Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Cari Blog Ini
Bidvertiser
Selasa, 30 April 2013
Jalan Keluar dari Krisis Minyak
Ke depan, konsumsi energi di Indonesia dan negara-negara lain di dunia diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada 2010 konsumsi energi dunia 12 miliar ton setara minyak, pada 2030 permintaan energi secara global diprediksi menembus angka 16,6 miliar ton setara minyak dengan porsi minyak dan batubara terbesar di antara sumber energi lain. Secara global, Indonesia akan berlomba dengan China, India, Amerika, dan Eropa barat dalam memperebutkan kebutuhan minyak ke depan untuk menopang pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Hal ini tentu mengancam ketahanan energi di tengah lambannya proses diversifikasi energi nasional akibat murahnya harga BBM yang disubsidi pemerintah.
Terus menyusut
Dari sisi cadangan, pada akhir 2011, total cadangan minyak dunia mencapai 1.652 miliar barrel. Dari cadangan total itu, kontribusi Venezuela 17,9 persen dengan total cadangan 296,5 miliar barrel, sedangkan kontribusi negara-negara Timur Tengah 48,1 persen dengan penguasaan cadangan 795 miliar barrel.
Cadangan minyak Indonesia hanya sekitar 2 persen dari cadangan total minyak dunia. Saat ini, cadangan minyak terbukti di Indonesia 3,6 miliar barrel, dan 53 persen sisa cadangan itu terletak di lapangan-lapangan skala besar. Cadangan gas Indonesia 104,25 triliun kaki kubik atau hanya 1,7 persen dari cadangan total gas dunia. Sebagian besar cadangan migas yang belum terbukti berada di laut dalam di kawasan timur Indonesia.
Sejauh ini, cadangan minyak terbukti nasional terus terkuras. Pada 2012, rasio cadangan minyak terhadap produksi hanya 52 persen. Padahal, semestinya setiap produksi 1 barrel minyak digantikan temuan cadangan minyak dengan jumlah sama. Beberapa tahun terakhir, cadangan minyak terbukti terus menurun meski jumlah ladang migas terus bertambah lantaran mayoritas lapangan migas berskala kecil. Kondisi ini berpengaruh pada penurunan produksi minyak 10 tahun terakhir. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memperkirakan, realisasi produksi minyak nasional tahun ini 830.000-850.000 barrel per hari (bph), jauh di bawah target APBN 2013 yang 900.000 bph.
Akibat produksi minyak terus menurun, pada Mei 2008, Indonesia keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), mengingat Indonesia telah menjadi importir minyak sejak 2003 dan tak mampu memenuhi kuota produksi yang ditetapkan. OPEC mencatat, penurunan produksi terutama karena kurangnya investasi di sektor perminyakan.
Padahal, Indonesia pernah mengalami dua kali puncak produksi minyak, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan angka produksi minyak 1,6 juta bph. Setelah produksi minyak nasional mencapai puncaknya untuk kedua kali pada 1995, produksi minyak makin turun dan mengindikasikan bahwa Indonesia telah memasuki masa krisis minyak. Apalagi, mayoritas ladang minyak di Tanah Air telah tua sehingga makin sulit berproduksi.
Untuk mendongkrak produksi minyak agar mencapai 1 juta barrel, andalan utamanya adalah Blok Cepu, dengan puncak produksi minyak sekitar 165.000 bph pada 2014. Akan tetapi, masa puncak produksi blok tersebut diprediksi hanya akan bertahan selama dua tahun, sehingga perlu segera dicari cadangan migas lain untuk menopang produksi minyak nasional.
Krisis produksi minyak yang terjadi saat ini tidak terjadi seketika. Selama beberapa dekade ini, Indonesia tidak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif dan terpadu, tidak ada perencanaan jangka panjang, dan kebijakan dari sejumlah kementerian bersifat sektoral. Padahal, situasi krisis ini sebenarnya bisa diproyeksikan sejak awal dan bagaimana mengantisipasinya.
Minim strategi
Pengelolaan penerimaan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rutin belanja negara sehingga alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi relatif terabaikan cukup lama. Kebijakan fiskal juga cenderung lebih mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak secara sektoral dalam jangka pendek sehingga tidak merangsang bagi pengembangan energi alternatif jangka panjang yang berkesinambungan. Di Norwegia dan Brasil, saat puncak produksi minyak, kedua negara itu menginvestasikan penerimaan negara dari sektor migas untuk mengembangkan industri hulu dan jasa penunjang serta teknologi migas melalui satu kebijakan terintegrasi. Kedua negara itu juga menghemat konsumsi minyak dan cenderung mengembangkan energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.
Kurangnya investasi turut menurunkan produksi. Untuk mengatasi masalah pendanaan, Timor Leste, misalnya, pada 2005 membentuk Dana Minyak Timor Leste untuk menempatkan pemasukan dari migas pemerintah. Pembentukan Dana Minyak diperlukan sebagai bentuk pengelolaan sumber daya minyak agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan mendatang. Sayangnya kita tak memiliki konsep dana minyak tersebut. Dukungan pemerintah, baik finansial maupun non-finansial terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi juga diperlukan untuk menarik minat investor menggarap wilayah kerja migas di Tanah Air, apalagi sebagian besar cadangan migas berlokasi di perairan dalam di kawasan timur Indonesia yang relatif sulit dijangkau. Kepastian hukum dan model kelembagaan pengelolaan migas juga dinantikan kalangan investor.
Tantangan lain yang dihadapi, bagaimana meningkatkan produksi minyak. Secara alamiah, laju penurunan produksi minyak sekitar 12 persen per tahun. Tahun ini, SKK Migas menargetkan laju penurunan produksi minyak 0 persen. Peningkatan produksi hanya bisa dicapai jika pengeboran gencar dilakukan, dan sejumlah kendala di lapangan teratasi, termasuk masalah perizinan dari pemerintah daerah dan maraknya pencurian minyak.
Dengan kondisi mayoritas lapangan migas telah tua, kandungan air dalam minyak makin tinggi sehingga volume produksi menurun. Pengembangan teknologi pemulihan produksi menjadi hal kunci dengan konsekuensi terjadi peningkatan beban biaya produksi minyak. Uji coba pemanfaatan teknologi ini telah dilakukan di sejumlah lapangan migas, dan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi.
Di tengah situasi krisis produksi yang terus berlanjut, perubahan paradigma tata kelola migas harus segera dilakukan. Upaya pencarian cadangan migas harus jadi titik berat dalam menjaga keberlanjutan produksi minyak untuk mengoptimalkan penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan terpenting memberikan manfaat generasi mendatang.
(Kompas cetak, 30 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Belajar dari Negara Lain
Namun, dibandingkan perusahaan minyak dan gas bumi di belahan bumi lain, pendapatan bersih mereka juga rata-rata naik 40 persen. Kenaikan itu ternyata terutama ditopang kenaikan harga minyak mentah dunia. Pada saat sama, perusahaan migas Malaysia, Petronas, dan perusahaan migas Brasil, Petrobras, pendapatan bersihnya bahkan tujuh kali lipat Pertamina. Ilustrasi ini menunjukkan pentingnya belajar dari negara lain bagaimana mengapitalisasi cadangan minyak sehingga dapat mengembangkan ketahanan energi dalam negeri. Dengan perbandingan itu, akan diketahui apakah tata kelola migas Indonesia sudah tepat.
Tata kelola migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Dunia migas mengenal dua jenis tata kelola, yaitu kebijakan dua kaki fungsi dan kebijakan tiga kaki fungsi. Kebijakan dua kaki menggabungkan fungsi regulasi dan bisnis. Penganut kebijakan dua kaki antara lain Malaysia, Angola, Arab Saudi, Rusia, dan Venezuela. Kebijakan tiga kaki adalah pemisahan ketiga fungsi. Penganutnya antara lain Norwegia, Brasil, Aljazair, Meksiko, Nigeria, dan Indonesia.
Selain dua jenis tata kelola ini, sesudah tahun 1999, Angola, Rusia, dan Venezuela meletakkan fungsi kebijakan dan regulasi di bawah kementerian. Di Indonesia, fungsi kebijakan dijalankan pemerintah dan DPR. Fungsi operasi dijalankan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas. Sementara fungsi bisnis dijalankan Pertamina. Sekarang, yang menjadi perdebatan, apakah Indonesia hendak menganut kebijakan tiga atau dua kaki. Apakah perbedaan kebijakan itu berpengaruh pada produksi? Kajian terhadap model kebijakan ini telah dilakukan Mark C Thurber dan kawan-kawan dari Universitas Stanford dengan judul Mengekspor Model Norwegia: Pengaruh Desain Administrasi pada Kinerja Sektor Minyak (Energy Policy, 2011).
Lima negara yang dianggap bagus kinerja hulunya dalam studi ini adalah Norwegia, Brasil, Arab Saudi, Angola, dan Malaysia. Alasannya, pemerintah mereka mendukung eksplorasi dan produksi migas, baik finansial maupun nonfinansial, terlepas dari ada atau tidak adanya pemisahan ketiga fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Permasalahan utama itu adalah tata kelola yang terfragmentasi. BUMN yang mengelola migas Indonesia adalah Pertamina. Namun, sumbangan terhadap total produksi minyak siap jual Pertamina hanya 16-17 persen. Ditambah produksi minyak siap jual perusahaan migas swasta nasional, total sumbangan perusahaan migas domestik sekitar 23-24 persen.
Dibandingkan dengan perusahaan migas nasional di sejumlah negara di dunia, produksi Pertamina paling kecil. Saudi Aramco di Arab Saudi, yang terbesar, hampir 100 persen produksi terhadap minyak nasional. Petronas pun menyumbang 60 persen dari total produksi minyak nasional Malaysia. Dari kondisi itu terlihat ada kesalahan tata kelola migas yang sangat fatal. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengatur, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika diterjemahkan dalam tata kelola migas, tujuannya adalah meningkatkan produksi minyak siap jual.
Produksi minyak jual memerlukan tiga komponen. Pertama, modal sangat besar. Kedua, teknologi yang sangat kompleks. Ketiga, kemampuan mengelola risiko yang cukup baik. Tiga komponen itu hanya dimiliki perusahaan internasional. Perusahaan nasional Indonesia lemah dalam tiga hal ini. Akibatnya, jika produksi minyak jual yang memerlukan tiga komponen itu jadi tujuan, tentu saja tata kelola migas seolah-olah pro-asing.
Nasionalisme energi
Oleh karena itu, perlu suatu nasionalisme energi yang terukur. Tujuan tata kelola migas adalah membangun industri migas nasional, tetapi tetap menjaga keseimbangan produksi minyak siap jual sehingga tak anti-asing.
Agar suatu tata kelola migas berjalan baik, perlu strategi kompak atau strategi yang komprehensif. Hal inilah yang tak ada di Indonesia. Tak ada seorang pun atau tidak ada satu institusi pun di Tanah Air yang mengambil alih tanggung jawab strategi "perahu" migas ini mau dibawa ke mana.
Kembali ke pengalaman Norwegia, tahun 1969 ditemukan cadangan migas yang sangat besar di sana. Pemerintah Norwegia bukan mengundang investor atau perusahaan asing, melainkan mendirikan perusahaan migas nasional Statoil. Padahal, saat itu mereka belum mampu mengelola migas. Dengan sejumlah kegagalan, minyak baru bisa diproduksi tahun 1975-1976.
Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Norwegia itu adalah mereka menetapkan tujuan dari tata kelola migas, yaitu membangun industri migas nasional. Masalah yang terjadi itu bukan masalah transfer teknologi yang dapat dipelajari tiap hari, tetapi bagaimana mengelola harapan, yaitu bagaimana seluruh komponen bangsa mengerti bahwa kita sedang membangun suatu industri migas nasional. Karena itu, kita harus membayar mahal dengan APBN. Apa yang salah dengan industri migas nasional saat ini? Pengelolaan hasil pendapatan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rutin APBN. Tujuan utama Indonesia adalah tujuan miopik jangka pendek, yaitu produksi minyak siap jual yang cepat menghasilkan dana segar. Akibatnya, alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi cukup lama relatif terabaikan. Tidak ada dimensi upaya membangun industri pendukung, industri hulu, atau industri hilir.
Contohnya adalah dalam alokasi belanja modal. Belanja modal Petronas hampir sepuluh kali lipat Pertamina. Hal Ini bukan kesalahan Pertamina, tetapi kesalahan negara. Kesalahan itu antara lain dalam hal strategi mengelola modal. Jika Malaysia berorientasi pertumbuhan, Indonesia berorientasi pada laba.
Jika strategi mengelola modal berorientasi pada pertumbuhan, modal dari pendapatan bersih diinvestasikan kembali untuk mendukung pertumbuhan. Pertumbuhan yang dimaksud adalah pembangunan kapasitas, akuisisi riset dan teknologi, serta pembangunan budaya perusahaan. Modal itu juga untuk membiayai proyek-proyek baru. Misalnya, 70 persen laba Petronas dikembalikan ke Petronas sehingga eksekutif punya ruang merespons dinamika pasar karena belanja modal besar.
Laba Pertamina dari tahun 1965 hingga 2000-an yang dikembalikan sebagai investasi hanya 5 persen. Itu pun masih dipajaki. Artinya, Pertamina kekurangan modal secara kronis. Akibat dari kekurangan modal kronis dapat dilihat dari perbandingan antara lahan konsesi dan produksi. Lahan konsesi Chevron Indonesia Company, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asal AS, sekitar 5.000-7.000 km2. Lahan konsesi Total E&P Indonesie, KKKS asal Perancis, hanya 2.000-3.000 km2. Bandingkan dengan Pertamina yang memiliki lahan konsesi 140.000 km2.
Namun, produksi Chevron Indonesia Company mencapai 45 barrel per km per hari, Total E&P Indonesie 23 barrel per km per hari, sedangkan Pertamina hanya 0,9 barrel per km per hari.
Kesimpulannya, Pertamina perlu kapitalisasi. Lebih luas dari itu, perlu suatu strategi cerdas, sistematik, dan komprehensif. Yang paling penting lagi, perlu kepemimpinan yang berani, berintegritas, dan memberi inspirasi. Kepemimpinan itu diharapkan mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa sehingga strategi itu bisa ditransformasi ke implementasi yang efektif.
(Kompas cetak, 30 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Menyelamatkan Masa Depan
Banyak perang besar dan konflik tak berkesudahan disebabkan perebutan sumber minyak bumi. Sebagian sebabnya yaitu kenyamanan hidup yang tak mau diusik. Dalam Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992, Presiden Bush menegaskan, "Gaya hidup kami tidak untuk didiskusikan," saat membahas perubahan produksi dan konsumsi terkait penumpukan gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Meski ditemukan sumber- sumber minyak baru, kebutuhan akan melaju. Pun di Indonesia, yang penduduknya diprediksikan 290 juta pada 2030, dengan perkiraan 95 juta adalah orang kaya baru. Kesenjangan kebutuhan energi antarkelas sosial akan terus melebar. Menurut skenario ketahanan energi dalam Indonesia Energy Outlook (2010), pada 2020-2030, bauran energi final masih didominasi BBM 31 persen, gas bumi 23,7 persen, listrik 18,7 persen, batubara 15,2 persen, biomassa 6,1 persen, bahan bakar nuklir 2,1 persen, dan LPG 2,4 persen.
Perlu kepemimpinan
Pembangunan Indonesia tak bisa lagi hanya bersandar pada bahan bakar fosil dan impor minyak berkelanjutan. Selain menggerus neraca transaksi berjalan, ketahanan energi yang rapuh akan melemahkan perekonomian bangsa. Pertumbuhan kebutuhan energi dalam negeri akan berkompetisi dengan China dan India sehingga Indonesia akan semakin rentan terhadap guncangan pasokan eksternal. Karena itu, ketahanan energi berbasis sumber-sumber domestik yang ramah lingkungan menjadi persoalan kritis saat ini.
Energi terbarukan menjadi topik khusus dalam Asian Development Outlook 2013. Laporan Bank Pembangunan Asia itu mengingatkan, bila negara-negara di Asia tidak mengurangi ketergantungan pada BBM dan mengubah pola konsumsinya, impor minyak Asia diperkirakan naik hampir tiga kali lipat tahun 2035. Konsumsi BBM akan naik dua kali lipat, gas bumi tiga kali lipat, dan batubara naik 81 persen. Dampaknya akan sangat buruk bagi lingkungan dan perkembangan ekonomi.
Indonesia memiliki sejumlah sumber energi terbarukan. Namun, tak ada kebijakan komprehensif untuk sungguh-sungguh mengembangkan sumber energi alternatif. Padahal, Brasil, misalnya, berhasil memperkuat ketahanan energi dengan sumber- sumber domestik, di antaranya dengan teknologi pengolahan tebu menjadi energi bio yang harga per liternya 30-40 persen lebih rendah dari BBM.
Pengembangan sumber energi terbarukan domestik secara masif membutuhkan, antara lain, lahan luas. Tanpa dilengkapi tata kelola yang adil dan setara akan memicu konflik dengan pengadaan lahan untuk pangan. Di Indonesia, ada 17 institusi yang seharusnya bisa dikoordinasikan Menteri ESDM atau presiden langsung. Namun, dibutuhkan strategi dan kepemimpinan yang cerdas agar bisa diimplementasikan secara efektif dan memberikan inspirasi. Kemampuan menciptakan kebijakan komprehensif untuk mengatasi persoalan ini akan memberikan efek berganda, termasuk penghapusan kemiskinan tanpa bantuan langsung tunai, terciptanya lapangan kerja, dan pertumbuhan domestik.
Soal pilihan
Pemerintah memiliki rencana bauran energi primer yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional. Namun, sampai 2030 diperkirakan bauran sumber energi terbarukan domestik tak bisa mencapai 25 persen, sesuai visi 2025 yang dicanangkan Kementerian ESDM tahun 2011. Itu lebih tinggi dari target 17 persen menurut Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Salah satu penghambat pemberdayaan energi terbarukan ialah subsidi justru diberikan pada konsumsi BBM. Akibatnya, penggunaan energi terbarukan tidak menarik karena harganya mahal sebab biaya investasinya juga mahal. Padahal, bila bicara investasi masa depan jawabnya adalah energi terbarukan.
Menurut International Sustainable Energy Organization, biaya pengadaan energi terbarukan dari alam, seperti energi matahari, angin, air, arus laut, dan hidrogen, yang masih mahal saat ini justru akan semakin turun di masa depan. Adapun biaya energi tak terbarukan, seperti minyak, gas, batubara, dan nuklir, akan sangat mahal, apalagi kalau diperhitungkan dampaknya terhadap keselamatan manusia dan alam.
Pertanyaannya kembali pada soal pilihan antara yang benar dan yang mudah. Banyak orang bijak mengingatkan, bila kita mau yang serba mudah dan menghindari kesulitan, tak satu pun akan diperoleh. Jadi, silakan memilih!
(Kompas cetak, 30 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Caleg, Panggilan, dan Wawasan (Tajuk Rencana Kompas)
Namun, karena profesi ini bertautan erat dengan kepentingan publik, juga dengan kepentingan bangsa, pelaksanaan hak tersebut harus disertai dengan kriteria, syarat dan ketentuan, serta kode etik yang ketat.
Tanpa disertai apriori, kita ingin menuliskan beberapa catatan terkait dengan fenomena yang sebenarnya sudah dimulai semenjak beberapa pemilu terakhir, tetapi tampak semakin menguat.
Pesan bahwa kita jangan apriori juga digarisbawahi oleh politikus Partai Golkar, Tantowi Yahya. Ia mengatakan, anggota legislatif dari latar belakang aktivis memang diunggulkan, tetapi kualitas dan kemampuannya belum tentu baik, bahkan sebagian terlibat kasus hukum. Tidak sedikit pula anggota bukan artis yang tidak berkontribusi dalam sidang-sidang komisi atau paripurna. Sebaliknya, sosok seperti dirinya atau Dedi "Miing" Gumelar dari PDI-P, sekadar menyebut nama, termasuk yang dinilai berkinerja baik.
Kita sendiri berpandangan, bila proses perekrutan partai politik berlangsung secara sistematik dan konseptual, dalam arti tidak semata menjelang pemilu menjadikan pesohor sebagai jalan pintas untuk meraup suara pemilih, artis pun berpeluang untuk menjadi politisi berbobot.
Melalui perekrutan kader yang sistematik, parpol bisa mempersiapkan program untuk menggembleng kader dengan wawasan politik, ideologi, membekali mereka dengan pengetahuan tentang problem bangsa, dan menantang mereka untuk menemukan solusinya.
Ini proses yang dulu dilakukan politisi di era pergerakan. Bung Karno mendapatkan gemblengan dari para senior, kemudian ia melanjutkan tradisi itu dengan menggembleng kader PNI melalui kursus-kursus tentang paham kebangsaan dan lain-lain topik. Yang penting tidak saja untuk mengobarkan semangat kebangsaan, tetapi juga membentuk kader menjadi politisi yang kaya pengetahuan dan wawasan.
Dalam teori, kualitas atau kemampuan bisa lahir karena tiga hal. Pertama karena bakat, kedua oleh kursus kilat, dan ketiga karena upaya mengembangkan diri selama bertahun-tahun.
Kita berharap, para caleg—bukan saja dari kalangan pesohor, melainkan juga dari latar belakang lain—dapat memahami masalah ini sehingga saat sekarang maju sebagai caleg, yang menjadi latar belakang adalah panggilan hidup untuk mengemban tugas mulia tetapi berat ini.
Berat bukan semata kelak jika terpilih mereka harus siap menjalani proses legislasi melalui sidang dan debat panjang, melainkan karena mereka dituntut untuk punya visi, wawasan, dan pengetahuan memadai. Dengan semua itu, tidak saja partai pengusung yang akan bangga karena kadernya berbobot, tetapi bangsa pun bisa berharap akan lahirnya produk legislasi yang berbobot dan bermaslahat bagi bangsa dan negara.
(Tajuk Rencana Kompas, 30 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Senin, 29 April 2013
Pelanggaran Tak Ditoleransi (Tajuk Rencana Kompas)
Penegasan Kepala Staf TNI AD yang disampaikan akhir pekan lalu di Semarang, Jawa Tengah, itu segera dapat ditangkap sebagai komitmen karena secara jelas diikuti ajakan agar semua pihak memberikan kawalan atas penanganan setiap perkara yang melibatkan prajurit TNI AD dan memantau putusan yang diambil.
Secara terbuka, KSAD memberikan bukti konkret tentang proses hukum atas beberapa kasus yang melibatkan anggota TNI AD. Kasus penyerangan Markas Polres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, misalnya, dijelaskan sedang memasuki persidangan.
KSAD juga menyebutkan, 10 anggota TNI AD diperiksa dalam kasus perkelahian di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebanyak lima orang akan dijatuhi hukuman disipliner dan sisanya akan dilimpahkan ke pengadilan militer. Khusus kasus penyerangan ke LP Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, dikatakan masih dalam proses penyiapan berkas perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan militer.
Tidak kalah mengesankan ketika KSAD menyatakan, "Seluruh rakyat Indonesia perlu tahu, TNI AD pada dasarnya tak menoleransi anggotanya yang melakukan pelanggaran. Itu dapat dilihat dari sejumlah kasus yang ditangani sampai saat ini." Tentu saja ajakan KSAD agar rakyat perlu tahu tentang kedisiplinan TNI AD tidaklah tiba-tiba, tetapi mempunyai akar jauh dalam sejarah.
Secara historis, tentara dan rakyat tidak dapat dipisahkan. Tentara berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Sejarah juga memperlihatkan, tentara tidak hanya bertugas menjaga kedaulatan negara dan bangsa dari gangguan, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil.
Dengan panggilan tugas dan tanggung jawab yang tinggi, tentara senantiasa dituntut menjaga kedisiplinan, profesionalitas, dan kehormatan. Masuk akal jika KSAD menegaskan, tidak ada toleransi bagi anggota TNI AD yang melakukan pelanggaran. Sekalipun diarahkan kepada TNI AD, penegasan KSAD sesungguhnya berlaku untuk seluruh jajaran TNI dan sejumlah komponen masyarakat tanpa terkecuali. Dalam konteks kedisiplinan, segala bentuk pelanggaran tidak boleh ditoleransi.
Penegasan KSAD dapat diabstraksikan pada konteks lebih luas dalam pelaksanaan sistem hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia tidak boleh menoleransi pelanggaran. Kedaulatan hukum harus ditegakkan untuk menjamin rasa keadilan. Sudah sering disinggung, upaya penegakan hukum masih menjadi tantangan serius. Mafia hukum dan pengadilan masih merajalela, sementara bahaya hukum rimba semakin mengancam. Perlu terobosan serius agar persoalan hukum tidak semakin terpuruk.
(Tajuk Rencana Kompas 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
RUU Aparatur Sipil Negara (Eko Prasojo)
Sejak dua tahun lalu, DPR RI bersama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. RUU tersebut merupakan inisiatif komisi II DPR yang diharapkan menjadi salah satu fondasi reformasi birokrasi, khususnya di bidang sumber daya manusia.
Sejak awal pembahasannya hingga kini, RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan berbagai macam pro dan kontra. Sangat dipahami karena substansinya menyangkut perubahan sistem, manajemen, dan budaya pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya saat ini 4,45 juta. Apa sebenarnya tujuan dasar RUU ASN dan bagaimana tujuan-tujuan itu akan dicapai?
Melihat persoalan dasar
Salah satu pengungkit terbesar dalam reformasi birokrasi adalah perubahan SDM aparatur. Hal itu memang tidak mudah karena perubahannya tidak hanya meliputi sistem, struktur, dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, cetak pikir, dan perilaku birokrasi itu sendiri. Ada beberapa masalah dasar dalam SDM birokrasi Indonesia.
Pertama, soal belum tertanamnya budaya kinerja dan budaya pelayanan. Ukuran kinerja birokrasi pada umumnya belum terlalu konkret, belum terencana dengan baik, tidak terkait dengan hasil (outcome) juga dampak (impact), dan tidak berhubungan dengan sistem kompensasi. Jamak dalam berbagai diskusi seorang PNS sangat sulit diberhentikan karena alasan tidak tercapainya kinerja.
Kedua, pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi yang memiliki standar pelayanan profesi, kode etik profesi, dan pengembangan kompetensi profesi yang harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen SDM. PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tak dianggap sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang menjadi beban negara. Itu sebabnya dengan rasio PNS dibandingkan penduduk yang hanya 1,89 persen, keberadaan PNS dirasakan belum memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat.
Persoalan ketiga adalah kian besarnya gejala pengaruh politik, hubungan kekerabatan, hubungan ekonomi, dan berbagai relasi lain dalam manajemen SDM. Memang tak dapat digeneralisasi, tetapi gejalanya kian kuat. Proses rekrutmen dan pengisian/promosi jabatan di sebagian pemerintahan daerah lebih ditentukan relasi-relasi yang berdimensi politik, kekeluargaan/kekerabatan, dan ekonomi. Pengisian jabatan tak didasarkan pada kompetensi, hasil kinerja sebelumnya, dan kesesuaian kualifikasi yang dibutuhkan.
Gejala ini menyebabkan penurunan orientasi dan kinerja birokrasi pada pelayanan publik, di samping berbuntut panjang pada terbatasnya mobilitas PNS sebagai perekat NKRI. Kepala daerah pada umumnya lebih suka memilih para pembantunya dari daerah yang bersangkutan karena kedekatan, afiliasi politik, dan loyalitasnya, bukan karena kompetensinya.
Masalah dasar keempat adalah sulitnya menegakkan integritas dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang dalam birokrasi. Sebenarnya, persoalan utamanya adalah ketiadaan nilai dasar profesi yang dijadikan pedoman perilaku. Jika di beberapa jabatan dan instansi ada, nilai dasar itu belum terinternalisasi baik dalam diri PNS. Penyakit kejiwaan birokrasi (psycho-bureaupathology) pada dasarnya adalah penyakit sistem, bukan penyakit individual. Sistemlah yang membuat dan kadang memaksa individu berperilaku menyimpang. Sebenarnya cukup banyak masalah lain dalam birokrasi, tetapi penulisan ini membatasi pada keempat hal itu.
RUU ASN mencoba meletakkan beberapa perubahan dasar dalam manajemen SDM. Pertama, perubahan dari pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan administratif kepegawaian kepada human resource management yang menganggap adalah sumber daya manusia dan sebagai aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan baik. Kedua, perubahan dari pendekatan closed career system yang sangat berorientasi kepada senioritas dan kepangkatan, kepada open career system yang mengedepankan kompetisi dan kompetensi ASN dalam promosi dan pengisian jabatan.
Membangun sistem
Pada sisi lain, RUU ini menempatkan pegawai ASN sebagai sebuah profesi yang harus memiliki standar pelayanan profesi, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku profesi, pendidikan dan pengembangan profesi, serta memiliki organisasi profesi yang dapat menjaga nilai-nilai dasar profesi. Profesi ASN ini juga akan terdiri dari profesi-profesi spesifik yang lazimnya dikenal sebagai jabatan fungsional seperti dosen, guru, auditor, perencana, dan analis kebijakan. Menjadikan ASN sebagai sebuah profesi adalah upaya untuk membentuk profesionalisme setiap birokrat yang bekerja untuk negara dan masyarakat. Karena itu, kelak jika RUU ASN ini sudah ditetapkan, setiap birokrat harus memiliki standar pelayanan profesi, melaksanakan nilai dasar kode etik profesi, dan wajib mengembangkan keahlian profesinya secara periodik.
Untuk memperkuat sistem merit dalam birokrasi, pegawai ASN kelak akan terdiri dari PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan basis utama kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Berbeda dengan istilah pegawai honorer atau pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS. Dengan kata lain, RUU ini menegaskan tidak semua pegawai yang bekerja untuk pemerintah harus berstatus PNS, tetapi dapat berstatus pegawai kontrak berjangka waktu. Pembentukan PPPK bertujuan menciptakan budaya kerja baru di kalangan birokrat yang meletakkan pengangkatan, pengisian jabatan, pemberian kompensasi/remunerasi, dan pemberhentian pegawai berdasarkan kompetensi yang dimiliki, bersifat kompetitif, dan berbasis kinerja.
RUU ini juga meletakkan dasar kompetisi terbuka di antara PNS dalam proses pengisian jabatan, khususnya eselon I dan II yang kelak disebut jabatan pimpinan tinggi (JPT). Proses pengisian jabatan dalam birokrasi akan menganut sistem promosi terbuka, yang saat ini oleh Gubernur DKI Jakarta disebut "lelang jabatan". Jika RUU ASN ditetapkan, pengisian JPT baik di pusat maupun di daerah akan dilakukan secara terbuka atau "dilelang" di antara PNS yang memenuhi syarat-syarat jabatan dan standar kompetensi jabatan.
Dengan demikian, PNS daerah dapat memiliki kesempatan duduk dalam jabatan-jabatan di tingkat pusat maupun di daerah lainnya. Cara "lelang" jabatan ini diharapkan dapat memperkuat kompetisi di antara PNS, menggerakkan pengetahuan dan mobilitas PNS, serta memperkuat implementasi NKRI. Beberapa pokok pengaturan lain dalam RUU ASN antara lain menyangkut sistem dan struktur penggajian berbasis kinerja dan pemberhentian pegawai karena tak tercapainya kinerja dalam beberapa tahun berturut-turut, serta kewajiban re-apply (melamar ulang) bagi pejabat yang telah menduduki jabatan selama lima tahun untuk duduk kembali pada jabatan yang sama. Karena keterbatasan ruang penulisan, ada sejumlah perubahan penting dalam RUU ASN yang tak dapat dijelaskan. Semoga RUU ASN dapat menjadi fondasi penting bagi perubahan birokrasi Indonesia.
Eko Prasojo Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Membangun Politik Bersih (Wijayanto Samirin)
Pada Mei 2010, Anas Urbaningrum begitu mendominasi berita politik nasional. Politisi muda itu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang meraup 20 persen lebih suara pada Pemilu 2009.
Saat itu, karier politik Anas tampak benderang. Kini, nama Anas kembali mendominasi berbagai media, tetapi dengan nuansa teramat lain. Ia menjadi tersangka kasus korupsi besar.
Berita itu seolah menjadi justifikasi, politik itu kotor. Bayangkan, dalam dua minggu KPK menetapkan ketua umum dua partai politik besar sebagai tersangka kasus korupsi. Penetapan Anas sebagai tersangka seolah kelanjutan dari sejumlah kasus korupsi politik yang melibatkan sosok-sosok potensial. Tidak hanya itu, kasus Anas diprediksikan menjadi kunci pembuka kotak pandora korupsi masif di dunia politik negeri ini.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, tentu saja hal ini sebuah sukses. Namun, terkait upaya membangun demokrasi, hal itu tamparan besar. Perdebatan tentang demokrasi substantif atau prosedural akan segera berakhir mengingat fakta-fakta terbaru menunjukkan, demokrasi yang kita miliki jauh lebih buruk dari sekadar demokrasi prosedural. Ia adalah demokrasi primitif yang tidak lebih dari sebuah kontes perebutan kekuasaan, dan uang menjadi senjata utama untuk bertanding dan memenangi kompetisi.
Ruang kotor
Negara ibarat sebuah rumah yang terdiri dari sejumlah ruang yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Tanpa keberadaan ruang-ruang itu, rumah tak akan berfungsi baik. Bahkan, tanpanya, sebuah bangunan tidak layak untuk disebut rumah.
Ruang terdepan dan terbersih pada umumnya ruang tamu. Dalam konteks negara, ia diwakili oleh perguruan tinggi dan masyarakat sipil. Mereka berbicara tentang konsep, teori, dan nilai-nilai luhur sehingga menjadi bersih adalah suatu kewajaran.
Ruang berikutnya ruang makan yang biasanya lebih kotor daripada ruang tamu. Sering kita temui sisa makanan tercecer. Dalam konteks negara, ia adalah dunia usaha dengan mesin ekonomi bergerak dan mendistribusikan kue ekonomi kepada rakyat. Di dalamnya terdapat banyak transaksi yang diatur regulasi pemerintah dan standar profesi.
Selanjutnya dapur yang pada umumnya lebih kotor daripada kedua ruang di atas, tempat makanan diolah. Di sana terdapat sampah, asap, dan tumpahan minyak. Dalam suatu negara, ia adalah pemerintah dan birokrasi, tempat berbagai kebijakan diterapkan dan dimonitor. Ia memegang otoritas dan monopoli atas berbagai fungsi negara.
Terakhir adalah kamar kecil. Ia biasanya lebih kotor dibandingkan seluruh ruang yang ada, tempat berbagai hal yang tidak layak ditonton publik terjadi. Dalam suatu negara, ia adalah dunia politik tempat berbagai kepentingan bertarung yang pada umumnya melibatkan kontes kekuatan politik dan lobi.
Meski relatif kotor, kita semua memerlukan proses politik. Sama halnya sebuah rumah perlu kamar kecil, apalagi dalam sebuah negeri yang terdiri atas beragam kelompok dan kepentingan. Sejarah membuktikan, proses politik adalah cara paling teruji untuk membicarakan perbedaan, mencari persamaan, dan menyusun tujuan bersama.
Adalah tuntutan yang berlebih jika berharap dunia politik sama bersih dengan dunia pendidikan atau dunia usaha. Di berbagai belahan dunia, fakta membuktikan, ruang politik selalu relatif lebih kotor daripada ruang-ruang yang lain. Di negeri dengan birokrasi dan sektor swasta yang bersih seperti Jepang, Korea, Swedia, Finlandia, dan Norwegia, dengan mudah kita temukan berbagai skandal korupsi politik dalam berbagai skala.
Politik punya karakteristik khas dan cenderung koruptif. Mewujudkan dunia politik yang bebas dari "kotoran" tidaklah mungkin, tetapi perlu diupayakan menjaga agar tingkat kekotoran itu masih bisa diterima akal sehat dan tak merusak. Banyak hal bisa diterapkan, termasuk membatasi biaya kampanye, mendorong transparansi keuangan partai, memberikan bantuan dana melalui APBN, dan lain sebagainya. Namun, cara-cara itu punya banyak loop holes yang dapat dengan mudah dimanfaatkan.
Oligopoli politik
Melihat situasi Indonesia saat ini, strategi yang paling mungkin diterapkan adalah mengurangi monopoli atau oligopoli partai, termasuk proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Fenomena ekonomi menunjukkan, monopoli dan oligopoli selalu berdampak pada kenaikan harga yang akan merugikan konsumen. Dalam konteks politik Indonesia, biaya tinggi ini akan merugikan konsumen tingkat satu, yaitu para politisi. Mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk membangun karier politik. Juga konsumen tingkat kedua, yaitu rakyat yang kepentingannya akan semakin dikorbankan.
Monopoli dan oligopoli oleh partai besar bisa dikurangi dengan meniadakan ambang batas pencalonan presiden 20 persen atau dengan melakukan pemilihan presiden dan legislatif pada saat yang bersamaan. Hal ini akan mengurangi biaya dan memperbaiki proses politik secara keseluruhan. Upaya ini belum terlambat untuk dilakukan pada Pemilu 2014, yang tentunya diperlukan proses uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Bila ini berhasil diwujudkan, semua pihak akan diuntungkan, terutama rakyat, termasuk para politisi. Adapun mereka yang akan merasa dirugikan adalah para elite partai besar yang sudah berinvestasi "membeli" tiket guna bertarung dalam Pilpres 2014. Para elite itu semestinya paham, investasi selalu mengandung risiko, dan investasi politik adalah investasi yang paling berisiko.
Upaya perbaikan sangat mendesak untuk dilakukan. Kita yang saat ini punya kekuatan untuk mendorong perubahan harus turut mengupayakannya, atau kita akan dipersalahkan oleh generasi mendatang sebagai generasi yang melakukan pembiaran atas terjadinya pembusukan politik di negeri ini. Politik yang relatif bersih masih mungkin kita wujudkan asal kita mau memanfaatkan kesempatan.
Wijayanto Samirin Deputi Rektor Universitas Paramadina; Co-founder and Managing Director Paramadina Public Policy Institute
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Kecanduan BBM (Will Hickey)
Indonesia sangat "kecanduan" dengan penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi.
Pengalihan BBM ke energi alternatif sangat sulit, bahkan tidak mungkin terjadi meskipun telah banyak penelitian tentang energi alternatif oleh institusi-institusi di Indonesia. Saat terjebak macet di Yogyakarta, Bandung, atau saat duduk menunggu di Bandara Soekarno-Hatta, keadaan ini mengingatkan kita akan "kecanduan" masyarakat Indonesia pada BBM. Penggunaan yang berlebihan ini tidak sebanding dengan perkembangan penemuan energi alternatif yang berjalan lambat.
Subsidi produsen
"Kecanduan" ini juga tampak sangat jelas pada subsidi BBM konsumen (lebih dari 10 persen GDP negara saat ini), di mana sebagian besar permasalahan yang timbul dimulai dari subsidi BBM produsen. Subsidi BBM produsen bukanlah istilah yang umum dalam bidang ekonomi, fiskal, dan sektor energi. Istilah subsidi di Indonesia umumnya mengacu ke subsidi hilir, dan secara khusus disebut sebagai subsidi harga BBM (yang merupakan kesenjangan antara harga pasar dan harga domestik).
Peraturan di Indonesia tidak menjelaskan perbedaan tentang kedua subsidi ini. Dalam bidang akuntansi, fiskal, dan energi, hal yang mengarah pada subsidi produsen tidak diklasifikasikan sebagaimana seharusnya. Istilah subsidi produsen dan subsidi konsumen yang tidak jelas ini mengakibatkan penelitian terhadap subsidi BBM produsen sangat sulit di Indonesia.
Subsidi produsen terkadang diistilahkan "insentif/hibah pemerintah di tingkat hulu", bertujuan untuk menjembatani kesenjangan persepsi masyarakat Indonesia. Penurunan investasi dari pihak asing dalam sektor minyak dan pertambangan akhir-akhir ini akan membuat masyarakat percaya bahwa insentif pemerintah mulai berkurang dan kehilangan daya tarik bagi para investor asing.
Ini hanya isu politik sementara. Isu subsidi (insentif) sektor minyak dan pertambangan akan berkembang lagi ketika isu-isu politik (pemilu presiden mendatang, pembubaran BP Migas, pajak ekspor bahan baku mentah, dan hak kontrak penambangan) diselesaikan setelah 2014.
Namun, debat subsidi BBM konsumen lebih intens daripada subsidi BBM produsen karena kurangnya informasi dan data. Dalam beberapa tahun terakhir, para ekonom dan institusi, seperti IMF dan Bank Dunia, mendorong untuk mengurangi jumlah subsidi BBM konsumen. Tentu saja kemungkinan perjanjian pengurangan subsidi BBM produsen juga dimungkinkan terjadi meskipun tidak dalam tingkatan yang sama pentingnya dengan pengurangan subsidi konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh politik dan lobi-lobi besar perusahaan minyak dan pertambangan di dalam pemerintah atau institusi ini.
Meski demikian, subsidi konsumen yang telah dijanjikan tak dapat ditarik kembali. Seperti yang terjadi tahun lalu di Indonesia dan Nigeria, usaha perubahan politik subsidi seperti menaikkan harga-harga tak berjalan sesuai harapan. Perubahan subsidi ini malah memicu kerusuhan dan konflik dengan polisi.
Kebijakan subsidi BBM telah jadi hak milik setiap orang saat ini, terutama di negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Sementara permintaan BBM dari institusi asing, seperti kantor-kantor yang nyaman (jauh dari kemacetan, atau banjir) di London atau Wina, bertentangan dengan kondisi masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup di Pontianak atau Manado. Realitas tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada.
Subsidi harga BBM untuk sektor industri dicabut pada 2005. Awalnya kebijakan ini terlihat sangat bermanfaat, tetapi banyak pendapat yang sangat berbeda di sini dan terus-menerus diperdebatkan setelah beberapa tahun kemudian. Sampai saat ini, entah bagaimana sektor industri masih mendapatkan BBM bersubsidi yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat umum.
Sebagai contoh, pertama, dalam praktiknya Pemerintah Indonesia dapat membuat pengecualian dalam penyediaan BBM bersubsidi untuk transportasi ke daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau meskipun volume pengurangan ini tidak terlalu signifikan. Permasalahan ini sangat jarang diperbincangkan.
Kedua, memilah bagian yang diklasifikasikan dalam sektor industri tidak mudah. Bukankah truk-truk pengangkut milik industri seharusnya diklasifikasikan sebagai truk sektor industri? Dalam praktiknya, truk- truk itu mendapatkan solar bersubsidi. Interpretasi dan klasifikasi alat transportasi dan logistik harus dilakukan secara spesifik. Hal yang sama, Indonesia mendistribusikan solar bersubsidi untuk kapal-kapal kargo dan kapal-kapal kecil (sekali lagi, pemahaman tentang klasifikasi kapal-kapal industri dan kapal-kapal kecil harus diperjelas).
Subsidi BBM dan gas terbesar di Indonesia adalah bagi pihak kontrak bagi hasil. Namun, informasi mengenai pihak tersebut tidak mudah didapatkan. Bahkan, meskipun ada informasi, tidak lengkap. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 beserta putusan pembubaran BP Migas pada November 2012.
Pemerintah Indonesia wajib memiliki daftar lengkap mengenai aturan dan tata cara untuk menjalankan serta mengembangkan bagi pihak dengan kontrak bagi hasil tersebut. Hal ini sangatlah penting karena subsidi bagi kontrak bagi hasil adalah kesenjangan pemahaman dalam pasar bahan bakar mineral di Indonesia. Akan lebih bermanfaat dengan mengetahui adanya daftar batasan dan ketentuan kontrak bagi hasil karena setidaknya masyarakat akan menjadikan daftar tersebut sebagai patokan. Patokan-patokan ini yang nantinya akan bisa dijadikan landasan pengambilan keputusan untuk ketentuan dan batasan untuk kontrak bagi hasil.
Tidak hanya pada kontrak bagi hasil, tetapi subsidi bagi produsen juga mencangkup insentif pajak hingga saham kepemilikan terhadap pertambangan lepas pantai, kredit dan dukungan pembiayaan, kebijakan harga untuk pasar lokal, insentif tarif impor dan ekspor, saham istimewa BUMN, dan perlakuan istimewa untuk pemerintah lokal. Seperti dapat kita lihat, subsidi yang tidak diklasifikasikan tersebut dapat dengan mudah membayangi subsidi konsumen.
Isu ini tidak melulu tentang BBM. Indonesia, berbeda dengan negara-negara lain, meningkatkan kemandiriannya dengan membangun pabrik-pabrik pembangkit listrik batubara. Pembangkit listrik batubara memiliki tingkat polusi sangat tinggi dan tidak sehat. Sebagai tambahan, terdapat subsidi de facto dalam batubara yang tidak terlihat, seperti tidak menegakkan keamanan dan peraturan daerah tentang lingkungan, serta pertambangan ilegal yang mengenyampingkan pajak dan royalti yang harus dibayarkan.
Subsidi listrik
Subsidi listrik di Indonesia juga patut dipertimbangkan. Contoh konkret pemborosan listrik di Indonesia dapat dilihat di kawasan Jalan Sudirman atau Cilandak. Di wilayah ini banyak gedung tinggi berpendingin udara (air conditioner/AC) terbaru sekelas Haier, Samsung, dan Carrier dengan listrik yang besar.
Masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah di Australia atau Kanada bahkan tak akan membuang listrik untuk keperluan AC dan tak akan mengutamakan AC sebagai kebutuhan utama mereka. Bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia menggunakan listrik secara berlebihan dan sangat tidak efisien walaupun sebenarnya biaya penggunaan listrik melebihi daya beli mereka.
Pemerintah Indonesia tetap bersikeras menerapkan subsidi. Hal ini memunculkan kontradiksi terhadap perlakuan pemberian subsidi kepada produsen. Sebutlah subsidi yang begitu banyak kepada BUMN, menjual suplai energi (bahan bakar fosil) di bawah harga pasar kepada perusahaan lokal tertentu, pembayaran royalti dan pajak-pajak sumber daya yang tak dipungut, pengalihan sumber daya untuk pasar obligasi domestik, pengurangan biaya produksi, dan penafsiran nilai yang tidak akurat. Akibat dari banyaknya kontradiksi dan kebocoran itu tentu saja mencerminkan peluang untuk korupsi, penyelundupan, dan kolusi.
Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk merespons kejadian ini? Sayangnya, pemerintah lebih memilih untuk terus menggunakan ketentuan dan peraturan demi stabilitas politik jangka pendek melalui kekayaan. Bangunan terbaru Jasa Marga dan bandar udara yang mewah serta dengan semakin banyaknya pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil sesungguhnya mengindikasikan meningkatnya ketergantungan dan bukan mengurangi ketergantungan. Pasar bahan bakar fosil di Indonesia sangat tidak efisien.
Meski demikian, sebelum mengambinghitamkan subsidi bagi konsumen, akan lebih baik untuk mengidentifikasi subsidi bagi produsen yang sangat sia-sia, yang sudah diketahui dengan jelas sangat banyak jumlahnya.
Will Hickey Associate Professor and Chair of Global Management Solbridge International School of Business, Daejeon, Korea
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
RUU Pilkada dan Pemda (Ramlan Surbakti)
DPR dan pemerintah dewasa ini tengah membahas RUU Pilkada, tetapi sama sekali tidak dikaitkan dengan efektivitas pemerintahan daerah. Kalau demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan untuk rakyat, RUU Pilkada yang mengatur sistem pemilihan umum kepala daerah perlu didesain demi efektivitas pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah yang efektif ditandai sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama, kebijakan publik daerah yang disepakati oleh kepala daerah dan DPRD sesuai aspirasi warga daerah.
Kesesuaian antara kebijakan publik yang ditetapkan dan aspirasi warga daerah terlihat pada dua tataran. Anggota DPRD dan pasangan calon kepala daerah terpilih dalam pemilu berarti alternatif kebijakan publik yang ditawarkan pada masa kampanye sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar warga daerah. Pada tataran berikutnya, proses pembahasan rencana kebijakan publik itu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.
Kedua, kebijakan publik daerah tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga manfaatnya dapat dirasakan warga daerah. Dengan demikian, kesejahteraan warga sebagai tujuan pemerintahan daerah terwujud.
Pemilu lokal serentak
Sekurang-kurangnya enam aspek infrastruktur politik perlu diciptakan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif. Dari enam unsur sistem pemilu, yang dipandang berkaitan erat dengan keenam "infrastruktur" politik tersebut adalah pola kalender waktu penyelenggaraan sejumlah jenis pemilu.
Dari enam pola kalender pemilu di dunia ini, tampaknya pola pemilu nasional serentak dipisah dari pemilu lokal serentak selang waktu 24-30 bulan, yang paling mampu menciptakan keenam aspek infrastruktur politik daerah tersebut.
Pemilu nasional serentak (pemilu presiden/pilres dan pemilu anggota DPR dan DPD) sudah dapat dilaksanakan pada 2019 tanpa memerlukan penyesuaian yang berarti. Adapun pemilu lokal serentak (pemilu kepala daerah/pilkada dan pemilu anggota DPRD, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota) dapat dilaksanakan pada 2021 setelah melewati sejumlah penyesuaian berdasarkan konsensus nasional pada masa transisi.
Infrastruktur politik yang perlu diciptakan itu, pertama, adalah demokratisasi politik lokal dalam dua aspek: (a) partai politik yang memiliki kursi di DPRD secara terus-menerus akuntabel ("takut" ditinggal pemilih) kepada konstituen, dan (b) pemilih memiliki akses secara berkelanjutan menyatakan hasil penilaian terhadap kinerja partai dan kadernya dalam bentuk "punishment and reward'" (dipilih lagi kalau kinerjanya dinilai bagus, dan meninggalkan partai tersebut kalau kinerjanya dinilai buruk). Karena dalam lima tahun diselenggarakan dua kali pemilu (nasional dan lokal), maka tidak hanya partai politik yang harus terus-menerus memelihara dukungan dari konstituen, tetapi juga pemilih memiliki kesempatan menyatakan penilaian atas kinerja partai dan kadernya dalam pemerintahan nasional ataupun daerah.
Kedua, rencana kebijakan publik yang diajukan kepala daerah kepada DPRD mendapatkan dukungan solid dari DPRD. Karena kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota DPRD dipilih pada hari, jam, dan TPS yang sama, partai politik punya waktu cukup panjang mempersiapkan koalisi dua atau tiga partai atas dasar kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan kesepakatan calon kepala daerah. Koalisi yang akan terbentuk tidak bersifat transaksional, melainkan bersifat transformatif.
Dalam sejumlah kajian yang dilaksanakan di beberapa negara, muncul fenomena coat-tale effect. Artinya, kalau pemilih memberikan suara kepada kepala daerah yang dicalonkan oleh Partai X, dia juga cenderung memilih Partai X untuk DPRD. Apabila suatu koalisi partai memenangi pemilu lokal, yang dimenangi tak saja jabatan kepala dan wakil kepala daerah, tetapi juga mayoritas DPRD. Karena itu, dukungan yang solid dari DPRD pada rencana kebijakan publik yang diajukan kepala daerah akan dapat terjamin, tidak saja karena kepala daerah dan mayoritas anggota DPRD berasal dari suatu koalisi yang solid, tapi juga karena rencana kebijakan publik tersebut merupakan penjabaran visi, misi, dan program koalisi.
Infrastruktur ketiga, jumlah partai politik di DPRD tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak terlalu sedikit. Partai yang terlalu banyak di DPRD menyebabkan saluran aspirasi rakyat akan sangat terfragmentasi sehingga kesepakatan yang muncul bukan demi masyarakat daerah, melainkan bersifat kolutif alias bancakan antarpartai. Jumlah partai politik yang terlalu sedikit di DPRD akan menyebabkan aspirasi sejumlah kelompok masyarakat tak terwakili dalam perumusan kebijakan publik.
Jumlah parpol di DPRD dapat berkurang, tidak hanya dengan ambang batas masuk DPRD, tapi juga karena pemilu lokal serentak tersebut. Berdasarkan perilaku memilih yang disebut coat-tale effect tersebut, jumlah partai di DPRD akan berkurang secara alamiah. Pengurangan partai dengan cara ini malah lebih "demokratis" daripada dengan ambang batas. Sebab, yang pertama tidak menimbulkan suara sah terbuang, sedangkan yang kedua menimbulkan suara sah terbuang.
Keempat, kepala daerah memiliki kapasitas kepemimpinan politik dalam tiga hal: (a) kemampuan menggalang seluruh partai, unsur masyarakat, dan pemilih untuk menyepakati suatu kebijakan publik, serta untuk mendukung pelaksanaan kebijakan publik tersebut; (b) kemampuan memilih pasangan, wakil kepala daerah, yang menempatkan diri sebagai orang kedua yang loyal kepada kepemimpinan kepala daerah; dan (c) kemampuan mendelegasikan sejumlah tugas dan kewenangan yang tepat kepada wakil kepala daerah, tapi tetap ada di bawah tanggung jawab kepemimpinan orang pertama.
Dua pihak yang akan menentukan apakah kepala daerah terpilih memiliki kapasitas kepemimpinan politik atau tidak, yaitu seleksi yang dilakukan oleh partai baik pada tataran pengurus (tim seleksi) maupun pada tataran anggota (pemilihan pendahuluan), dan kemampuan pemilih menilai calon yang memiliki kapasitas kepemimpinan politik. Karena koalisi dapat dipersiapkan dalam waktu memadai atas dasar kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan kepemimpinan calon, maka pemilu lokal serentak ini diperkirakan memungkinkan kemunculan kepala daerah yang memiliki kapasitas kepemimpinan tersebut.
Infrastruktur kelima adalah calon wakil kepala daerah dipilih satu pasangan dengan calon kepala daerah melalui pemilihan umum. Namun, calon wakil tidak diajukan oleh partai politik, tetapi ditentukan sendiri oleh calon kepala daerah yang sudah dinyatakan memenuhi syarat. Mekanisme seperti ini tak hanya akan menjamin loyalitas orang kedua kepada kepemimpinan orang pertama, tetapi juga efektivitas pemerintahan daerah.
Keenam, proses penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tinggi akan dapat dilihat pada dua hal berikut: (a) pemilu diselenggarakan berdasarkan asas-asas pemilu demokratis, (b) derajat partisipasi pemilih yang tinggi, jumlah suara tidak sah rendah, dan integritas hasil pemilu (hasil pemilu yang ditetapkan KPU sesuai suara pemilih senyatanya), dan (c) pemilu diselenggarakan secara efisien.
Lebih berkualitas dan efisien
Pemilu yang diselenggarakan dua kali dalam lima tahun dengan selang waktu 24-30 bulan akan melahirkan pemilu yang lebih berkualitas. Sebab, pemilu dapat dipersiapkan secara lebih saksama, baik oleh peserta dan penyelenggara maupun oleh pemilih, sehingga partisipasi pemilih lebih besar, jumlah suara tak sah semakin sedikit, dan integritas hasil pemilu lebih terjamin.
Tak kalah penting adalah efisiensi dana. Kalau sebelumnya negara harus mengeluarkan tiga kali honorarium untuk sekitar 5 juta petugas di tiga pemilu lokal yang terpisah, dengan pemilu lokal serentak negara hanya mengeluarkan satu kali honor untuk 5 juta petugas tersebut. Efisiensi dana tak hanya untuk donor petugas, tetapi juga dalam pengadaan dan distribusi berbagai kelengkapan administrasi proses pemungutan dan penghitungan suara.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Sabtu, 27 April 2013
Saran Terobosan Ujian Nasional (Tajuk Rencana Kompas)
Belum terlihat program terobosan, tetapi telah mencuat lagi silang pendapat tentang perlu atau tidaknya ujian nasional. Di tengah polemik itu, Badan Pemeriksa Keuangan menyarankan, proses tender, penggandaan, dan distribusi naskah soal ujian nasional diserahkan kembali kepada provinsi masing-masing seperti tahun-tahun lalu.
BPK juga mengusulkan, penyiapan materi, pengamanan, pemantauan, dan proses evaluasi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Masukan BPK dinilai penting di tengah masih lemahnya keinginan dan upaya mencegah terulangnya kekisruhan Ujian Nasional 2013.
Sampai sekarang, pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, belum menjelaskan kepada publik langkah taktis dan strategis untuk mencegah kekisruhan pelaksanaan ujian nasional di tahun-tahun mendatang.
Tentu saja masyarakat akan tetap bingung jika tidak ada kejelasan dan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah terulangnya kekacauan ujian nasional. Sungguh menarik pula mengamati perilaku masyarakat dalam menanggapi kekisruhan pelaksanaan ujian nasional. Semua mengeluh dan mengecam, tetapi tidak terlihat desakan kuat ke arah upaya perbaikan.
Persoalan kekacauan Ujian Nasional 2013 tentu saja bukan sekadar masalah kedodoran percetakan dan distribusi naskah soal ujian, tetapi lebih menyangkut visi dan manajemen pendidikan nasional yang kedodoran. Segera kelihatan pula bagaimana penyelenggaraan pendidikan dilakukan dalam kultur yang sama sekali tidak mendukung. Naskah soal ujian begitu gampang dibocorkan, yang memperlihatkan rendahnya kualitas kejujuran.
Tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Penyelesaian soal teknis, seperti percetakan dan distribusi naskah soal ujian, tentu saja penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana meletakkan sistem pendidikan dalam orientasi untuk kepentingan penguatan sumber daya manusia Indonesia.
Pengalaman banyak negara membuktikan, kemajuan tidak pertama-tama datang dari sumber daya alam, tetapi dari sumber daya manusia. Keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan selalu berpijak pada sumber daya manusia yang terdidik. Peluang mencetak sumber daya manusia berkualitas sangatlah terbuka bagi bangsa Indonesia. Alokasi dana pendidikan tergolong tinggi.
Jelas pula, proyeksi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi tinggi tahun 2030 menjadi ilusi jika pendidikan tidak segera dibenahi. Orientasi pendidikan bangsa Indonesia dikhawatirkan akan kacau dan kedodoran jika terus dibiarkan menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik, kekuasaan, dan bisnis, tanpa memperhatikan masa depan generasi muda Indonesia yang menjadi taruhannya.
(Tajuk Rencana Kompas, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Fenomena Kebinekaan (Sjamsoe’oed Sadjad)
Kebinekaan bangsa saat ini jadi isu nasional yang dominan. Mungkin hal itu disebabkan sering terjadi benturan fisik dari yang sangat lokal seperti tawuran siswa dan mahasiswa sampai yang lebih luas seperti tawuran antardesa dan antarkesatuan.
Banyak komentar bermunculan, dari yang mendasarkan pada persoalan ekonomi yang bineka hingga yang lebih mengerikan menyangkut mentalitas anak bangsa yang sakit. Sejumlah saran memang dilontarkan, seperti perbaikan pendidikan dengan pembaruan kurikulum dan juga yang paling sederhana seperti anjuran meningkatkan toleransi.
Sebagai anak bangsa, kesadaran saya akan adanya kebinekaan bangsa baru semenjak mengenal lambang negara, Garuda Pancasila. Terpampang di kaki garuda semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Tanpa ada gereget untuk memperdalam arti dan maksudnya, saya hanya mengartikan bahwa perbedaan agama, suku, dan adat dalam bangsa ini harus bisa dipersatukan menjadi satu bangsa ialah bangsa Indonesia.
Saya pahami istilah-istilahnya secara sederhana yang perbedaan itu perlu menjadi tunggal ika yang berarti satu. Jadi, istilah "ika" dipahami sebagai "eka", padahal pemahaman itu sesudah dipikirkan lebih lanjut tentunya salah. Sebab, istilah "tunggal" itu sudah berarti satu. Tidak mungkin kalau pencipta semboyan dalam suatu lambang negara memerlukan dua kata untuk memberi arti "satu".
Arti "ika"
Sudah lama sekali saya ingat ada tulisan (entah di mana) tentang arti istilah "ika", tetapi sayang tak sedikit pun teringat di kepala saya. Hanya barangkali bisa menjadi pegangan saya bahwa istilah "ika" yang menjadi manunggalnya kebinekaan anak bangsa ini tidak berarti jelek.
Untuk memperkuat keyakinan ini saya coba mencari arti istilah "ika" dari buku-buku koleksi saya. Pertama saya mencari dari kamus bahasa Latin, tidak saya temukan. Dari kamus bahasa Belanda, Inggris, Jepang—yang barangkali memengaruhi pencipta lambang Garuda Pancasila mengunduh istilah "ika" dari bahasa-bahasa itu mengingat pengaruh zamannya—juga tidak ada.
Istilah 'ika" saya temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kata-kata "ikamah", sedangkan istilah "ika" saja tidak saya temukan. Bahkan, saya telusuri dengan menggantikan huruf "k" dengan huruf mati lainnya, mulai dari "iba" sampai dengan "iza" yang barangkali mendekati pengertian istilah "ika", juga tidak ada.
Istilah "ikamah" diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai seruan terakhir untuk memulai sembahyang. Saya simpulkan, istilah "ika" tentu mengandung arti yang baik.
Belum puas sampai di situ, saya cari arti "mah" dalam kamus itu yang diberi keterangan dari kata "maha" dengan contoh "mahraja" sama dengan "maharaja". Saya kaitkan juga pencarian saya untuk mengerti istilah "ika" secara harfiah dengan kata-kata "mahardika" yang berarti "berbudi", "luhur". Jadi barangkali ada hubungan arti "ika" dengan "budi" dan "keluhuran".
Saya telusuri juga barangkali kata "ika" merupakan bahasa Jawa Kuno yang bisa saya temukan dalam buku Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie karangan Prof C van Vollenhoven (1918), tetapi tidak saya temukan istilah itu. Apa boleh buat, mudah-mudahan ada yang bisa mengungkapkan arti "ika" dari sumber lain dan menuliskan di harian Kompas. Redaksi barangkali juga bisa menemukan, atau siapa tahu yang pernah saya baca puluhan tahun lalu itu justru tulisan di harian ini.
Memprihatinkan
Terlepas dari pencarian pengertian istilah "ika", masalah kebinekaan bangsa ini kiranya perlu kita renungkan lebih mendalam karena sudah menjadi keprihatinan luas. Kebinekaan bangsa ini sudah takdir dan harus bisa diresapi keindahannya.
Sesuatu yang serba mono tidak selalu indah karena tidak terwujud harmoni. Sebuah lukisan yang merangkai berbagai bentuk dan warna menimbulkan harmoni yang dapat berupa keindahan yang bisa dinikmati, bahkan mewujudkan ketenteraman bagi yang dapat merasakan.
Kehidupan pribadi seseorang juga memerlukan kebinekaan. Hari demi hari kalau diperhatikan terjadi kebinekaan juga dalam kehidupan. Hidup monoton, kata orang, cepat buat mati. Secara falsafati, sakit pun perlu disyukuri karena bisa merasakan nikmatnya sehat. Dalam keluarga pun selalu ada kebinekaan. Karakter masing-masing anggota keluarga tidak mesti sama.
Kebinekaan itu menimbulkan harmoni yang menenteramkan. Begitu selanjutnya kebinekaan dalam wilayah RT, RW, kampung, desa, kota/kabupaten, provinsi, dan akhirnya negara.
Negara kita yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia terletak memanjang di garis khatulistiwa dari barat ke timur dengan kebinekaan dalam berbagai hal. Tidak bisa kita hilangkan kebinekaan itu. Bahkan, kebinekaan harus bisa menjadi kebanggaan kita karena sumber daya alam dan manusia itu, termasuk kebinekaannya, menjadi kekayaan seluruh bangsa kita untuk membangun ekonomi biru (kelautan) dan ekonomi hijau (pertanian) secara berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Wujudkan harmoni
Menghidupkan budaya daerah untuk tetap berbineka harus bisa kita rangkai sehingga mewujudkan keindahan harmoni yang menenteramkan batin sebagai budaya nasional. Tidak cukup sebatas lahiriah, misalnya, yang sekarang lagi tren, busana daerah yang menjadi aturan busana karyawan instansi pemerintah di hari-hari tertentu.
Demikian pula menggairahkan penciptaan kuliner daerah sebatas show business pada suatu event yang diorganisasi sesaat. Fenomena friksi antarkelompok sehingga sampai terjadi clash fisik yang menimbulkan korban tak cukup diatasi dengan sekadar anjuran peningkatan toleransi.
Terjadinya ekses kebinekaan memang bisa dilatarbelakangi berbagai sebab. Sebenarnya, hal itu bisa diatasi secara lebih mendasar kalau kita kembalikan kepada falsafah Pancasila, yang sesudah reformasi sepertinya meredup akibat barangkali jenuhnya kita dengan usaha menghayatinya pada era Orde Baru.
Pancasila sebagai karakter bangsa dengan menghayatinya secara menyeluruh kelima silanya hendaknya kembali perlu kita tanamkan di masyarakat melalui program pendidikan masyarakat yang tidak bersifat doktriner atau indoktrinasi. Khusus dalam mengisi kebinekaan, perlu kita kembali kepada lambang negara, Garuda Pancasila.
Seharusnya kita mencari bagaimana mengisi "menunggalkan keikaan" dalam menciptakan keharmonisan dalam kebinekaan kita. Saya kira ini menjadi PR kita seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Khusus bagi saya pribadi, memang masih ada PR untuk mengerti arti "ika" secara harfiah dalam konteks lambang negara Garuda Pancasila. Semoga saja ada yang menolong.
Sjamsoe'oed Sadjad Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB
(Kompas cetak, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Membubarkan Densus 88 (Hamid Awaludin)
Hari-hari ini di Tanah Air kita, Densus 88, sebuah divisi khusus dalam naungan Kepolisian RI, disorot tajam. Malah banyak yang mendesak agar divisi itu dibubarkan meskipun jasanya dalam menjamin rasa aman tidak terkira.
Divisi khusus antiteror ini dinilai berkelebihan dalam menjalankan fungsi. Sejumlah kasus yang ditanganinya dan menimbulkan efek samping membuatnya digugat, bahkan semua bakti yang ia persembahkan untuk Ibu Pertiwi seolah-olah diabaikan begitu saja.
Saya tetap mengagumi, bahkan justru mendambakan satuan khusus ini kian ditingkatkan. Saya tidak menutup mata atas sejumlah ekses yang timbul dari pendekatan operasi yang dijalankannya, tetapi manfaat yang diperoleh tiap warga negara atas kehadirannya harus diberi tempat tersendiri yang positif.
Pernah ada masa ketika kita saling mencurigai dan dicekam rasa takut. Tinggal di rumah juga lebih mencekam lagi karena setiap saat bom datang menjemput ajal kita tanpa kita diberi kesempatan menyampaikan sepatah dua patah kata kepada anak-anak kita yang tercinta.
Pernah ada era ketika kita terselubungi rasa takut untuk datang ke kantor, bahkan enggan datang di rumah Tuhan untuk menjalankan ibadah. Semua itu kita takuti karena faktanya bom bisa meluluhlantakkan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Hingga kini pun, rasa waswas dan serba takut itu masih tersisa.
Berkat Densus 88
Ini fakta empiris, bukan novel fiksi atau film ala Hollywood. Dr Azhari dan Noordin M Top, dua pentolan teror, pernah selalu membayangi kita dan menimbulkan mimpi buruk setiap kita tidur. Keduanya telah pergi dan mimpi buruk itu pelan-pelan mulai tidak mengganggu tidur kita lagi. Mereka pergi berkat Densus 88. Rasa ketakutan kita perlahan-lahan mulai surut. Itu karena Densus 88. Segala ekses yang ditimbulkannya, itulah yang harus diperbaiki.
Ketika kecil di kampung, saya menyaksikan seorang imam masjid digelandang ke publik karena menilep sumbangan masjid. Imam yang dihukum, bukan masjid yang dirobohkan. Sejumlah pastor diberi sanksi karena mencabuli anak-anak. Bukan gereja yang diruntuhkan.
Satuan khusus negara ini memiliki pasukan yang hidup di luar takaran normal manusia biasa. Sekali meninggalkan rumah, anak dan istri tidak boleh tahu ke mana ayah dan suami pergi, dan kapan balik. Berbulan-bulan hidup dalam penyaruan dengan berbagai konsekuensi. Berbulan-bulan hidup dalam alienasi kehidupan normal dengan sejumlah harga yang harus dibayar. Mereka acap kali diceraikan istri pada saat sedang menjalankan tugas negara, mengamankan negeri dan menjamin rasa aman untuk tiap warga. Itulah potret anggota pasukan Densus 88.
Bagi saya, Densus 88 telah menunaikan tugas negara, menjalankan misi keamanan dengan cara memburu dan membongkar jaringan teroris di negeri ini. Densus 88 telah mewakili negara melindungi tiap warga negara. Bila Densus 88 kita bubarkan, dengan mudah dinujum tiap warga negara akan mempersenjatai diri dengan cara apa pun demi menjaga dan membela diri.
Demi keselamatan diri, cara apa pun dipakai, termasuk kekerasan tanpa tepian dan ukuran. Hukum rimba akan berlangsung. Thomas Hobbes membuktikan kebenaran pikirannya bahwa hidup itu ibarat ikan di laut, yang besar melahap yang kecil. Bila ini terjadi, negeri ini memiliki rakyat yang sekaligus menjadi raja sebab semuanya akan menitahkan dan menasbihkan diri sebagai pemegang lisensi kekerasan demi menyelamatkan diri.
Postulat Max Weber
Akan terjadi persaingan mempersenjatai diri dan membangun otot masing-masing yang pada gilirannya akan terjadi tabrakan satu dengan lainnya. Ramboisme bakal sulit terhindari. Premanisme akan memahkotai kehidupan kita. Dalam konteks inilah, seyogianya kita tempatkan Densus 88. Ia merepresentasi negara menggunakan kekerasan agar individu tidak memberi dirinya lisensi tersendiri yang bakal melahirkan kekacauan. Max Weber memostulatkan, hanyalah negara yang memiliki legitimasi menggunakan kekerasan.
Densus 88 meneror para penebar teror. Itulah konsekuensi dari perbuatan mereka. Seseorang yang sedang membawa senjata api saja tanpa izin adalah pelanggaran di negeri ini. Apalagi, jika ia menggunakan senjata itu untuk membunuh dan pembunuhan yang dilakukan itu bersifat masif dan indiskriminatif. Tidak ada satu pun bentuk masyarakat di dunia ini sekarang yang bisa membenarkan tindakan sepihak dari seseorang atau sekelompok orang, termasuk di negara yang menggunakan agama sebagai dasar negara.
Ketika di rumah kita ada kondangan, semua sanak famili berkumpul, termasuk anak, ponakan, nenek, dan kakek kita. Tiba-tiba seekor macan datang dengan mulut menganga sembari mengaum. Kita semua pasti dengan refleks yang tinggi berusaha membunuh sang macan. Kita tak akan pernah berpikir mencari tahu dari mana asalnya, mengapa ia masuk rumah, dan jenis macan apa gerangan ia. Macan, ya, macan, mengancam seiisi rumah. Macan harus dienyahkan.
Setelah macan dienyahkan, barulah kita semua lega dan bisa berpikir untuk menggeledah apa gerangan yang menjadi biang datangnya sang macan. Mungkin habitatnya sudah terganggu ulah manusia juga. Atau mungkin, anaknya dibawa lari lalu ia masuk kampung mencarinya. Begini cara saya memandang Densus 88 dalam kaitannya dengan aksi teror yang meneror kita semua setiap waktu.
Pendekatan represif jauh dari memadai untuk menangani masalah terorisme. Itu sangat valid. Membunuh dan memburu para pelaku teror tidak cukup. Itu juga sangat sah. Akar masalah terorisme memang amat banyak, termasuk soal kekeliruan dalam memahami prinsip agama. Masalah ketidakadilan politik, sosial, dan ekonomi juga mempunyai pengaruh.
Maka, kita semua harus bahu-membahu untuk itu. Para dai, juru dakwah, atau lembaga yang bergerak di bidang keagamaan memiliki tanggung jawab lebih besar mengubah cara berpikir mereka. Ajaran agama yang selama ini mereka pakai sebagai dalih untuk menebar teror perlu diluruskan.
Karena itu, tatkala ada keinginan membubarkan Densus 88 dalam kondisi seperti sekarang, saya hanya bisa berkata, "Wait a minute. No way, man."
Hamid Awaludin Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
(Kompas cetak, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Mendukung Jokowi Fokus ke DKI (Sayidiman Suryohadiprojo)
Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Jokowi menyatakan bahwa ia berniat fokus pada pembangunan Jakarta sesuai dengan mandat dan kewajibannya sebagai Gubernur DKI Jakarta 2013-2018.
Jokowi tak terbawa imbauan agar ikut rebutan jabatan presiden dan wakil presiden RI pada 2014 meski banyak lembaga survei mengumumkan ia pilihan rakyat teratas. Sikap Jokowi ini harus kita dukung sebab itulah sikap manusia berkarakter: tak sekadar mengejar jabatan, melainkan berniat menghasilkan pekerjaan terbaik sesuai dengan janjinya kepada masyarakat.
Berbeda (1)
Ia berbeda dari orang-orang yang melihat posisi gubernur DKI hanya sebagai batu loncatan belaka untuk jabatan lain yang lebih tinggi dan mungkin lebih banyak memberikan keuntungan material bagi dirinya.
Di Indonesia masa kini, banyak sekali orang bersikap dan berpikir seperti itu, khususnya di lingkungan kaum politik. Buat mereka, tidak ada pengertian amanah dalam melaksanakan pekerjaan. Yang ada hanya bagaimana memperoleh untung bagi dirinya dan bagaimana dapat memperkuat kepentingannya. Tidak ada kesadaran akan harga diri sebagai manusia bermoral.
Dengan niat fokus pada pelaksanaan mandatnya sebagai gubernur DKI Jakarta sebaik-baiknya, Jokowi langka di antara para pejabat politik di Indonesia. Ia sadar bahwa sebagai gubernur DKI, ia harus menjadikan Jakarta ibu kota RI yang jauh berbeda dari keadaannya sekarang.
Sebagai ibu kota NKRI, satu negara dengan wilayah bagaikan satu benua maritim, Jakarta seharusnya satu kota megah dan dapat jadi kebanggaan tak saja bagi rakyat Jakarta, tetapi seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke. Kota megah, tetapi juga nyaman bagi penghuninya. Kota yang terasa rindang karena banyak pohon berdaun hijau serta air mancur dan kolam dengan air jernih. Kota yang selalu bersih. Kota dengan gedung-gedung berarsitektur indah dan jalan-jalan lebar dihiasi bunga-bunga indah.
Penduduknya yang mendekati 10 juta orang hidup dengan teratur dan disiplin, khususnya dalam berlalu lintas. Dibangun kereta api di atas dan bawah tanah, bus kota, transportasi air dengan memanfaatkan Sungai Ciliwung dan kanal-kanal sehingga penduduk dengan beraneka pekerjaan dan kegiatan dapat melaksanakan mobilitas tertib teratur.
Dengan begitu, lalu lintas di jalan-jalan mungkin sekali ramai, tetapi tak mengakibatkan macet parah. Semua aspek kehidupan berjalan teratur sehingga berkembang suasana yang mendorong terwujudnya produktivitas tinggi di kalangan luas. Dan, Jakarta, sebagai ibu kota RI, bukan tempat yang mempertontonkan kemiskinan di samping kekayaan tinggi. Pemerintah melakukan berbagai usaha menekan pengangguran sehingga semua penduduk dewasa punya pekerjaan dan penghasilan. Ada pekerjaan yang formal, ada pula yang nonformal. Semua itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta anggotanya.
Dengan begitu, Jakarta tak saja jadi pusat pemerintahan yang efektif jalannya, tetapi juga pusat dunia usaha yang produktif dan dinamis. Kemiskinan makin tiada, baik berupa perumahan kumuh maupun pengemis di pinggir jalan, digantikan luasnya kaum menengah yang senantiasa mengejar kemajuan hidup.
Jakarta juga ibu kota RI yang jadi pusat budaya bangsa. Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika punya berbagai wujud budaya berupa seni, sastra, dan intelijensia yang dikembangkan melalui berbagai usaha kaum budayawan dengan dukungan pemerintah. Museum-museum dengan aneka sifatnya dikembangkan dan dipelihara secara teratur, khususnya Museum Nasional.
Demikian pula perpustakaan yang mengandung berbagai naskah sastra Indonesia—baik nasional maupun daerah—serta sastra internasional bermutu tinggi dan perlu dikenal manusia Indonesia. Berbagai kesenian berkembang subur dan terus meningkatkan peran Indonesia sebagai salah satu pusat kesenian bermutu tinggi di Asia dan dunia.
Itu semua tak lepas dari mutu manusia yang tinggal di Jakarta yang dikembangkan melalui pendidikan bermutu. Pemerintah mengusahakan agar seluruh warganya dapat menempuh pendidikan sekolah mulai TK hingga SLTA tanpa biaya. Yang masuk pendidikan tinggi dan kurang berada disediakan beasiswa.
Kesehatan warga selalu menjadi perhatian. Disediakan jaminan kesehatan untuk meringankan beban masyarakat mengatasi harga rumah sakit yang makin tinggi. Juga dikembangkan kegiatan olahraga agar masyarakat cakap memelihara kebugaran jasmani dan menjauhi sakit.
Berbeda (2)
Kalau kita perhatikan keadaan Jakarta masa kini, gambaran di atas sangat berbeda. Untuk melakukan perubahan besar, yang diperlukan adalah komitmen tinggi. Niat Jokowi fokus ke perannya sebagai gubernur DKI adalah sikap yang harus kita hargai dan dukung.
Kalau dalam masa kepemimpinannya terjadi perubahan pada Jakarta sebagaimana diinginkan, Jokowi mudah-mudahan sekaligus telah menjalankan fungsi pemicu berkembangnya sikap manusia Indonesia pejuang yang hidup berprestasi, mengejar keunggulan, dan dinamis.
Ia meninggalkan kondisi masa kini yang bagai malaise mental, sikap asal jadi, dan mediocre. Dengan begitu, ada harapan memberi respons yang tepat kepada kemurahan Tuhan yang melimpahkan kepada bangsa Indonesia potensi besar dan bermutu tinggi dalam kekayaan alam, manusia yang dasarnya cerdas, dan geografi yang menguntungkan secara strategis. Kemurahan Tuhan itu hingga kini kurang mendapat perhatian sehingga justru lebih menguntungkan bangsa lain. Semoga Jokowi berhasil.
Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas
(Kompas cetak, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Negara Masih Rentan (Fajar Riza Ul Haq)
Satu pesantren penganut tarekat di Tasikmalaya menjadi korban penyerangan massa ormas Islam pada Sabtu (6/4) malam. Massa penyerang menuduh pihak pesantren mengajarkan aliran sesat, padahal lembaga ini sudah berdiri sejak era perjuangan kemerdekaan.
Pada minggu yang sama, Pemerintah Kabupaten Bekasi menutup Masjid Al Misbah, milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Pemerintah daerah bersikukuh bahwa eksekusi penyegelan masjid merupakan tindakan legal atas dasar SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 11/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12/2011, dan Peraturan Wali Kota Bekasi No 40/2011. Nasib tragis serupa telah lebih dahulu menimpa Gereja HKBP Setu di wilayah hukum yang sama, akhir Maret. Pemda membongkar rumah Tuhan itu dengan dalih bangunan tak mengantongi izin mendirikan bangunan.
Pada saat bersamaan, rencana pemindahan dan pembangunan Masjid Al Munawwar Sarulla di Tarutung, Tapanuli Utara, ditentang sekelompok masyarakat dengan alasan adat. Proses negosiasi antara kedua pihak masih menemui jalan buntu meskipun pimpinan HKBP, Pdt WTP Simarmata, sudah menyatakan dukungannya. Seperti dilaporkan Aliansi Sumut Bersatu, HKBP sudah mendesak pemerintah setempat segera mengeluarkan izin pembangunan masjid dan syarat kelengkapan yang harus dipenuhi. Kasus serupa pernah juga mencuat dua tahun lalu saat pembangunan Masjid Nur Musofir di Butuplat, Kupang. Surat izin yang dikeluarkan bupati atas dasar rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama tidak bisa diterima oleh kelompok masyarakat setempat.
Beberapa contoh kasus di atas merefleksikan setidaknya dua masalah serius yang kian menghantui integritas kita sebagai bangsa yang berbineka. Pertama, menguatnya sektarianisme yang rentan dijadikan kuda troya kepentingan ekonomi-politik para aktor lokal. Gejala ini terlihat dari intensitas konflik antar-aliran ataupun kelompok keagamaan yang cenderung meningkat, bahkan bereskalasi meski masih dalam rumpun tradisi yang sama. Tentu kita masih ingat massa beringas merusak Pesantren Masyhadul Mustatobah (Depok) dan membakar perkampungan Tarekat Tijaniah (Sukabumi), tahun lalu. Beberapa tahun ke belakang, tuduhan aliran sesat memakan korban Pesantren Miftahul Huda di Serang.
Saling sandera
Pada dasarnya, ajaran pesantren korban aksi amuk massa di Tasikmalaya itu mengikuti garis Tarekat Idrisiyyah, satu dari 40 aliran tarekat yang diakui konsensus ulama NU (mu'tabaroh). Pendiri gerakan ini, Syaikh Ahmad bin Idris al Fasi, dikenal sebagai tokoh neosufisme abad ke-19. Namun, mengapa kini mereka disesatkan? Satu hal yang sulit dipahami jika dilihat dari perspektif genealogi gerakan pembaruan sufisme di dunia Islam, termasuk dari sisi tradisionalisme Islam. Seorang kiai muda, pengelola salah satu pesantren di Kabupaten Tasik, meragukan penyerangan murni disulut keberadaan ajaran tarekat itu sendiri.
Merujuk pada pandangan MUI setempat, pihak pesantren membantah keras tuduhan sesat yang dialamatkan kepadanya dan mencurigai adanya motif untuk menjatuhkan nama baik lembaga. Pada konteks ini, polarisasi aliran keagamaan di tengah defisitnya budaya kewargaan menyebabkan kegagalan proses dalam memediasi kesalahpahaman dan persaingan kepentingan antarkelompok yang sering bermuara pada fragmentasi, friksi, dan konflik terbuka di tingkat akar rumput.
Kedua, eskalasi konflik pendirian rumah ibadah. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran hukum di masyarakat, lemahnya penegakan hukum di kalangan aparat negara, dan substansi peraturannya sendiri. Pada banyak kasus, SKB Tiga Menteri No 9 dan 8/2006 seakan jadi senjata legal kelompok mayoritas untuk mempersulit, bahkan melarang, upaya pembangunan rumah ibadah oleh kelompok agama lain yang secara politik dan sosial pada posisi minoritas. Menarik mencermati pernyataan Imdadun Rahmat, komisioner Komnas HAM, mengenai polemik IMB rumah ibadah. Menurutnya, 85 persen rumah ibadah di Indonesia tak punya IMB sehingga berpotensi bahkan layak dibongkar. Jumlah masjid dan mushala merupakan mayoritas dalam kelompok ini.
Pembongkaran gereja HKBP di Bekasi dan penolakan pembangunan masjid di Tarutung berangkat dari logika yang sama, nalar relasi kuasa mayoritas-minoritas yang mengonstruksi SKB Tiga Menteri tersebut. Pertengahan tahun lalu, 20 gereja dilaporkan ditutup, bahkan terancam dibongkar Pemerintah Singkil, Aceh, karena dianggap tak memenuhi persyaratan administrasi IMB (Kompas, 12/6/12). Dengan argumentasi serupa, ribuan orang dari pelbagai kelompok masyarakat membatalkan rencana pembangunan masjid raya di Bitung, Sulawesi Utara, seperti diberitakan Suara Menado pada pertengahan Januari lalu.
Gejala politik saling menyandera atas nama kuasa mayoritas-minoritas ini sangat ironis mengingat tujuan awal keberadaan SKB untuk meminimalkan munculnya konflik rumah ibadah yang dapat merusak hubungan antarumat beragama. Pada kenyataannya, SKB Tiga Menteri menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya eskalasi konflik pendirian rumah ibadah di banyak tempat.
Pembiaran upaya penyesatan ajaran aliran keagamaan dan konflik pendirian rumah ibadah akan berpengaruh terhadap tingkat instabilitas politik dan kerentanan konflik di ranah domestik. Berdasarkan laporan United States Institute of Peace (2011), indeks rata-rata kerentanan konflik Indonesia dari enam indeks yang diperbandingkan berada di zona relatif aman (0,19). Namun, posisi ini cukup rentan karena tiga indeksnya masih berkubang di zona tidak aman, yaitu instabilitas politik (0,63), indikator konflik (0,53), dan negara gagal (0,48). Meskipun kekerasan dan pelbagai konflik horizontal yang terjadi masih bersifat lokal dan sporadis, pemerintah tak boleh mengabaikan efek eskalasinya dan semakin merosotnya ketidakpercayaan publik kepada penegakan hukum.
Imparsialitas negara
Ada dua langkah yang harus diambil pemerintah secara konsisten untuk mencegah memburuknya indeks instabilitas politik dan indikator konflik. Pertama, melembagakan nilai-nilai kewargaan dalam budaya bermasyarakat, terutama di lingkungan komunitas sosial dan keagamaan. Menguatnya identitas keagamaan di ruang publik belakangan ini jangan sampai berkorelasi negatif dengan budaya kewargaan. Kedua, mengevaluasi total efektivitas dan kemanfaatan produk regulasi yang mengatur hubungan antarumat beragama, khususnya SKB Tiga Menteri terkait pendirian rumah ibadah dan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Hubungan tak sehat antara pemerintah dan institusi keagamaan, termasuk kelompok paramiliter, akan mencederai prinsip imparsialitas negara dalam penegakan hukum.
Fajar Riza Ul Haq Direktur Eksekutif Maarif Insitute for Culture and Humanity
(Kompas cetak, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Jumat, 26 April 2013
Susno Gagal Dieksekusi (Tajuk Rencana Kompas)
Seloroh cicak versus buaya dalam versi lain berulang. Fakta kejadiannya mirip yang dilakukan penyanyi Julia Perez. Tahu akan dieksekusi, Susno masuk kamar. Begitu juga Julia. Bedanya, Susno telepon polisi minta perlindungan hukum, Julia melarikan diri. Julia lari, kemudian menyerahkan diri, mungkin untuk sensasi dan popularitas. Susno tidak. Berpengalaman sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal membuatnya pintar berkelit dari jerat pasal hukum dan pasal kelemahannya.
Catatan ini tak bermaksud memasuki wilayah akrobat hukum, tetapi hanya memotret dan mengingatkan dampak buruk ambruknya wibawa hukum di negeri ini. Negara hukum (rechtsstaat) tereduksi sebagai prosedur sehingga bisa dinafikan oleh kekuasaan dan penguasa.
Padahal, hukum dan politik merupakan dua sisi mata uang terwujudnya tujuan utama bernegara kesejahteraan dan kemaslahatan warga bangsa. Oleh karena itu, ketika penegakan hukum ditabrak, sejak dari peradilan hingga di tingkat eksekusi, tereduksi pula tujuan bernegara.
Ketika sudah menjadi penyakit sistemik, seperti saat ini, sehingga korupsi dianggap jamak bahkan jadi keharusan, upaya memberantasnya sulit dilakukan. Diperparah hubungan sistem pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak sinkron, upaya pemberantasan hanyalah gincu politik.
Upaya memperlemah KPK dan upaya penolakan Polri ketika KPK akan menangani anggota mereka yang tersangkut kasus, terutama Irjen Djoko Susilo sekadar contoh. Masih banyak contoh lain yang merepresentasikan tersendatnya pemberantasan korupsi. Akibatnya, korupsi justru merajalela dan menggurita.
Besarnya uang yang dikorup dalam kasus Susno kurang berarti dibandingkan besarnya uang yang dikorup Djoko Susilo. Kita hanya terpana oleh keserakahan. Dan karena dilakukan oleh orang yang berasal dari salah satu lembaga penegak hukum, korupsi dianggap memang sudah seharusnya. Koruptor yang tertangkap dianggap sedang apes. Senyampang itu terus dicari jalan menerobos celah hukum. Kegagalan Kejaksaan hanya noktah hitam. "Konflik" dua lembaga penegak hukum mempertontonkan akrobat yang di satu sisi membenarkan spekulasi proses menuju "negara gagal", di sisi lain menawarkan tantangan seberapa seriuskah negeri ini masih layak disebut rechtsstaat (negara hukum atau negara konstitusional).
Agar pantas disebut negara hukum, dalam kasus Susno dukungan etis dan moral perlu diberikan kepada Kejaksaan, pun terhadap eksistensi KPK! Diperlukan kebesaran hati semua pihak, termasuk Susno berikut segala pendukung legal dan politis yang ada di belakangnya! Ketika kita biarkan penegakan hukum tidak terjadi dan kewibawaan hukum terus merosot, tanpa sadar kita berkhianat terhadap cita-cita reformasi 1998.
(Tajuk Rencana Kompas, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Pendidikan Pancasila (Mohammad Abduhzen)
Rancangan Kurikulum 2013 mengembalikan Pancasila seperti Kurikulum 1994, yaitu sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Keberadaan Pancasila dalam kurikulum senantiasa timbul tenggelam, bergantung pada situasi kebangsaan. Pada Kurikulum 1968, di awal Orde Baru, Pancasila menjadi kategori pertama bidang pembelajaran "Pembinaan Jiwa Pancasila" yang terdiri atas pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pendidikan olahraga.
Kurikulum 1975—seiring menguatnya dominasi Orde Baru—menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kurikulum ini disempurnakan pada 1984 dengan menambahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), di samping PMP dan Sejarah. Tumpang tindih pelajaran ini kemudian disederhanakan dalam Kurikulum 1994 dengan menyatukan PMP dan PSPB jadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Ketika Reformasi tiba, Pancasila yang lama menjadi alat legitimasi turut mengalami deapresiasi sehingga UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tak mewajibkan Pancasila ada dalam kurikulum pendidikan. Karena itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, 2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), Pancasila raib dan PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Kevakuman
Proses ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru dengan tafsir dan asas tunggalnya telah memaksa mayoritas masyarakat Indonesia berideologikan Pancasila secara semu. Praktik represif dan doktrinal yang ditempuh justru menimbulkan sinisme terhadap Pancasila sebagai personifikasi penguasa. Maka, saat Orba jatuh, Pancasila seperti ikut melindap.
Sekarang, Pancasila mengalami kekosongan makna karena pemaknaan oleh Orde Baru berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) beserta 36 butir nilai-nilai seolah gosong. Kita perlu rekonstruksi tafsir yang mampu menerangkan bagaimana berbagai gagasan dalam Pancasila saling berhubungan dan mampu mengantarkan bangsa ini pada kehidupan lebih baik, seperti janji kemerdekaan.
Pada hari-hari ini, kita juga tak menyaksikan adanya upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan secara mendasar dan sistemis. Memang ada upaya sosialisasi "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara", tetapi—selain Pancasila sebagai pilar dipersoalkan—hanya sayup-sayup sampai kepada publik. Barangkali kita tinggal mengandalkan kecakapan para guru mengajarkan Pancasila di sekolah. Itu pun, sekarang ini, Pancasila diajarkan sebatas dasar administrasi negara.
Menguatnya semangat aliran belakangan ini di ranah politik dan sosial merupakan indikator kian lemahnya apresiasi masyarakat terhadap Pancasila sebagai landasan hidup bersama. Kenyataan ini tak boleh dibiarkan, dan seyogianya pemerintah serius merevitalisasi Pancasila.
"Mengilmiahkan" Pancasila
Butir penting untuk reaktualisasi yakni merumuskan konstelasi pembelajaran dan transformasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan.
Sebagai substansi pembelajaran, Pancasila selama ini dikenalkan lebih sebagai mitos ketimbang sesuatu yang ilmiah. Keberadaan Pancasila seperti tak melekat dalam kesadaran dan hanya muncul sebagai perilaku artifisial. Agar mengejawantah sebagai perilaku otentik, Pancasila harus diakarkan di dalam pikiran dan ditumbuhkan sebagai sikap di dalam jiwa.
Karena itu, Pancasila perlu "diilmiahkan" dengan mengobyektivikasi makna-makna normatif dan simbolisnya secara logis-empiris. Pembahasan Pancasila harus mampu mengantarkan kita kepada situasi logika dan fakta yang tak terelakkan sehingga pilihannya harus diterima.
Pancasila, sebagaimana dinyatakan penggagasnya, adalah philosofische grondslag atau weltanschauung, yaitu fundamen, filsafat, dan pikiran yang mendalam. Pancasila lahir sebagai antitesis imperialisme dengan ide-ide besar seperti "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan", kebinekaan/pluralisme, musyawarah, dan ketuhanan yang harus dijadikan realiteit.
Merealisasikan Pancasila sebagai landasan kehidupan bersama, yang dibutuhkan di alam modern ini, memerlukan argumen yang tak sekadar common sense, akal sehat. Setakat ini status epistemologis Pancasila baru sebatas deskripsi tentang realitas dan cita-cita. Ini tergambar dari pidato Soekarno tentang sila Ketuhanan: "bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan."
Pembahasan Pancasila tidak cukup dan berhenti sebatas konsep-konsep universal, tetapi harus berlanjut ke tataran operasional dan kontekstual berdasarkan situasi, kebutuhan, dan pengalaman kebangsaan kita sendiri. Ibarat pohon, Pancasila tunduk pada hukum pertumbuhan universal, tetapi sejatinya ia tetumbuhan tropis.
Reinterpretasi untuk reaktualisasi Pancasila telah dimulai Yudi Latif dengan karyanya Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2010). Yudi mengobyektivikasi Pancasila dengan fakta historis dan pendekatan teoritis-komparatif, disusul gagasan rasional bagaimana sila demi sila seharusnya diaktualkan.
Pendidikan, tafsir, dan pemikiran tentang Pancasila perlu dikemas sedemikian rupa agar menjadi nilai-nilai kepribadian (kompetensi) lulusan.
Problem metodologi
Selain persoalan substansi, pembelajaran Pancasila di sekolah sering kali terkendala faktor metodologi. Pada satu sisi disampaikan terlampau akademis—diajarkan hanya sebagai fakta pengetahuan—dan pada sisi lain terlewat ideologis (memaksakan nilai-nilai sebagai doktrin).
Pembelajaran harus menjadi upaya penyadaran pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Metode ini seharusnya dapat diturunkan dari UU No 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang menekankan pentingnya penciptaan suasana dan proses pembelajaran, keaktifan, dan berpusat pada murid. Sayangnya, rancangan Kurikulum 2013 tak mengelaborasi metode pembelajaran secara utuh dan menyeluruh. Elemen perubahan terkait proses pembelajaran hanya menambahkan kata teknis: "mengamati, menanya, dan mengolah". Sementara pendekatan tematik-integratif dikhususkan untuk SD karena sebelumnya pelajaran IPA akan diintegrasikan di semua kelas SD.
Pendidikan Pancasila mendatang potensial mengalami disorientasi karena ada reduksi dan kesenjangan logika pada kompetensi kurikulum. Kompetensi inti sebagai sublimasi perolehan dari seluruh mata pelajaran mengerutkan fungsi pendidikan hanya dalam empat kategori yang rancu, yakni sikap keagamaan, sikap sosial, pegetahuan, dan penerapan pengetahuan.
Sebagai tujuan akhir pembelajaran, kompetensi inti, selain tampak begitu miskin, juga menimbulkan masalah tautan logis dengan kompetensi dasar dan sesi-sesi pembelajaran, terlebih untuk Pendidikan Pancasila. Menyaksikan situasi kebangsaan yang kian mengkhawatirkan akhir-akhir ini, perumusan Pendidikan Pancasila harus berspektrum luas dan menjadi bagian dari strategi nation building.
Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
(Kompas cetak, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Kreativitas, Paten, dan Anak Cucu (Achmad Zen Umar Purba)
Tanggal 26 April diperingati sebagai Hari Kekayaan Intelektual Dunia. Konsep hak kekayaan intelektual sesungguhnya sudah lahir sejak abad ke-19, sejalan dengan pertumbuhan industri waktu itu.
Negara-negara merasakan perlu adanya sistem perlindungan berbagai karya intelektual yang telah dan akan terus melayani kepentingan umat sejagat. Tahun ini, peringatan Hari kekayaan Intelektual Dunia mengambil tema: "Creativity: The next generation". Kaitan antara hak kekayaan intelektual (HKI) dan kreativitas amat jelas. Semua karya yang berguna bagi umat manusia berasal dari kreativitas individu.
Sejak peringatan Hari Kekayaan Intelektual Dunia pertama tahun 2001, mayoritas tema peringatan kebetulan berkaitan dengan kreativitas, termasuk inovasi dan ide. Apa makna kreativitas bagi Indonesia, yang punya berbagai modal dasar pembangunan nasional itu? Sangat fundamental dan berkaitan dengan berbagai aspek.
Akan tetapi, yang relevan sekali saat ini, kreativitas harus dipersepsikan sebagai kegiatan yang bersenyawa dengan teknologi. Dan, teknologi membutuhkan perlindungan yang dalam sistem HKI dinamai paten.
Dari tujuh bidang HKI, Indonesia amat tertinggal dalam hal paten. Pengajuan permohonan paten oleh WNI amat rendah dibandingkan permohonan paten secara keseluruhan. Dari data permohonan paten yang sudah dikabulkan sejak tahun 2009 hingga 2011, paten yang diajukan oleh WNI tak lebih dari 5 persen dari keseluruhan permohonan paten pada periode tersebut.
Fakta ini sejalan dengan rendahnya pengajuan permohonan paten oleh WNI ke AS. Selama tahun 2010, hanya enam permohonan. Bandingkan dengan Singapura (603 permohonan), Malaysia (113), Thailand (46), dan Filipina (37). Pada 2009, permohonan paten oleh WNI ke AS ini lebih rendah lagi: hanya tiga permohonan.
Hanya "nol koma"
Paralel dengan data di atas, Indonesia belum juga bisa memanfaatkan secara maksimal sistem pendaftaran paten multinegara yang difasilitasi Patent Cooperation Treaty (PCT). Menurut The Global Competitiveness Report (GCR) 2012-2013 terbitan Forum Ekonomi Dunia, dari 144 negara, penggunaan PCT di Indonesia berada di peringkat ke-101 dengan nilai 0,10. Malaysia jauh di atas kita, di posisi ke-34 (nilai 3,4), sedangkan Thailand di posisi ke-72 (nilai 0,6).
Kementerian Riset dan Teknologi ikut menggalakkan pertumbuhan paten di Indonesia dengan Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional. Mulai 2007, program ini telah berhasil menaikkan proposal invensi dari 62 menjadi 108 pada 2008. Namun, setelah itu jumlah proposal invensi menurun. Selama tahun 2012, di bidang makanan hanya 88 dan obat 3.
Invensi yang merupakan cikal bakal paten memang memerlukan biaya yang cukup besar. Menurut Prof Zuhal, Ketua Komite Inovasi Nasional, dana riset di negeri ini amat rendah: hanya 0,15 persen dari PDB. Padahal, mestinya paling kurang 1 persen atau sama dengan Rp 15 triliun. Jangan bandingkan dengan negara maju, seperti Jepang, yang biaya risetnya sampai lebih dari 3 persen dari PDB.
Dari dimensi lain, pemerintah semestinya dapat memanfaatkan masuknya modal asing untuk alih teknologi agar Indonesia tak hanya jadi pasar. Kita telah memperbarui UU Penanaman Modal Asing 1967 dengan UU Penanaman Modal 2007. Adakah pengaruh investasi asing langsung yang diatur dalam UU ini dan alih teknologi? GCR 2012-2013 mencatat, dalam hubungan antara investasi asing langsung dan alih teknologi, Indonesia menduduki peringkat ke-61 dengan nilai 4,8. Thailand di posisi ke-47 (nilai 4,9) dan Malaysia di posisi ke-16 (5,3).
Mendarah daging
Perusahaan asing juga mestinya bisa diminta berperan dalam pendanaan bagi membiayai penelitian dan pengembangan. GCR 2012-2013 dalam topik ini menunjukkan, Indonesia berada di peringkat ke-25, tetapi Malaysia di kursi ke-16. Sementara untuk aspek perusahaan asing yang terlibat dalam kegiatan penelitian, Indonesia di peringkat ke-40, masih di bawah Malaysia yang ada di posisi ke-18.
Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun, ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga di atas menempelkan citra yang tidak pas dengan capaian itu. Lalu, bagaimana kita memperbaiki data internasional yang negatif tadi, khususnya dalam kaitan dengan teknologi, yang pada awalnya beranjak dari kreativitas itu?
Saatnya pihak-pihak terkait dapat berkontemplasi bagi peningkatan kreativitas demi masa depan Indonesia, buat anak cucu. Kreativitas harus mendarah daging dalam tubuh setiap insan Indonesia. Di Jepang, trinitas strategi pembangunannya adalah business strategy, R&D strategy, dan IP strategy. Jangan lupa, sebentar lagi ASEAN akan menjadi arena perdagangan bebas.
Achmad Zen Umar Purba Mantan Direktur Jenderal HKI, Departemen (Kementerian) Hukum dan HAM RI
(Kompas cetak, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Calo(n) Anggota Legislatif (Saldi Isra)
Dari tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014, bagi partai politik yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum, Senin (22/4) adalah batas akhir penyampaian daftar calon sementara anggota DPR dan DPRD.
Batas waktu yang sama berlaku pula bagi perseorangan yang berminat menjadi senator (anggota DPD) untuk menyampaikan bukti dukungan minimal pemilih dari daerah pemilihan. Bagi parpol, penyusunan dan pengajuan calon merupakan pelaksanaan Pasal 54 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menentukan nama-nama yang akan ditawarkan kepada pemilih. Namun, dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, dapat dipastikan penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) sekaligus menjadi skenario penting bagi parpol dalam meraup suara pemilih.
Oleh karena itu, sejumlah parpol memberi ruang kepada segenap lapisan masyarakat untuk menjadi calon dengan cara mendaftarkan diri. Tidak hanya pasif menunggu masyarakat mendaftar, parpol pun menggunakan strategi "jemput bola", terutama bagi tokoh publik yang potensial dapat dukungan besar pemilih. Andai tak semuanya terpilih, paling tidak kehadiran mereka telah memberikan sumbangan signifikan terhadap parpol.
Berkaca dari pengalaman selama ini, tokoh publik yang menjadi sasaran parpol untuk dijadikan pendulang suara (vote getter) di antaranya adalah artis, olahragawan, akademisi, dan (pensiunan) birokrat. Bahkan, pada level lebih tinggi, tanpa peduli dengan logika sistem presidensial, sebagian parpol dalam koalisi Presiden SBY mengajukan menteri sebagai calon anggota DPR. Logikanya jelas: meraih suara sebanyak mungkin sekalipun harus "meninggalkan" kader sendiri.
Apa pun pertimbangan di balik semua itu, di tengah keprihatinan kita atas meruyaknya perilaku koruptif yang melanda sebagian anggota DPR dan DPRD, proses pencalonan anggota legislatif menjadi fase mahapenting. Sebagai pintu masuk menuju kursi legislatif, tahapan ini harusnya dijadikan saringan awal untuk mendesain dan sekaligus memperbaiki citra lembaga perwakilan rakyat hasil Pemilu 2014.
Syarat longgar
Dalam posisi sebagai hukum dasar, UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan. Namun, kesempatan itu dipersempit oleh Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Karena itu, UU No 8/2012 hanya memberi ruang bagi parpol mengajukan calon. Karenanya, parpol jadi satu-satunya pintu masuk bagi calon anggota DPR dan DPRD. Sayang sekali, posisi sentral dalam penentuan calon tak diikuti dengan ketentuan UU No 8/2012 yang dapat memaksa parpol mengajukan calon yang mampu merawat DPR dan DPRD sesuai makna hakiki kehadirannya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Merujuk Pasal 51 UU No 8/2012, tak satupun persyaratan yang dapat memaksa parpol mengajukan calon dengan rekam jejak yang tidak diragukan bila terpilih sebagai wakil rakyat.
Satu-satunya syarat yang memungkinkan menghambat laju mereka yang bermasalah: tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dalam konteks membangun lembaga perwakilan yang kredibel, syarat ini pun terasa sangat formal-legalistik. Tak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa persyaratan menjadi calon anggota DPD dan DPRD sangat longgar.
Bahkan, untuk persyaratan yang diperlukan dalam menopang kemajuan ekonomi saja tak dicantumkan, yaitu keharusan calon memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kalau NPWP saja tidak ada, bagaimana mungkin menelusuri ketaatan calon membayar pajak. Padahal, sebagai wakil rakyat, kepatuhan membayar pajak adalah salah satu bukti dalam menilai keberpihakan kepada rakyat. Kalau NPWP tidak hadir sebagai sebuah persyaratan, tentu saja syarat lain yang memiliki risiko tinggi tidak akan pernah muncul.
Menjadi calo
Secara faktual, parpol telah menyampaikan nama calon anggota DPR-DPRD ke KPU. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak bisa melakukan banyak perubahan dari nama calon yang diusulkan. Dalam hal ini, tugas KPU hanya sebatas memverifikasi keterpenuhan persyaratan calon. Dalam posisi demikian, tak mungkin bagi KPU menolak calon yang dinilai bermasalah. Artinya, jangan pernah membayangkan bahwa calon yang, misalnya, tak punya komitmen melawan korupsi dan tak memiliki penghormatan terhadap penegakan konstitusi dan HAM akan tertapis dalam proses verifikasi di KPU.
Karena itu, seandainya memiliki komitmen dalam mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan kredibilitas yang tidak diragukan, parpol dapat membuat kriteria yang lebih ketat untuk melakukan penyaringan awal. Kriteria itu sangat dimungkinkan oleh Pasal 52 Ayat (2) UU No 8/2012, yaitu dengan cara memformulasikan dalam aturan internal parpol peserta pemilu. Sekiranya itu dilakukan, parpol mampu memosisikan diri sebagai penyaring awal sebelum disaring pemilih.
Meski demikian, berkaca dari proses yang ada, jangankan memosisikan diri sebagai penyaring awal, sebagian parpol peserta pemilu enggan keluar jebakan lama penyusunan calon. Padahal, seperti dilansir Tajuk Kompas (22/4), menjadi anggota DPR (dan juga DPRD) bukanlah seperti melamar pekerjaan, di mana pengurus parpol adalah majikan. Bahkan, yang paling ditakutkan banyak kalangan, jangan-jangan parpol terjebak perilaku calo dengan hanya menghitung kemungkinan besarnya peluang meraih suara pemilih.
Untuk keluar dari kekhawatiran itu, parpol harus mampu menangkap secara benar kegelisahan publik atas calon yang dinilai bermasalah. Caranya amat sederhana, keluarkan mereka dari daftar calon. Meski nama-nama telah disampaikan ke KPU, parpol masih punya kesempatan menjadi penyaring, yaitu ketika KPU menyampaikan hasil verifikasi. Dalam kesempatan itu, parpol tak hanya memiliki ruang memperbaiki syarat yang belum terpenuhi, tetapi dapat juga mengganti nama bermasalah. Membiarkan nama bermasalah menjadi calon sama saja memelihara kebusukan yang dapat menghancurkan citra lembaga legislatif. Dari pengalaman yang ada, mereka yang bermasalah cenderung memanfaatkan lembaga legislatif sebagai benteng berlindung dari proses hukum. Sebagian besar waktu mereka yang bermasalah digunakan untuk "memperdagangkan" kewenangan lembaga legislatif demi kepentingan sesaat.
Oleh karena itu, hasilkanlah calon dengan proses yang benar dan kredibel, bukan layaknya hasil dari sebuah proses percaloan. Tawarkan kepada pemilih calon-calon yang menggunakan wibawa lembaga legislatif untuk kepentingan rakyat, bukannya calon yang setelah terpilih berubah menjadi calo di lembaga legislatif.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(Kompas cetak, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®