Terkait undangan ini, dengan tetap menghormati lembaga, tugas dan wewenang DPR, Boediono menyatakan dengan menyesal tidak dapat menghadiri undangan tersebut. Hal itu telah ditegaskan oleh Wapres melalui juru bicaranya, Yopie Hidayat.
Salah satu alasan yang dikemukakan anggota Timwas Century ialah bahwa undangan tersebut dimaksudkan agar Boediono mengklarifikasi pernyataannya. Saat menyampaikan keterangan di Panitia Khusus (Pansus) Bank Century, Boediono menyatakan bahwa Bank Century ditalangi. Namun, setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kedua kalinya, Boediono menyatakan Bank Century diambil alih. Isi keterangan yang dianggap berbeda itulah di antaranya yang jadi alasan Timwas memanggil Wapres.
Menurut penelusuran penulis, rencana Timwas mengundang Wapres sebenarnya sudah terdengar sejak sekitar April 2013. Dengan demikian, sebenarnya itu bukan baru muncul belakangan ini. Karena Boediono kemudian menyatakan dengan menyesal tidak dapat menghadiri undangan itu, muncul pertanyaan apakah penyampaian undangan ini— atau lebih lazim disebut sebagai pemanggilan—sudah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum?
Perspektif hukum
Undangan itu sebenarnya memiliki permasalahan yang mendasar jika ditinjau dari perspektif hukum, khususnya hukum tata negara. Pertama, ditinjau dari sisi kelembagaan, lembaga Timwas Century dibentuk setelah Sidang Paripurna DPR pada 4 Maret 2010 memutuskan Opsi C sebagai rekomendasi dari Pansus Century. Opsi C itu pada intinya merekomendasikan bahwa seluruh dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang bertanggung jawab agar diserahkan kepada lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan KPK sesuai kewenangannya.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 81 Ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah (atau yang dikenal sebagai UU MD3), diatur tentang adanya sepuluh alat kelengkapan DPR, termasuk pansus. Adapun timwas tidak termasuk dalam sepuluh alat kelengkapan utama DPR tersebut; tetapi menurut ketentuan huruf k dari pasal dan ayat ini, timwas dapat dikategorikan sebagai alat kelengkapan lain DPR.
Kedua, dari sisi tugas dan wewenang. Berdasarkan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 77 Ayat (1) UU MD3, DPR mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Jika ini dikaitkan dengan permasalahan kelembagaan tadi, dapat dinyatakan kewenangan timwas tidak sama dengan pansus. Pansus dibentuk sebagai pelaksanaan hak angket DPR. Pada saat Pansus Century bekerja, mekanisme kerjanya masih didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR.
Berdasarkan Pasal 77 Ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wapres, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.
Berdasarkan Pasal 3 UU No 6 Tahun 1954, Panitia Angket— yang dalam konteks kasus Century tugas dan wewenangnya dijalankan Pansus Hak Angket Century—memang berhak melakukan pemanggilan kepada semua penduduk dan warga negara Indonesia. Namun, UU No 6 Tahun 1954 tersebut telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam nomor perkara 8/PUU-VIII/2010 tanggal 31 Januari 2011. Dari sisi tugas dan wewenang ini, timwas dibentuk dengan maksud untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi DPR berupa Opsi C itu.
Dengan demikian, pada intinya timwas berwenang mengawasi kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu memastikan bahwa Polri, Kejagung, dan KPK menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya untuk menyelesaikan permasalahan Century. Di samping itu, timwas juga bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi, berbeda dengan pansus, timwas tak berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak lain di luar ketiga aparat penegak hukum itu, termasuk tidak berwenang melakukan pemanggilan kepada Wapres Boediono.
Pemulihan aset
Sebagaimana kita ketahui, ketika Pansus Century sedang bekerja, Wapres Boediono telah dua kali menghadiri undangan rapat Pansus, yaitu pada 22 Desember 2009 dan 12 Januari 2010. Pada saat itu, Boediono telah menyampaikan keterangan, data, dan informasi yang ia ketahui terkait bail out Bank Century. Dengan sikap kooperatif, Boediono juga telah dua kali memenuhi permintaan keterangan sebagai saksi oleh KPK. Dalam proses pemeriksaan tersebut, semua fakta, data, informasi, dan dokumen yang terkait dengan permintaan keterangan sebagai saksi juga telah disampaikan kepada KPK.
Di samping itu, menurut pengamatan penulis, ketiga aparat penegak hukum yang disebut dalam rekomendasi Pansus Century—Polri, Kejagung, dan KPK—selama ini juga telah menjalankan rekomendasi DPR itu sesuai tugas dan wewenangnya. Dalam konteks hukum, mereka menjalankan sebagian dari kekuasaan kehakiman. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang terkait kekuasaan kehakiman, khususnya Pasal 24 Ayat (1), kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, seyogianya proses yang dijalankan ketiga aparat penegak hukum ini tak diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk oleh pihak tim pengawas. Akan lebih bijak jika, sesuai isi rekomendasi tentang tugas dan wewenangnya, pihak tim pengawas lebih memfokuskan diri pada pelaksanaan kewenangan mereka, khususnya proses pemulihan aset.
Sebagaimana kita ketahui, pada 16 Juli 2013 Majelis Arbiter International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) menolak gugatan yang diajukan terpidana kasus Bank Century, Rafat Ali Rizki, dan menerima eksepsi Pemerintah RI. Dalam gugatan yang diajukan 12 Mei 2011 di Singapura, pada intinya Rafat memosisikan diri selaku pemegang saham Bank Century yang menganggap Pemerintah RI telah melanggar ketentuan perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment treaty (BIT) antara Indonesia dan Inggris dalam penyelamatan Bank Century. Rafat antara lain menuntut Pemerintah RI membayar ganti rugi 75 juta dollar AS.
Gugatan ini diajukan dengan dua alasan. Pertama, terkait masalah investasi di mana Rafat merasa dirugikan atas pengucuran bail out Bank Century. Kedua, Rafat menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonisnya 15 tahun penjara secara in absentia bertentangan dengan hak asasi manusia. Berdasarkan putusan arbitrase tersebut, investasi itu dinyatakan tidak mendapatkan perlindungan BIT dan Majelis Arbiter juga tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara.
Dalam kaitan dengan putusan ICSID, dan juga dengan masih diperlukannya sinergi yang lebih kuat dalam proses pemulihan aset (asset recovery), ada baiknya Timwas DPR bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan proses pemulihan aset ini. Hal ini disebabkan tugas dan wewenang lain dari timwas, yakni melakukan penelusuran aliran dana, juga telah diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan melalui laporan hasil auditnya. Apabila permasalahan undangan (pemanggilan) terhadap Boediono masih dilanjutkan, hal ini niscaya akan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan luhur menyelesaikan kasus Century itu sendiri, karena hal itu justru lebih mengesankan adanya aspek penekanan terhadap politik daripada aspek hukumnya.
Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI; Mantan Anggota Tim Ahli MPR dalam Perubahan UUD 1945; Mantan Anggota Tim Ahli Pemerintah dalam Penyusunan UU MD3
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003747455
Powered by Telkomsel BlackBerry®