Untuk ketiga kalinya, rahim demokrasi kita telah berhasil melahirkan pasangan capres-cawapres yang dipilih secara langsung oleh rakyat, setelah Pemilu 2004 dan 2009.
Sekalipun sama-sama diselenggarakan secara langsung, aman, dan damai, pilpres kali ini terasa lebih spesial di tengah keraguan sebagian kalangan atas kemampuan sipil memimpin bangsa yang sangat besar ini. Sebagaimana diketahui, Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih adalah pasangan sipil pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Dua pemilu sebelumnya, figur presiden belum bisa dilepaskan dari bayang-bayang militer.
Tidak seperti di tingkat akar rumput, polarisasi dan fragmentasi justru sangat terasa di tingkat elite. Oleh karena itu, ada baiknya para elite menahan diri untuk tak memperkeruh suasana. Biarlah segala sesuatu terkait sengketa pilpres diselesaikan secara elegan melalui jalur hukum. Pranata demokrasi yang telah berjasa mengantarkan bangsa ini menuju fajar ke(ber)adaban baru terlalu agung untuk dikotori oleh tangan-tangan jahil. Mari kita menghimpun energi untuk menyongsong hari esok yang penuh harapan.
Kotak pandora
Tak dapat disangkal, bangsa ini mengidap komplikasi persoalan yang begitu rumit, akut, dan bertali-temali. Ibarat kotak pandora, berbagai persoalan tersebut menuntut presiden terpilih untuk mampu membukanya (baca: menyelesaikannya). Dengan demikian, kunci kesuksesan bangsa ini mengatasi berbagai persoalan tersebut persis terletak di sini: sejauh mana Jokowi-JK mampu menghimpun segenap energi bangsa untuk selanjutnya mengorkestrasikannya sebagai sebuah modalitas menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.
Dalam konteks itu, peran kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode tak bisa dinafikan. Apresiasi dan kredit layak diberikan kepada SBY untuk melakukan kerja-kerja ground breaking dalam rangka memuluskan jalan menuju tradisi ke(ber)adaban baru. Kekurangan dan kelemahan pasti ada. Betapapun, SBY berhasil membawa bangsa ini pada satu fase transisi yang cukup krusial. Tinggal bagaimana Jokowi-JK meneruskan dan mengembangkannya untuk memastikan perjalanan bangsa ini on the right track di jalan ke(ber)adaban.
Terhadap berbagai persoalan tersebut, saya yakin SBY bukan tidak tahu sama sekali; dia menyadari jika pembukaan kotak pandora tersebut membutuhkan banyak pengorbanan, integritas, dan totalitas komitmen segenap anak bangsa. Berbagai persoalan yang membelit bangsa ini telah sedemikian endemik, dari hulu hingga hilir.
Di tingkat hulu, bangsa ini mengidap penyakit mental block yang menghalangi bangsa ini menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama. Jalan revolusi mental sebagaimana ditawarkan Jokowi menemukan relevansinya di sini.
Di tingkat hilir, berbagai persoalan yang tak kalah kompleksnya telah menghadang, mulai dari misterisunya pengelolaan sumber daya alam, tidak transparannya perjanjian kontrak karya multinasional, makin melebarnya rasio gini akibat distribusi ekonomi yang tidak merata, produktivitas ekonomi yang belum mengangkat harkat dan martabat bangsa, rendahnya kemauan mengapresiasi kompetensi anak-anak bangsa yang menyebabkan fenomena brain drain, hingga akutnya persoalan korupsi yang menggerogoti marwah bangsa.
Dalam konteks ini, penyusunan komposisi kabinet yang mempertimbangkan prinsip meritokrasi merupakan salah satu langkah membuka kotak pandora tersebut. Sudah seharusnya semboyan the right man in the right place menjadi konsideran utama dalam penyusunan kabinet. Paradigma "siapa mendapatkan apa" sama sekali tidak relevan dalam penyusunan kabinet. Parpol harus menyadari bahwa zaman sudah berubah. Justru inilah saatnya mereka menginisiasi budaya politik baru yang mengedepankan semangat good and clean governance.
Perjalanan sejumlah menteri yang tersandung persoalan hukum akibat korupsi harus jadi pelajaran berharga bagi perubahan paradigmatik di tingkat elite. Ini menjadi bukti paling absah bahwa pendasaran koalisi parpol pada prinsip bagi-bagi kekuasaan sudah ketinggalan zaman. Buat apa parpol memaksakan diri bagi-bagi kekuasaan jika mereka tidak memiliki kesiapan dan kesanggupan mengelola lembaga secara akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.
"Problem solving"
Dalam konteks urgensi membuka kotak pandora di atas, tiada pilihan lain bagi presiden terpilih untuk menempatkan seluruh proses politik-demokrasi sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, demokrasi tiada lain adalah alat untuk menjamin bahwa rakyat diperlakukan secara layak. Satu paket dalam ungkapan ini, juga kelayakan demokrasi menyelesaikan berbagai soal yang ada.
Menurut de Souza Briggs (Democracy as Problem Solving, 2008), ada tiga tahap pemahaman atas demokrasi: medan perebutan kuasa, proses deliberasi, dan demokrasi sebagai problem solving. Ketiga tahapan itu memang tak mesti dipahami terpisah, fragmentatif, atau sepotong-sepotong. Pemahaman yang utuh atas demokrasi jelas mensyaratkan ketiganya sebagai sebuah interrelasi tunggal. Artinya, jangan sampai bangsa ini memahami perhelatan politik-demokrasi hanya sebatas perebutan kuasa atau proses deliberasi publik. Lebih dari itu, politik-demokrasi adalah juga kemauan dan kemampuan menyelesaikan seluruh persoalan bangsa ini.
Jika—dan hanya jika—bangsa ini mampu menempatkan demokrasi sebagai interrelasi yang utuh antara ketiga tahap di atas, jurang pemisah antara hiruk pikuk politik keseharian di satu sisi, dan berbagai persoalan bangsa di sisi lain, dapat teratasi dengan baik. Inilah fase ketika bangsa ini telah sampai pada tahap civility, jalan ke(ber)adaban baru.
Meski demikian, siapa pun tak bisa menampik kenyataan bahwa demokrasi di negeri ini baru sebatas perebutan kuasa dan proses deliberasi publik, belum sepenuhnya penyelesaian masalah. Dalam konteks inilah, di pundak presiden-wakil presiden terpilih, Jokowi-JK, terpikul harapan segenap warga bangsa untuk memerankan diri mereka sebagai kunci pembuka kotak pandora. Mampukah? Kita tunggu!
Masdar Hilmy
Pemikir Sosial Kemasyarakatan;
Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008096337
Powered by Telkomsel BlackBerry®