanan sosial dasar.

Memperbesar investasi di sektor pendidikan serta meningkatkan akses dan kualitasnya harus diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja formal, terutama bagi orang muda. Karena dunia telah menyatu, kerja sama dalam tata kelola global menjadi keharusan untuk mencegah berulangnya krisis keuangan global, perubahan iklim, konflik, dan kerusuhan sosial. Hal-hal tersebut telah menghambat pembangunan manusia.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008034417
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Idul Fitri dan Halalbihalal (A Mustofa Bisri)

NABI Muhammad SAW pernah ditanya istri Nabi, Aisyah, mengenai doa apa yang mesti dibaca saat Lailatul Qadar, Nabi menjawab, "Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii." Doa ini dalam bahasa Indonesia kira-kira, "Ya, Allah, ya Tuhanku; sungguh Engkau Maha Pengampun, suka mengampuni, maka ampunilah aku."

Maha Pengampun-Nya Allah dan kesukaan-Nya mengampuni tidak hanya tecermin dalam asma-asma-Nya seperti Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar, dan Al-'Afwu, tetapi juga dapat diketahui melalui banyak firman-Nya di Al Quran dan sabda Rasul-Nya dalam hadis-hadis-Nya.

Salah satu firman-Nya bahkan menyeru hamba-hamba-Nya yang berdosa agar tidak berputus harapan akan pengampunan- Nya dan menegaskan bahwa Dia mengampuni dosa-dosa, semuanya (Q 39:53).

Bahkan, sedemikian sukanya Allah mengampuni sehingga Rasul-Nya—dalam hadis sahih bersumber dari sahabat Abu Hurairah dan riwayat imam Muslim—bersumpah bahwa seandainya "kalian semua tidak ada yang berdosa, Allah SWT akan menghilangkan kalian dan menggantinya dengan kaum yang berdosa yang memohon ampun kepada Allah lalu Ia pun mengampuni mereka".

Maka, kita melihat "lembaga pengampunan" Allah yang dapat menghapuskan dosa, begitu banyak. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menjadikan banyak amalan sebagai penghapus dosa, mulai dari istigfar, shalat, puasa, hingga berbuat baik lainnya, semuanya dapat menghapus dosa. Ini sangat kontras sekali dengan perangai "khalifah"-Nya di bumi yang namanya manusia ini.

Manusia—setidaknya kebanyakan mereka—dari satu sisi suka berbuat kesalahan, di sisi lain gampang tersinggung dan sangat sulit memaafkan kesalahan.

Bahkan, banyak di antara mereka yang merasa "dekat" dengan Tuhan pun tidak tampak lebih pemaaf daripada yang lain. Malah sering kali justru lebih terlihat sempit dada dan tengik.

Yang aneh, terhadap Allah yang begitu baik dan Maha Pengampun, kita ini begitu hati-hati. Namun, kepada sesama manusia yang tersinggung dan begitu sulit memaafkan, kita malah sering sembrono. Padahal, dibandingkan dengan dosa yang langsung berhubungan dengan Allah, kesalahan terhadap sesama manusia jauh lebih sulit menghapusnya. Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempunyai kesalahan kepada saudaranya sesama manusia sebelum saudaranya itu memaafkan.

Makna halalbihalal
Ada sebuah hadis sahih yang sungguh membuat mukmin yang sehat pikirannya akan merasa khawatir merenungkannya. Yaitu, hadis sahih—dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim—tentang betapa tragisnya orang yang saat datang di hari kiamat membawa seabrek (pahala) amal, seperti shalat, puasa, dan zakat, sementara ketika hidup di dunia banyak berbuat kejahatan kepada sesama.

Digambarkan, nanti orang yang pernah dicacinya, orang yang pernah difitnahnya, yang pernah dimakan hartanya, yang pernah dilukainya, dan yang pernah dipukulnya akan beramai-ramai menggerogoti (pahala) amalnya yang banyak itu.

Bahkan, apabila (pahala) amalnya itu sudah habis dan masih ada orang yang pernah dizalimi dan belum terlunasi, dosa orang ini pun akan ditimpukkan kepadanya sebelum akhirnya dia dilempar ke neraka. Orang yang malang ini disebut Rasulullah SAW sebagai orang bangkrut yang sebenarnya.

Lihatlah, orang yang bangkrut itu disebutkan membawa seabrek (pahala) shalat, puasa, dan zakat. Berarti dari sisi ini, dia adalah orang yang taat beribadah. Namun, karena perangainya yang buruk terhadap sesama, justru hasil ibadahnya itu sirna.

Maka, bagi kaum beriman, berhati-hati dalam pergaulan itu sangat penting. Kaum beriman tidak hanya mengandalkan amal ibadahnya tanpa menjaga akhlak pergaulannya dengan sesama. Apalagi, karena bangga terhadap amal ibadahnya, lalu merendahkan dan menyepelekan sesamanya. Na'udzubillah min dzaalik.

Masih ada satu hadis sahih lagi yang senada dengan hadis di atas, yang menganjurkan kita segera meminta halal dari orang yang pernah kita zalimi (falyatahallalhu minhu), apakah itu berkenaan dengan kehormatannya atau yang lain.

Saya pikir, bertolak dari sinilah bermula istilah halalbihalal (menulisnya tidak dipisah-pisah). Anjuran Nabi untuk meminta halal dari saudara kita yang pernah kita zalimi tentunya berlaku juga bagi saudara kita.

Seperti kita ketahui, kata kita ini assembling dari bahasa Arab. Asalnya halaal-bi-halaal (dalam kamus Arab sendiri, tidak ditemukan entri halaal-bi-halaal ini). Jadi, ini murni rakitan bangsa Indonesia. Semula mempunyai makna harfiah halal dengan halal, kemudian menjadi: saling menghalalkan.

Begitulah tradisi silaturahmi (Arabnya: silaturahim), di hari raya Idul Fitri pun diisi dengan acara halalbihalal. Saling menghalalkan alias saling memaafkan. Halalbihalal-lah terutama mendorong orang bersemangat melakukan silaturahim di hari raya Idul Fitri. Sampai-sampai kemudian melahirkan tradisi lain yang kita sebut mudik.

Kalau tujuannya saling memaafkan, mengapa halalbihalal itu (hanya) dilakukan di hari raya Idul Fitri atau di bulan Syawal, tidak setiap saat?

Boleh jadi ini ada kaitannya dengan "watak" bangsa kita yang sulit mengaku salah dan sulit memaafkan. Jadi, diperlukan timing yang tepat untuk saling meminta dan memberi maaf. Lalu, kapan itu? Nah, tidak ada saat yang lebih tepat melebihi saat setelah puasa Ramadhan.

Mengapa? Karena sesuai janji Rasulullah SAW, barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari pahala Allah, diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.

Tentunya ini dosa-dosa yang berkaitan dengan Allah langsung. Orang yang tidak mempunyai dosa kepada Allah karena dosa-dosanya sudah diampuni, dadanya menjadi lapang. Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa setelah usai puasa Ramadhan, orang- orang Islam menjadi terbuka, ringan meminta maaf, dan mudah memaafkan.

Maka, dosa-dosa berat yang diakibatkan kesembronoan dalam pergaulan hidup dengan sesama hamba Allah diharapkan dapat dengan mudah dilebur. Nah, kesempatan bersilaturahim di hari raya Idul Fitri ini jangan sampai kita lewatkan untuk berhalalbihalal, saling menghalalkan, dan saling memaafkan. Sehingga di Lebaran ini, leburlah semua dosa-dosa kita. Semoga.

 

Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah. Mohon maaf lahir batin.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008034184
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 25 Juli 2014

Takwa Sosial (Fathorrahman)

DALAM semua rangkaian ibadah, termasuk ibadah puasa Ramadhan, takwa jadi sebuah tujuan utama yang selalu dikedepankan.
Sebagaimana dalam firman Allah, kewajiban puasa yang diperuntukkan bagi umat Islam dan umat sebelumnya adalah dalam rangka bertakwa. Bahkan, di ayat-ayat lain, takwa jadi sebuah identitas pembeda kemuliaan manusia di sisi Allah yang tak terjebak pada nilai-nilai materialisme dan pragmatisme.

Tak cukup berhenti di situ, takwa pun jadi modalitas untuk memenuhi sebuah harapan sebagaimana yang Dia janjikan: barang siapa yang bertakwa, pertama, akan ditunjukkan jalan keluar dari setiap permasalahan dan diberikan kemurahan rezeki. Kedua, akan diberikan kemudahan dalam setiap urusan. Ketiga, akan diampuni kesalahan-kesalahan sekaligus dilipatgandakan pahalanya.

Pertanyaannya, mengapa takwa jadi the ultimate concern—meminjam istilah Paul Tillich—yang banyak ditegaskan dalam Al Quran? Bagaimana menjelaskan takwa dengan utuh? Pada titik inilah takwa perlu dikaji lebih mendalam agar bisa dipahami dan dijangkau siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Takwa tak sekadar gugusan konsep eskatologis yang abstrak yang sebenarnya menyimpan energi pencerahan dalam hidup manusia.

Merujuk kepada Imam Ghazali, takwa adalah kesediaan melaksanakan semua yang jadi perintah-Nya dan ketulusan menjauhkan dari semua yang jadi larangan-Nya. Dengan kata lain, senapas dengan definisi Ghazali, takwa menyiratkan makna amar ma'ruf yang beraksentuasi kepada cara humanitarian mengajak kepada kebaikan yang bermanfaat sekaligus menyiratkan makna nahi munkar yang mengarah kepada upaya pembebasan manusia dari jebakan kelemahan, kesalahan, dan kecerobohan (Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi).

Dalam kaitan ini, amar ma'ruf berhubungan erat dengan ajaran sosial yang meniscayakan sikap peduli dan simbiosis-mutualis dalam menggunakan kebaikan untuk kepentingan bersama.

Antara satu dan yang lain bisa saling merasakan manfaat kebaikan memenuhi hajat kehidupan banyak orang. Nahi munkar berhubungan erat dengan ajaran kultural yang menganjurkan sikap saling mengingatkan untuk tak terjebak pada tindakan yang bertentangan dengan norma sosial sekaligus mengantisipasi setiap potensi yang dapat mengarah kepada defisit kebenaran dan kebajikan.

Dengan demikian, amar ma'ruf dan nahi munkar menegaskan konsep interelasi yang komplementer, antara satu sisi dan lainnya memberi peluang berproses sebagai manusia yang ingin mencapai kebenaran dan jadi tantangan berproses sebagai manusia yang saling mengendalikan dan membenahi diri dari setiap keburukan (Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought).

Menyikapi takwa
Dalam konteks sosial, ketika amar ma'ruf dan nahi munkar menjadi basis penjelasan konsep takwa yang memberdayakan kepada kebajikan dan membebaskan dari keburukan, ada dua dimensi yang perlu disikapi secara proporsional. Pertama, takwa defensif berkaitan dengan cara refleksi dan eksplorasi diri menjalankan setiap ajaran teologis yang diyakini sebagai sarana kedekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Shalat jadi peribadatan mengakui keagungan Allah, puasa jadi peribadatan meneguhkan keimanan dan ketulusan kita kepada-Nya, dan bentuk peribadatan lain yang dijalankan untuk memenuhi ketaatan kita sebagai hamba yang harus selalu bersyukur atas segala karunia-Nya.

Meski demikian, proses mendekatkan diri ini membutuhkan perangkat pengetahuan yang bisa menunjang keberlangsungan sebuah peribadatan. Misalnya, pengetahuan kita tentang kondisi alam, sosial, kultur, dan semacamnya yang semuanya dapat memengaruhi cara beribadah sehingga, bisa jadi, beribadah dengan kondisi yang berbeda-beda akan melahirkan ekspresi peribadatan yang beragam. Tak berarti bahwa perbedaan itu menafikan kedekatan setiap orang kepada Allah. Maka, tidak patut apabila suatu perbedaan cara beribadah yang itu bersifat furu'iyah lalu dihakimi sebagai labelitas takfiriyah seperti bidah, sesat, dan semacamnya.

Kedua, takwa ofensif berkaitan dengan cara implementasi dan improvisasi nilai filosofis dan sosiologis sebuah peribadatan ke dalam dunia realitas dengan pola gerak yang fleksibel dan dinamis sehingga setiap pesan ilahiah yang terkandung dalam sistem peribadatan dapat dikembangkan ke dalam dunia realitas untuk merespons setiap perubahan sosial dan perkembangan zaman sekaligus mengatasi setiap persoalan yang muncul dengan cara yang arif nan bijaksana.

Dalam kaitan ini, takwa ofensif jadi strategi keberagamaan untuk menyebarkan nilai luhur yang sarat dengan semangat toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), dan berkeadilan (ta'adul). Manakala berhadapan dengan problem kemanusiaan dan problem lainnya, kita bisa menarik makna takwa ke level yang lebih empiris: instrumen pemberdayaan masyarakat yang beradab dan pembebasan manusia dari kemungkaran.

Bertakwa humanis
Baru-baru ini kita mengalami situasi sosial yang sangat sensitif dengan titik didih sangat kulminatif. Setiap orang sangat peka dan mudah tersinggung oleh sebuah angka yang simbolik merepresentasikan preferensinya kepada salah satu capres pilihannya. Diperlukan kesadaran humanis untuk menyikapi suasana yang serba rentan itu.

Beberapa nilai luhur seperti tasamuh diperlukan sebagai pijakan semua pihak pendukung untuk saling menghargai setiap keputusan yang diambil KPU untuk menyatakan pasangan capres yang paling banyak meraih perolehan suara secara hitung riil. Tawasuth diperlukan bagi setiap pejabat negara seperti presiden, TNI, Polri, menteri, dan semacamnya untuk menegaskan posisinya yang tak condong kepada salah satu pihak supaya masing-masing tak saling curiga.

Tawazun diperlukan bagi setiap media cetak, elektronik, sosial, dan bentuk informan lainnya untuk memberikan layanan berita secara jujur dan tak berlebihan supaya masyarakat memperoleh pengetahuan yang obyektif, jujur, dan transparan. Ta'adul adalah semangat yang harus diambil dan dilakukan presiden terpilih pada masa akan datang supaya berbagai janji dan harapan yang disampaikan kepada masyarakat terlaksana dengan baik. 

Apabila nilai-nilai ini dilakukan, suasana ibadah puasa kita akan berjalan dengan penuh keimanan dan ketulusan, masa pilpres yang sudah diawali dengan tenang bisa berakhir dengan damai, dan pada gilirannya negeri ini akan jadi negara gemah ripah loh jinawi. Pada konteks ini takwa harus dipahami dan dijalankan.

Fathorrahman
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PW NU Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007966801
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger